Pendahuluan
Ilmu Hudhuri ialah ilmu yang tidak memisahkan antara objek
dan subjek. Manusia sebagai subyek sudah dilengkapi dengan
alat-alat kecerdasan internal yang memungkinkan dirinya untuk mengakses sesuatu
yang amat dalam di dalam dirinya sendiri. Aliran ini berkeyakinan segala
sesuatu dapat diketahui melalui kemampuan pendalaman batin. Hadis yang sering
dikemukakan kelompok ini ialah Man arafa nafsahu fa qad arafa rabbahu (Barangsiapa yang memahami dirinya maka ia akan diberi
kesanggupan untuk memahami diriNya). Tuhan Yang Maha Rumit untuk diketahui dapat dipahami
melalui metode hudhuri. Kelompok yang lebih dekat dengan aliran ini ialah para
sufi. Metode pendekatan pertama
membayangkan Tuhan itu jauh (transenden) sehingga perlu upaya pendekatan diri
secara ekstra.[1]
salah satu tesis Shadr Al-Din, Mulla Sadra,
yang paling masyhur adalah kesatuan eksistensial antara “subyek yang
mengetahui”, “obyek yang diketahui”, dan “pengetahuan”.[2] Tidak ada alasan mengapa kita harus tidak
mampu menganalisis kesatuan yang sederhana dan mutlak ini menjadi bagian-bagian
konseptual yang berbeda, tanpa kerumitan konseptualnya merusak ketunggalan dan
kesatuan dari realitas yang “tak berangkap” tersebut.
Ambillah misalnya titik pusat sebuah lingkaran
sebagai contoh. Secara matematis dikatakan bahwa titik itu tunggal dan
karenanya tidak bisa dibagi. Artinya, titik itu tidak bisa dibagi menjadi
beberapa titik pada pusat lingkaran. Namun, kita ketahui bahwa titik itu
mungkin dibagi ke dalam berbagai sisi dan arah jika secara konseptual kita
telah merenungkan dan mendefinisikannya sebagai “titik yang berjarak sama dari
semua titik yang ada di lingkaran yang mengelilinginya”. Jelas bahwa titik yang
tak bisa dibagi itu kini telah terbagi menjadi sisi-sisi yang berbeda menurut
bagian yang mengena kepadanya di sekeliling lingkaran itu. Sekalipun begitu,
kita tahu bahwa multiplisitas yang tercermin dalam definisi tentang pusat
lingkaran ini tidak merusak ketunggalan dan kesatuan status matematisnya.
Yang ingin dikemukakan dari analogi di atas
adalah bahwa sementara struktur orisinal ilmu hudhuri adalah tunggal, tak
berangkap, dan tak dapat dibagi-bagi, analisis konseptual memecah belahnya
menjadi tiga “bagian” yang saling berhubungan yang semuanya dicirikan oleh
keadaan-keadaannya yang esensial, hadir, dan bersifat mental. Akan tetapi,
ketiga “bagian” ini tidak bergerak lebih lanjut dan berubah menjadi sebuah
obyek eksternal. Sekalipun demikian, analisis ilmu hushuli, seperti akan kita
lihat, melakukan hal itu; ia mengambil obyek eksternal sebagai butir keempat
dari esensialitasnya. Oleh karena itu, ilmu hudhuri (pengetahuan dengan
kehadiran) adalah pengetahuan yang nyata dengan sendirinya (self-evident) dan
memiliki obyek yang swaobyektif.[3]
Ilmu Hudhuri merupakan sebuah bentuk real dari
epistemologi islam yang mendasarkan sebuah pengetahuan diperoleh dengan
kehadiran (al-ilmu al-hudhuri) yang mempunyai cara kerja berbeda dengan
pengetahuan melalui konsep (al-ilmu al-hushuli). Berdasarkan teori ini para filosof
islam yang mencoba mengkritisi filosof- filosof yang menggambarkan epistemologi
mereka seperti Kant, Russel, Wittegenstein, dan lain-lain, tanpa kesadaran akan
realitas makna “pengetahuan dengan kehadiran” tau yang dikenal dengan Ilmu
Hudhuri, karena menurut mereka (filosof Islam) manusia pada hakekatnya memiliki
kesadaran atau pengetahuan yang tidak diperoleh melalui indra melainkan melalui
pikiran yang mengetahui sesuatu tanpa data indrawi.[4]
A. Ciri dan karakteristik ilmu hudhuri
Salah
satu ciri ilmu dan pengetahuan hudhuri adalah kebebasannya dari dualisme
kebenaran dan kesalahan (yakni senantiasa sesuai dengan kebenaran dan
realitas). Hal ini karena esensi pola pengetahuan ini tidak berhubungan dengan
gagasan korespondensi. Ketika tidak ada obyek eksternal, maka korespondensi
antara keadaan internal dan eksternal, maupun antara “fakta eksternal” dan
“pernyataan” tidak berlaku lagi. Dengan demikian, sementara prinsip
korespondensi telah secara luas diterima sebagai kriteria dan tolok ukur
kebenaran atau kesalahan sebuah pernyataan tentang obyek eksternal, dan
sementara prinsip yang sama telah diterima sebagai tolok ukur pemeriksaan
kebenaran atau kesalahan dalam –menurut pernyataan Russell- pengetahuan tentang
kebenaran[5]
prinsip seperti itu tidak bisa, dan tidak pula dituntut untuk diberlakukan
dalam kasus pengetahuan dan ilmu hudhuri. Karena dualisme kebenaran dan
kesalahan bergantung secara substansial pada hubungan korespondensi, pertama
antara obyek “subyektif-esensial” (obyek yang ada di alam pikiran) dengan obyek
“obyektif-aksidental” (obyek yang eksternal), dan kedua antara sebuah
“pernyataan” dengan “acuan obyektifnya”, maka tidak akan ada penerapan dualisme
seperti dalam pengetahuan dan ilmu hudhuri. Apabila tidak ada korespondensi,
maka tidak ada arti konsep ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi);
begitu pula pernyataan mengenai pengetahuan ini, pernyataan mengenai sebuah
obyek fisik, serta kebenaran atau kesalahan pernyataan seperti itu.
Konsekuensinya, karena terbebas dari korespondensi, “pengetahuan dengan
kehadiran” tidak rentan terhadap dualisme logis kebenaran dan kesalahan.
Ciri dan
karakteristik lain “pengetahuan dengan kehadiran” (ilmu hudhuri) adalah
kebebasannya dari pembedaan antara “pengetahuan dengan konsepsi” (tashawwur) dan
“pengetahuan dengan konfirmasi” (tashdiq) . Tidak seperti pengetahuan dengan
korespondensi, “pengetahuan dengan kehadiran” tidak tunduk kepada pembedaan
dari kedua hal ini.
Pembedaan
ini mula-mula dibuat oleh Ibnu Sina dalam karyanya Al-Mantiq untuk menguraikan
definisi konsepsi dan konfirmasi. Dia menulis, “Setiap pengetahuan dan
kesadaran diperoleh melalui konsepsi (tashawwur) atau konfirmasi (tashdiq).
Pengetahuan dengan “konsepsi” adalah pengetahuan primer yang bisa diperoleh
melalui definisi atau apa saja yang berfungsi sebagai definisi. Seolah-olah
dengan definisi, kita mengetahui esensi manusia. Pengetahuan dengan
“konfirmasi” di lain pihak adalah pengetahuan yang bisa diperoleh dengan
“inferensi”, yakni kita mempercayai suatu proposisi bahwa “segala sesuatu
mempunyai permulaan” (segala sesuatu memiliki Pencipta)”.[6] Tampaknya
ini adalah pembedaan yang sama atau hampir sama dengan yang dibuat oleh
sebagian ahli logika modern antara “makna” dan “nilai kebenaran”. Atas dasar
pembedaan ini, sebuah kata atau sebuah kalimat bisa dimengerti dan dipahami
tanpa mempunyai nilai kebenaran apapun. Kalau hanya untuk memperoleh sebuah
kata, frase, atau kalimat yang memiliki arti, kita tidak perlu melakukan
demonstrasi, argumentasi, dan burhan apapun yang membenarkan suatu keyakinan
dan kepercayaan bahwa ia adalah benar. Yang perlu kita lakukan adalah menyampaikan
definisi verbal atau logis dari kata, frase, atau kalimat tersebut. Tetapi
untuk mengetahui penilaian konfirmatif (yakni mencapai derajat tashdiq), kita
secara logis diwajibkan untuk bersandar dan berpijak pada suatu justifikasi
bagi keyakinan bahwa penilaian itu mempunyai kebenaran.
Tak soal
betapa sahihnya pembedaan itu, ia tidak dapat diterapkan ketika yang
dibicarakan adalah ilmu dan pengetahuan hudhuri. Hal ini karena kedua
alternatif ini -konsepsi (tashawwur) dan konfirmasi (tashdiq)- adalah ciri-ciri
intrinsik dan representasi, bukan pada tatanan wujud dan kebenaran faktual.
Namun realitas “pengetahuan dengan kehadiran” sama sekali tidak melibatkan
pengertian dua hal itu, yakni konsepsi dan konfirmasi.
Dengan
mengingkari dualisme kebenaran dan kesalahan dalam “pengetahuan dengan
kehadiran”, kita tidak memaksudkan bahwa tak ada pengertian kebenaran yang bisa
diterapkan kepada kategori pengetahuan khusus tersebut. Sebab, ada arti
kebenaran yang lain dalam linguistik filsafat Iluminasi yang relevan dengan
pembahasan kita, yang bisa kita sebut “non-fenomenal”.[7]Akan
tetapi, secara ketat ia setara dengan gagasan tentang “wujud”. Dalam sistem
filsafat Iluminasi ini, apabila orang mengatakan, misalnya “Tuhan adalah
kebenaran”, maka dia sebenarnya mengatakan bahwa “Tuhan itu ada” atau “Tuhan
adalah Wujud yang Wajib (Wajibul Wujud)”. Juga di sini jika kita menyetarakan
ilmu hudhuri dengan semacam “keseketikaan” atau “kehadiran langsung” realitas
obyek dalam pikiran, maka kita berada dalam posisi yang sah untuk menerapkan
pengertian eksistensial kebenaran seperti itu terhadap realitas ilmu hudhuri.
Tetapi di sini pokok pembicaraannya adalah bahwa dualisme logis antara
kebenaran dan kesalahan maupun pembedaan logis antara konsep dan keyakinan
tidak bisa diterapkan pada wilayah pengetahuan dan ilmu hudhuri, akan tetapi
akan lebih tepat apabila dikatakan bahwa keduanya adalah sifat-sifat yang layak
bagi ilmu hushuli (pengetahuan dengan korespondensi).
B. Metodologi Ilmu Hudhuri
Satu hal
yang tidak bisa ditinggalkan dalam menjelaskan metodologi pengetahuan dengan
kehadiran (ilmu Hudhuri), adalah keterkaitannya dengan wilayah aplikasi ilmu
hudhuri, yaitu pengetahuan tentang diri (self knowledge), pengetahuan manusia
tentang Tuhan, pengetahuan Tuhan tentang Diri-Nya, Pengetahuan Tuhan tentang
Emanasi-Nya, dengan metode yang berbeda-beda.
Ha’iri
mengikuti pendapat Suhrawardi tentang self knowledge dengan cara menyadari bahwa
dalam alur perjalanan pengetahuan, manusia diharuskan menyadiri realitasnya
sendiri, kemudian berlanjut kepada dunia eksternal. Ada dua cara pembuktian
bahwa seseorang benar-benar sadar akan dirinya; Pertama, dengan mengetahui
sesuatu selain dirinya; Kedua, dengan mengetahui diri sendiri secara langsung
melalui proses perenungan.
Sebagai
puncak ilmu hudhuri, Ha’iri menyebutkan “peniadaan mistik” atau dalam bahasa
tasawuf sering dikenal dengan fana’. Bagi Ha’iri pengalaman seperti ini sangat
dibutuhkan, karena dalam hidup ini, sesungguhnya realitas “keakuan” selalu
terkait dengan “kediaan” yang keduanya tidak boleh disalingtukarkan. Dalam
filsafat pencerahan, juga dikenal istilah “piramida eksistensi” dimana ada dua
dimensi yang tidak mungkin untuk dicampur adukkan, yaitu dimensi vertikal dan
horisontal. Karena itu, “peniadaan mistik” atau fana’ di atas adalah merupakan
pengunduran diri dari dimensi horisontal menuju kepada dimensi vertikal.
Suhrawardi
dalam bukunya Hikmat al-Isyraq beliau menjelaskan pandangannya tentang
bagaimana pengetahuan dalam perspektif ilmuminasi diperoleh?. Lebih lanjut
beliau menjelaskan bahwa untuk mendapatkannya harus melewati proses yang
terdiri dari tiga tangga. Tangga yang pertama adalah aktivitas yang melaluinya
filosof mempersiapkan dirinya sendiri bagi pengetahuan illuminasi, suatu jalan
hidup tetentu yang harus ia ikuti untuk sampai pada kesiapan menerima
“pengalaman”. Tahap kedua adalah tangga illuminasi. Tahap ketiga adalah tahap
konstruksi.
Awal
tahap pertama ditandai dengan aktivitas-aktivitas seperti mengasingkan diri
selama empat puluh hari, berhenti makan daging, dan mempersiapkan diri untuk
menerima pancaran-pancaran dari cahaya tuhan. Sedangkan tahap yang kedua adalah
tangga illuminasi yang merupakan cahaya Tuhan memasuki wujud manusia. Cahaya
ini yang akan mengantarkan kita untuk memperoleh pengetahuan yang tak terbatas
dan tak terikat, sedangkan tahapan yang ketiga adalah tahap pembangunan suatu
ilmu. Dalam tahap ketiga ini, filosof menggunakan analisis diskursif.
Pengalaman ditempatkan pada pengujian untuk dibuktikan. Ini dilakukan lewat
suatu analisis diskursif yang ditujukan untuk membuktikan pengalaman dan
membangun suatu sistem tempat pengalaman itu sendiri dapat didudukkan dan
validitasnya siap dideduksi, meskipun pengalaman itu sudah berakhir. Dari
penjelasan ini dapat kita simpulkan bahwa tahapa-tahapan yang harus ditempuh
untuk mendapatkan pengetahuan melalui kehadiran dengan cara; pempersiapkan diri
untuk memperoleh pengetahuan, menerimannya melalui proses isyraq, dan membangun
suatu pandangan sistematik mengenainya sehingga hasil-hasil yang didapat
melalui proses isyraq dapat di tuangkan kembali melalui kisah-kisah dan
tulisan-tulisan.
Lebih
lanjut Suhrawardi menjelaskan bahwa jalan sejati bagi pencapaian pengetahuan
didasarkan pada penalaran diskursif dan intuisi intelektual, pada latiahan
formal terhadap pikiran dan juga pada pembersihan jiwa.
Melalui
pernyataan ini beliau lebih lanjut membagi tingkatan orang yang berusaha
mendapatkan pengetahuan sesuai dengan usaha pengembangan daya-daya tersebut
dalam dirinya menjadi empat kategori:
1.
mereka yang mulai merasa haus atas pengetahuan
lalu memasuki jalan pencarian untuk memperolehnya.
2.
mereka yang telah memperoleh pengetahuan formal
dan menyempurnakan filsafat diskursif tapi masih asing dengan gnosis. Diantara
mereka Suhrawardi menyebut nama Ibnu Sina dan al-Farabi.
3.
mereka yang tidak peduli atas bentuk-bentuk
diskursif pengetahuan sama sekali tapi telah membersihkan jiwanya hingga
mencapai intuisi intelektual dan pencerahan batin (iluminasi), seperi Hallaj,
Bastami dan Tustari
4.
Mereka yang menyempurnakan filsafat diskursif
dan juga memperoleh iluminsai atau gnosis.
Menurut
Suhrawardi, kategori-kategori ini terdapat hirarki wujud-wujud spiritual yang
samawi atau tak terindera, yang pada gilirannya digunakan oleh jiwa-jiwa
manusia untuk mendapat iluminasi dan akhirnya menyatu dengan-Nya. Dan proses
puncak dari pengalaman inilah yang sebenarnya disebut dengan ilmu hudhuri,
karena pada kenyataannya pengalaman tersebut tidak bisa diungkapkan dengan
definisi yang konseptual, ia hadir dan tidak terkatakan.[8]
C. Dimensi Jangkauan Ilmu Hudhuri
Pengetahuan
melalui kehadiran yang merupakan konsep temuan Ha’iri ini telah menyadarkan
banyak orang, bahwa ilmu ini sesungguhnya adalah pengetahuan yang benar-benar
hadir dan tidak terpresentasikan sama sekali.
Orang
boleh mengira bahwa apa yang ditulis Jalaluddin Rumi dalam bukunya al-Mastnawi,
Farid ad-Din Athtar dalam Mantiq ath-Thair, Ibnu ‘Arabi dalam Futuhat
al-Makkiah, atau Ghazali dalam ar-Risalah al-Ladunniahnya adalah bagian dari
apa yang disebut Ha’iri sebagai ilmu hudhuri ini. Walaupun pada dasarnya semua
itu lahir dari refleksi pengalaman mistik yang hadir, namun sebenarnya yang
dikatakan oleh para sufi di atas bukanlah termasuk ketegori pengetahuan dengan
kehadiran, karena ilmu hudhuri tidak bisa terwakili(tidak bisa untuk
direpresentasikan), ia tetap tidak akan terkatakan, dan terkonseptualisasikan
dalam definisi yang proposional.
Oleh
karena itu Ha’iri dalam bukunya Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi Dlam
Filsafat Islam telah memberikan batas jangkauan ilmu dengan kehadiran ini.
Menurutnya
pengetahuan yang bisa didapatkan melalui kehadiaran diantaranya adalah sebagai
berikut:
1.
Pengalaman Mistik
Ada
satu tempat dalam buku Ha’iri yang secara khusus memang membahas mistisme dari
sudut pandang epistemologi. Ia mengatakan bahwa dengan keabsahan epistemologi
ilmu hudhuri dari sudut pandang filsafat ini, berarti mistisme secara filsafati
juga harus diakui epistemologinya.
Menurut
Ha’iri, ada satu inti, semua pengalaman mistik termasuk dalam kategori
pengetahuan dengan kehadiran. Hal ini dikarenakan mistisme dicirikan sama
sekali tidak mungkin bersifat representasional dan nonfenomenal. Menurutnya,
pengalaman mistik bersifat seluruhnya dicirikan oleh kesadaran yang teratur
akan dunia realitas. Ia menghadirkan sesuatu di hadapan kita sebagai kebenaran
dunia ini. Mistisme terbukti bersifat nonfenomenal, oleh karena itu, tidak ada
satupun yang bisa mengakomodasi mestisme kecuali ilmu hudhuri.
Hanya
saja, Ha’iri kemudian merasa perlu untuk menspesifikasikan jenis kehadiran yang
ia maksud. Karena tidak semua pengalaman mistik masuk dalam ketegori ilmu
hudhuri, ada sebagian pengalaman mistik yang bisa terkatakan dan
terkonseptualisasikan dalam term-term pengetahuan fenomenal. Menurutnya jenis
kehadiran yang dimiliki kesadaran mistik adalah kehadiran dengan “penyerapan”
yang merupakan sifat esensial pengetahuan mistik.
2.
Pengetahuan Tuhan Tentang Diri dan Emanasi-Nya.
Salah
satu wujud ilmu hudhuri adalah pengetahuan Tuhan tentang diri dan Emanasi-Nya.
Dan ketika berbicara tentang pengetahuan Tuhan, Ha’iri membagi ilmu hudhuri ini
menjadi dua bagian; Pertama, kehadiran dengan keidentikan; Kedua, kehadiran
dengan emanasi. Kehadiran dengan keidentikan dimaksudkan sebagai pengetahuan
Tuhan tentang diri-Nya yang tidak mungkin berbeda dengan realitas Diri-Nya kepada
Diri-Nya, dan tidak mungkin melalui representasi Diri-Nya kepada Diri-Nya
sendiri.
Sedangkan
kehadiran dengan emanasi dimaksudkan sebagi pengetahuan Tuhan tentang alam
semesta yang tidak lain adalah emanasi-Nya sendiri, dimana kehadiran eksistensi
Tuhan di alam termanifestasikan dalam pencerahan dan supremasi atas eksistensi
emanatif alam semesta.
3.
Pengetahuan Manusia Tentang Tuhan
Dalam
pembahasan ini terlebih dahulu kita harus memahami tentang konsep “penyerapan”
yang wujud (timbul) melalui proses emanasi. Meskipun pada dasarnya emanasi dan
penyerapan secara linguistik berbeda, namun dalam realitasnya adalah satu hal
yang sama. Dengan kata lain konsep ini pengetahuan manusia tentang Tuhan adalah
karena sesungguhnya Tuhan mengetahui manusia sebagai emanasi-Nya dengan
kehadiran (kehadiran emanatif). Maka sebagai konsekwensinya, manusia sebagai
wujud secara otomatis terserap mengetahui Tuhan dengan Kehadiran.
Namun,
perlu kita perhatikan secara cermat penggambaran tentang konsep emanasi dan
penyerapan di atas, bahwa yang dimaksud dengan kehadiran emanatif adalah karena
ia memancar dari Tuhan, sedangkan kehadiran dengan penyerapan karena ia mutlak
bergantung pada Tuhan.
Lebih
lanjut Ha’iri menjelaskan tentang pengertian ganda kehadiran, yaitu segala
sesuatu yang benar bagi emanasi juga benar bagi penyerapan, dan apapun yang
berlaku pada penyerapan juga berlaku pada emanasi. Inilah suatu kenyataan yang
menurut beliau disebut dengan sebuah kesatuan mistik.
Menurut
Ha’iri Tuhan mengetahui melalui kehadiran apa yang telah beremanasi dari
Diri-Nya. Artinya, suatu wujud emanatif semisal diri, yang keuar dari Tuhan dan
terserap dalam cahaya yang melimpah dari Wujud-Nya, adalah hadir di dalam
Tuhan. Karena itu, Dia mengetahui Diri tidak melalui semacam kehadiran identitas
diri seperti Dia mengetahui Diri-Nya sendiri, melainkan dengan kehadiran
supresemua masi-Nya atas emanasi yang melimpah sebagai tindak imanen-Nya.
Dengan cara ini pulalah diri mengetahui tubuh, imajinasi, dan fantasinya
melalui kehadiran dengan supremasi kasual. Jadi, suatu emanasi hadir dalam
supremasi eksistensial sumbernya sendiri; dan begitu juga, dengan ekivalensi
antara emanasi dan penyerapan, yang terserap hadir dalam yang menyerap, yaitu
Tuhan.[9]
D. Kesimpulan
Ilmu Hudhuri ialah ilmu yang tidak
memisahkan antara objek dan subjek. Manusia sebagai subyek sudah dilengkapi dengan
alat-alat kecerdasan internal yang memungkinkan dirinya untuk mengakses sesuatu
yang amat dalam di dalam dirinya sendiri.
Ilmu
Hudhuri merupakan sebuah bentuk real dari epistemologi islam yang mendasarkan
sebuah pengetahuan diperoleh dengan kehadiran (al-ilmu al-hudhuri) yang
mempunyai cara kerja berbeda dengan pengetahuan melalui konsep (al-ilmu
al-hushuli).
Salah
satu ciri ilmu dan pengetahuan hudhuri adalah kebebasannya dari dualisme
kebenaran dan kesalahan (yakni senantiasa sesuai dengan kebenaran dan
realitas). Hal ini karena esensi pola pengetahuan ini tidak berhubungan dengan
gagasan korespondensi.
Ciri dan
karakteristik lain “pengetahuan dengan kehadiran” (ilmu hudhuri) adalah
kebebasannya dari pembedaan antara “pengetahuan dengan konsepsi” (tashawwur)
dan “pengetahuan dengan konfirmasi” (tashdiq) . Tidak seperti pengetahuan
dengan korespondensi, “pengetahuan dengan kehadiran” tidak tunduk kepada pembedaan
dari kedua hal ini.
Satu hal
yang tidak bisa ditinggalkan dalam menjelaskan metodologi pengetahuan dengan
kehadiran (ilmu Hudhuri), adalah keterkaitannya dengan wilayah aplikasi ilmu
hudhuri, yaitu pengetahuan tentang diri (self knowledge), pengetahuan manusia
tentang Tuhan, pengetahuan Tuhan tentang Diri-Nya, Pengetahuan Tuhan tentang
Emanasi-Nya, dengan metode yang berbeda-beda.
E. Bibiliografi
B. Russell, The Problems of
Philosophy, bab 12, “Truth and Falsehood”(London, 1976).
Ibnu Sina, Kitab Al-Najat, ‘Mantiq’,
bab 2 (Kairo, 1938)
ha’iri, Menghadirkan Cahaya Tuhan,
Epistemologi Iluminasionis Dalam filsafat islam, Bandung:Mizan, 2003.
Shadr Al-Din Al-Syirazi, Kitab
Al-Asfar, jilid I, pasal 3
Suhrawardi, Kitab Al-Tanbihat
(Istanbul, 1945), hal. 72
Yazdi, Mehdi Ha’iri, Ilmu Hudhuri,
Prinsip-prinsip Epistemologi Dlam Filsafat Islam, terj. Ahsin Mohamad, Bandung:
Mizan, 1994.
Yazdi, mehadi ha’iri, Menghadirkan
Cahaya Tuhan, Epistemologi Iluminasionis Dalam filsafat islam, Bandung:Mizan,
2003.
Ziai, Hossein, Suhrawardi dan
Filsafat Pengetahuan, Pencerahan Ilmu Pengetahuan, Bandung: Wacana Mulia, 1998.
[2]
Shadr Al-Din Al-Syirazi, Kitab Al-Asfar, jilid I, pasal 3
[3]
Suhrawardi, Kitab Al-Tanbihat (Istanbul, 1945), hal. 72
[4]
Yazdi, mehadi ha’iri, Menghadirkan Cahaya
Tuhan, Epistemologi Iluminasionis Dalam filsafat islam, Bandung:Mizan, 2003.
[5] B.
Russell, The Problems of Philosophy, bab 12, “Truth and Falsehood”(London,
1976).
[6]
Ibnu Sina, Kitab Al-Najat, ‘Mantiq’, bab 2 (Kairo, 1938)
[7]
Dengan istilah “non-fenomenal” yang kami maksud adalah bahwa ia tidak mempunyai
konotasi dalam pengertian bahwa ia “menunjukkan” dirinya kepada kita.
Alih-alih, versi kebenaran ini, seperti hanya makna segala sesuatu dalam
dirinya sendiri, memiliki realitas obyektifnya yang murni dalam kehadiran,
meskipun ia mungkin tidak memperlihatkan dirinya kepada kita.
[8]
Ziai, Hossein, Suhrawardi dan Filsafat Pengetahuan, Pencerahan Ilmu
Pengetahuan, Bandung: Wacana Mulia, 1998.
[9]
Yazdi, Mehdi Ha’iri, Ilmu Hudhuri, Prinsip-prinsip Epistemologi Dlam Filsafat
Islam, terj. Ahsin Mohamad, Bandung: Mizan, 1994.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon