Pengetahuan
dengan Kehadiran dan Pengetahuan dengan Korespondensi
Oleh : Dewi Asfufah
Pendahuluan
Tatkala manusia
lahir, ia tidak mempunyai pengetahuan sedikit pun. Di saat ia berumur 30
tahunan, pengetahuannya banyak sekali, sementara temannya yang seumuran dengan
dia mungkin mempunyai pengetahuan lebih banyak dalam bidang yang sama atau
berbeda. Namun dari mana pengetahuan itu di peroleh dan bagaimana pengetahuan
itu di dapat.Pengetahuan manusia distingsi antara “subjek” dan “objek”.Istilah
“subjek” berarti pikiran yang melaksanakan tindak pengetahuan melalui
mengetahui sesuatu, dan istilah “objek” mengacu kepada benda atau proposisi
yang diketahui oleh subjek tersebut.
Pengetahuan
adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu, atau segala perbuatan manusia untuk
memahami suatu objek yang dihadapinya, atau hasil usaha manusia untuk memahami
suatu objek tertentu.[1]
Loren Bagus dalam kamus filsafatnya menjelaskan bahwa pengetahuan adalah proses
kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadaran sendiri. Pada
peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam
dirinya sendri yang sedemikian aktif, sehingga yang mengetahui itu menyusun
yang diketahui itu pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.
Dalam konsep
pengetahuan ada beberapa objek yang terlibat di dalamnya, di antaranya objek
Imanen dan objek Transitif.Yang mana objek imanen bersifat analitis dan
terwujudkan dalam konstitusi mengetahui itu sendiri.Sebaliknya, objek transitif
bersifat aksidental dan tidak mengkonstitusi inti esensial kesadaran manusia.
Ini adalah spesies pengetahuan tertentu yang dinamakan “pengetahuan dengan
kehadiran“ dan “pengetahuan dengan korespondensi”
Dalam makalah ini,
penulis mencoba untuk memaparkan tentang pengetahuan dan sumbernya, teori
kebenarannya, pengetahuan dengan kehadiran dan pengetahuan dengan
korespondensi.Serta hubungan antara dua jenis pengetahuan tersebut.Dengan ini,
diharapkan kita dapat melihat perbedaan antara pengetahuan dengan kehadiran dan
pengetahuan dengan korespondensi.
A.
Sekilas tentang pengetahuan
Pengetahuan,
kata dasarnya “tahu”, mendapatkan awalan dan akhiran pe dan an
yang berarti menunjukkan adanya proses. Jadi, pengetahuan berarti proses
mengetahui, dan menghasilkan sesuatu yang disebut pengetahuan.[2]
Beberapa definisi pengetahuan yang diajukan Theatetus, diantaranya pengetahuan
itu tidak lain adalah persepsi-indra, pengetahuan adalah kepercayaan yang
benar, pengetahuan adalah kepercayaan yang benar ditambah dengan logos.[3]
Menurut
pemahaman Walter Farmer dan Margaret Farrel, “a fact is an event that has
occurred and been recorded with no disagreement among the observer.” (suatu
fakta adalah suatu peristiwa yang telah terjadi dan telah dicatat tanpa
pertentangan pendapat di antara para pengamat). [4]jadi,
pada umumnya pengetahuan menunjuk pada fakta-fakta.
Max
Scheler (1874-1928) merumuskan pengetahuan sebagai partsipasi oleh suatu
realita yang lain, tetapi tanpa terjadinya modifikasi-modifikasi dalam kwalitas
yang lain itu, sebaliknya subyek yang mengetahui diprngaruhi.
Terjadinya
pengetahuan berangkat dari penghayatan, pemahaman, dan situasi, kemudian kita
berusaha mengungkapkan perbuatan-perbuatan mengenal.Bertumpu pada situasi kita
sendiri itulah, sedikitnya kita dapat memperhatikan perbuatan-perbuatan
mengetahui yang menyebabkan pengetahuan itu.
Akal
sehat (ratio) dan mencoba-coba (trial and error) mempunyai peranan penting
dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai berbagai gejala
alam.Randall dan Buchlar mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang
diperoleh lewat pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan
kebetulan. Sedangkan karakteristik akal sehat, menurut Titus adalah;
1.
Ketika
landasan berfikir berakar pada adat dan tradisi, maka akal sehat cenderung
bersifat kebiasaan dan pengulangan
2.
Karena
landasan berfikir kurang kuat maka akal sehat cenderung bersifat kabur dan
samar
3.
Karena
kesimpulan yang ditarik sering berdasarkan pada asumsi (anggapan) tanpa dikaji
lebih lanjut, maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang tidak teruji.
Ilmu merupakan suatu penjelasan
rasional yang sesuai dengan obyek yang dijelaskan.Penjelasan tersebut harus
didukung fakta empiris untuk dinyatakan benar.Penggabungan antara pendekatan
empiris itulah yang kemudian melahirkan metode ilmiah.Secara rasional ilmu
menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kamulatif, sedangkan secara
empiris ilmu bersumber dari sebuah fakta. Jika seseorang ingin membuktikan
apakah pengetahuan itu bernilai benar, seseorang harus menganalisa terlebih
dahulu cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun suatu
pengetahuan.
Para sarjana muslim pada abad
keemasan Islam mengembangkan metode eksperimen sebagai jembatan antara
teoritis-rasional dengan pembuktian secara empiris.Semangat untuk mencari
kebenaran yang dimulai oleh para pemikir yunanai dihidupkan kembali dalam
kebudayaan Islam.Dalam perjalanan sejarah, lewat orang-orang muslimlah, dunia
modern sekarang ini mendapat cahaya dan kekuatan.[5]
Pengembangan metode eksperimen yag
berasal dari timur ini memiliki pengaruh cukup signifikan terhadap cara
berfikir manusia. Dengan demikian penjelasan teoritis dapat diuji, apakah
sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Lalu berkembanglah metode ilmiah
yang menggabungkan cara berfikir deduktif dan induktif. Menurut Senn metode
ilmiah adalah prosedur atau cara mengetahui sesuatu melalui lagkah-langkah yang
sistematif.
B.
Sumber pengetahuan
Ilmu
yang terjadi tanpa melalui pengalaman, baik indera, maupun batin, atau a
posteriori yaitu ilmu yang terjadi karena adanya pengalaman.Dengan demikian
pengetahuan itu bertumpu pada kenyataan objektif. Ada enam hal yang merupakan
alat untuk mengetahui proses terjadinya pengetahuan, yaitu;[6]
1.
Pengalaman
indera (Sense Experience)
Pengalaman indera adala sumber pengetahuan yang menekankan pada
kenyataan (relitas), yakni semua yang dapat diketahui dan dirasakan oleh indra
manusia.
2.
Nalar
(Reason)
Nalar adalah salah satu corak berfikir dengan menggabungkan dua
pemikiran atau lebih dengan maksud untuk mendapat kesimpulan logis. Dan dari
kesimpulan logis itu akan muncul sebuah pengetahuan baru. Hal yang perlu
diperhatikan dalam kaitannya dengan nalar adalah tentang asas berfikir sebagai
berikut: principium identity ( disebut juga asa kesamaan), principium
contrdictionis ( disebut juga asa pertentangan ), dan principium exclusive (disebut juga asa
tidak adanya kemungkina ketiga)
3.
Otoritas
(Authority)
Otoritas adalah kekuasaan yang sah yang dimiliki oleh seseorang dan
diakui oleh kelompoknya.Otoritas menjadi salah satu sumber ilmu karena
engetahuan suatu kelompok tertentu tergantung pada pengetahuan seseorang yang
memiliki kewibawaan dan otoritas.
4.
Intuisi
(intuition)
Intuisi adalah kemampuan yang ada pada diri manusia yang berupa
proses kejiwaan. Sumber pengetahuan jenis ini akan sulit dibuktikan secara
empiris dan secara rasional.
5.
Wahyu
(Revelation)
Wahyu adalah berita yang disampaikan oleh Tuhan kepada Nabi-Nya
untuk kepentingan umatnya.Wahyu dapat dikatakan sebagi salah satu sumber
pengetahuan, kerena manusia mengenal sesuatu melalui kepercayaannya.
Sebagai
alat untuk mengetahui terjadinya pengetahuan menurut john hosper dalam bukunya An
Introduction to Philosophical Analysis mengemukakan ada enam hal, yaitu
Pengalaman indra (sense experience), Nalar (reason), Otoritas (authority),
Instuisi (instuition), Wahyu (revelation), danKeyakinan (faith).[7]Dari
keenam sumber tersebut memberikan gambaran umum mengenai sebab-musabab adanya
pengetahuan, yang mana pengetahuan sendiri bisa terjadi tanpa atau adanya
pengalaman (pengalaman indra maupun batin), ataupun terjadi karena adanya
pengalaman.
Untuk
memperoleh pengetahuan dan menentukan sifat kebenarannya, ada beberapa metode,
diantaranya metode empirik (empirisme), rasional (rationalism), fenomenologik
(fenomenologisme I. Kant), dan metode Ilmiah.[8]Jadi,
pengetahuan bisa diperoleh melalui pengalaman, akal-pikiran, gejala-gejala yang
ada pada hubungan antara sebab dan akibat, serta gabungan antara pengalaman dan
akal sebagai pendekatan bersama.
Dalam
teori epistimologi al-Gazali, mengakui tiga hal yang dapat menjadi sumber atau
sarana bagi terciptanya pengetahuan, yaitu; akal, indera, dan instuisi.Konsepsi
al-Gazali yang berlatar belakang pencarian kebenara berakhir dengan sikap yang
kurang apresiatif terhadap akal.Al-ghazali lebih menghargai intuisi ketimbang
akal, sebab menurutnya kemampuan akal ini adalah terbatas dan kerap
menipu.Pendangan ini pulalah yang yang kemudia menetapkan pilihannya untuk
hidup di bawah baying-bayang sufistik, dan kemudian melepaskan dirinya untuk
menghindari hidup di bawah bayang-bayang nalar semata.[9]
Teori
al-Kindi tentang pengetahuan mempunyai dua bagian dasar, yakni obyek inderawi
dan obyek rasional.Karena itu, pengetahuan-pengetahuan kita adakalanya bersifat
inderawi dan adakalanya bersifat rasional.Indera-indera mengetahui hal
particular atau bentuk material, sedangkan akal mengetahui hal universal,
termasuk juga mengetahui macam-macam dan jenis-jenis. Al-Kindi lalu menambahkan
dua sumber pengetahuan tersebut dengan sumber ketiga, yaitu kekuatan imajinasi,
yang ia sebut dengan kekuatan penengah.[10]
Menurut
Ibnu Sina, pengetahuan mengalir dari wilayah inderawi ke wilayah rasional,
yakni:[11]
1.
Sensasi:
ia sampai kepada kita melalui berbagai indera.
2.
Imajinasi:
dengannya kita mengosongkan materi dari manifestasi-manifestasi materialnya,
meskipun gambaran imajinasi tetap dikelilingi oleh kondisi-kondisi inderawi,
kecuali bahwa ia dapat diterapkan pada semua satuan varietas.
3.
Instink:
yaitu kemampuan yang dengannya hewan mampu memberi penilaian-penilaian khusus
dengan mengeluarkan ide-ide yang tidak bersifat material. Misalnya, domba
membuat konsep permusuhan dengan serigala. Pada diri kita manusia, kekuatan ini
bekerja dan tunduk di bawah akal.
4.
Abstraksi
hanya terjadi pada hewan berakal, yaitu manusia. Akal manusia tidak
mengabstraksikan gambaran-gambaran rasional, namun mengambilnya dari akal aktif
yang memberikan gambaran-gambaran. Akal aktif ini juga melakukan pemberian
totalitas bagi gambaran-gambaran inderawi yang kita ambil dari luar.
C.
Teori Kebanaran dalam Pengetahuan
Ilmu
merupakan suatu penjelasan rasional yang sesuai dengan obyek yang
dijelaskan.Penjelasan tersebut harus didukung oleh fakta empiris untuk
dinyatakan benar.Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten
dan komulatif, sedangkan secara empiris ilmu bersumber dari sebuah fakta. Jika
sesorang ingin membuktikan apakah pengetahuan itu bernilai benar, seseorang
harus menganalisa terlabih dahulu cara, sikap dan sasarana yang digunakan untuk
membangun suatu pengetahuan.
Seseorang
yang memperoleh pengetahuan melalui pengalaman indra akan berbeda cara
pembuktiannya dengan seseorang yang bertumpu pada akal atau rasio, intuisi,
otoritas, keyakinan dan atau wahyu.Atau bahkan semua alat tidak di percayainya
sehingga semua harus diragukan (skeptis). Beberapa teori yang menjelaskan
tentang kebenaran antara lain:[12]
1.
Teori
Korespondensi ( the correspondence theory of truth). Menurt teori ini,
kebenaran atau keadaan benar itu adalah kesesuaian antara arti yang dimaksud
oleh suatu pendapat dengan fakta yang ada. Sebagaimana contoh dapat dikemukakan
“Jakarta adalah ibu kota Republik Indonesia.” Pernyataan ini disebut benar
karena faktanya Jakarta memang ibukota Republik Indonesia. Kebenarannya
terletak pada kesesuaian hubungan antara pernyataan dengan fakta.
2.
Teori
koherensi atau konsistensi ( the consistence theory of truth ). Menurut teori
ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan sesuatu yang
lain, yaitu fakta atau realitas, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan
itu sendiri. Dengan kata lain bahwa kebenaran ditegaskan atas hubungan antara
yang baru itu dengan putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kita akui
benarnya terlebih dahulu. Misalnya, bila kita menganggap bahwa “semua manusia
pasti akan mati” adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “ si
Hasan seorang manusia dan si Hasan pasti akan mati” adalah benar pula, sebab
pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
3.
Teori
pragmatis ( the pragmatic theory of thuth). Maksud teori ini adalah bahwa benar
tidaknya sesuatu ucapan, dalil atau teori semata-mata bergantug kepada aspek
manfaat tidaknya ucapan, dalil, atau teori tersebut bagi manusia untuk
bertindak dalam kehidupannya.
4.
Teori
hudhuri
Professor filsafat di Universitas Teheran, Mehdi Ha’iri Yazdi,
menambahkan bahwa ukuran kebenaran itu tidak hanya koherensi, korespondensi,
dan pragmatime, tetapi ada tambahannya yaitu ilmu hudhuri/iluminasi.
Menurutnya, ilmu hudhuri adalah pengetahuan dengan kehadiran karena ia ditandai
oleh keadaan noetic dan memiliki objek imanen yang menjadikannya pengetahuan
swaobjek. Ilmu hudhuri ini berbeda dengan korespondensi, karena kalau dalam
korespondensi membutuhkan objek dari luar diri.Sedangkan, ilmu hudhuri tidak
memiliki objek di luar dirinya, tetapi objek sendiri itu ada, yaitu objek
subjektif yang ada pada dirinya.
Menurut
Andi Hakim Nasution dalam bukunya “pengantar ke filsafat sains”
menyatakan, bahwa kebenaran mempunyai tiga tingkatan, yaitu haq al-yaqin,
‘ain al-yaqin, dan ‘ilm al-yaqin.Adapun menurut Anshari, kebenaran
mempunyai empat tingkatan, yaitu; kebenaran wahyu, kebenaran spekulatif
filsafat, kebenaran positif ilmu pengetahuan dan kebenaran pengetahuan biasa.[13]
Pengetahuan
yang dibawah wahyu diyakini besifat absolut dan mutlak, sedang pengetahuan yang
diperoleh melalui akal bersifat relative, mungkin benar dan mungkin salah.
Jadi, apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkinsaja tidak benar kaarna ada
sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini
karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkinsaja
mengalami penyimpangan. Karena itu, kebenaran mutlak hanya ada pada
Tuhan.Itulah sebabnya ilmu pengetahuan selalu berubah-ubah dan berkembang.[14]
D.
Pengetahuan dengan Kehadiran
Pengetahuan
dengan kehadiran adalah jenis pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam
kerangka dirinya sendiri sehingga seluruh anatomi gagasan tersebut bisa
dipandang benar tanpa implikasi apapun terhadap acuan objektif eksternal yang
membutuhkan hubungan eksterior.[15]
Dalam pengetahuan dengan kehadiran, objek objektif dan objek subjektif adalah
satu dan sama. Karena itu, pengetahuan dengan kehadiran terdiri dari pengertian
sederhana tentang objektifitas yang langsung hadir dalam pikiran subjek yang
mengetahui dan demikian secara logis tersirat dalam definisi konsepsi
pengetahuan itu sendiri.[16]
Bertrand
Russel mengatakan bahwa data inderawi yang kita persepsi berada persis sama
seperti kalau kita tidak mempersepsikannya. Iamenggunakan kata “sensibilia”
untuk memaksudkan data inderawi yang tidak dipersepsi.[17]Pengetahuan
yang muncul semata-mata kehadiran langsung hakikat-hakikatnya dan bukan
representasi dari apa yang kita ketahui melalui kehadiran objeknya.
Salah
satu karakteristik utama pengetahuan dengan kehadiran adalah kebebasannya dari
dualism kebenaran dan kesalahan.[18]Misalnya,
saat kita merasa takut atau senang, bentuk mental perasaan itu langsung hadir
dalam diri kita. Dan proposisi yang berasal dari fitra dan indra batin manusia
ini merupakan proposisi yang mutlak bebas kesalahan.
Rasionalitas
Ibnu Rusd merupakan salah satu hal yang perlu diteladani. Teori tersebut
menjadi pegangan para filsuf Eropa, yakni suatu teori yang bersumer pada indra
(sensasi) dan fitra. Artinya, bahwa akal manusia memiliki pengertian-pengertian
dan konsepsi-konsepsi yang tidak muncul dari indra, tetapi ia sudah ada dalam
fitrah manusia.[19]
Ciri
lain pengetahuan dengan kehadiran adalah kebebasannya dari pembeda antara
pengetahuan dengan “konsepsi” dan pengetahuan dengan “kepercayaan”.Pembedaan
yang di buat Ibnu Sina dalam karyanya, logika, untuk menguraikan definisi
demonstrasi dan konfirmasi.dia menulis,
Setiap pengetahuan dan kesadaran diperoleh melalui konsepsi
(tashawwur) atau konfirmasi (tashdi). Pengetahuan dengan “konsepsi” adalah
pengetahuan primer yang bias diperoleh melalui definisi atau apa saja yang
berfungsi sebagai definisi. Seolah-olah dengan definisi kita mengetahui esensi
manusia.
Pengetahuan dengan “konfirmasi” di lain pihak adalah pengetahuan
yang bisa diperoleh dengan “inferensi”. Seolah-olah kita mempercayai proposisi
bahwa “segala sesuatu mempunyai permulaan.[20]
Dalam
pengetahuan dengan kehadiran, konsepsi dan konfirmatif adalah ciri-ciri instrik
dari konseptualisasi yang termasuk dalam tatanan makna dan representasi, bukan
pada tatanan wujud dan kebenaran faktual.
E.
Pengetahuan dengan korespondensi
Arti
dari korespondensi yang dipakai dalam teori pengetahuan ini ringkasnya adalah
“kemiripan” dalam isi dan “keidentikan” dalam bentuk.[21]
Pengetahuan dengan korespondensi adalah jenis pengetahuan yang melibatkan objek
subjektif maupun objek objektif yang terpisah, dan yang mencakup hubungan
korespondensi antara salah satu objek ini dengan yang lain. Dalam kenyataannya,
kombinasi objek-objek luar dan dalam beserta derajat maksimum korespondensi
antara mereka membentuk esensi jenis pengetahuan ini.[22]
Jika tidak ada objek eksternal, maka tidak akan ada representasinya. Dan objek
eksternal ini memainkan peran utama dalam esensialitas pengetahuan dengan
korespondensi.
Keterangan
K. Rogers, seorang penganut relisme kritis di Amerika berbunyi, “setiap esensi
mempunyai dua segi, yang satu terdapat di dalam objeknya dan yang lain sebagai
makna. Segi esensi yang bersifat makna bersifat kejiwaan.Dalam suatu
pencerapan, kita secara diam-diam mengenal esensi yang termasuk objeknya,
maupun apa yang dimaksudkan esensi tersebut.”[23]
Dengan kata lain, adanya kesesuaian di antara esensi sebagi makna dengan esensi
yang terdapat di dalam objek.
Melalui
korespondensi dengan rujukan ojektifnya, pengetahuan dengan korespondensi
memiliki memiliki kemampuan untuk menjadi benar.Karena itu, ada kemungkinan
pengetahuan itu tidak memenuhi persyaratan ini dan sebagai akibatnya ia menjadi
salah.[24]Misalnya,
jika seseorang mengatakan “kota Yogyakarta terletak di pulau jawa.” Maka
pernyataan itu adalah benar, sebab pernyataan itu dengan objek yang bersifat
faktual, yakni kota Yogyakarta memang benar-benar berada di pulau jawa.
Bertrand
Russel, seorang filsuf Britania, mengatakan bahwa kesesuaian itu berada di
antara dua bentuk kata : yang satu telah tertentu, yang kebenarannya di
pertimbangkan. Yang lain, ditimbulkan oleh lingkungan tempat terdapatnya orang
yang memakaikata.[25]Dari
sini, kesesuaian tersebut terdapat di antara kata-kata yang telah di tentukan,
dengan kata-kata sebagai reaksi yang dihasilkan oleh subjek.
Beberapa
ciri pengetahuan dengan korespondensi, diantaranya :
1.
Terdapat
dua jenis objek :objek internal dan objek eksternal. Artinya, baik objek
subjektif maupun objek objektif harus sudah berada dalam tatanan aksi.
2.
Ada
hubungan korespondensi antara kedua objek tersebut.[26]
Teori
korespondensi meyebutkan bahwa suatu pernyataan dapat dianggap benar sekiranya
materi yang terkandung dalam pernyataan itu bersesuaian (berkorespondensi)
dengan objek factual yang dituju oleh pernyataan tersebut.[27]Pengetahuan
dengan korespondensi merupakan pengetahuan yang mengandung suatu
penilaian.Seperti halnya rasa panas, bahwa panas adalah energi yang datang dari
matahari.
F.
Hubungan antara Pengetahuan dengan Kehadiran dan Pengetahuan dengan
Korespondensi.
Argumen
berkembang dalam dua arah berbeda. Pertama, bahwa dalam kasus pengetahuan diri,
diri sebagai subjek performatif kesadaran dan diri yang sama merupakan objek
yang disadarinya, dan identic sepenuhnya. Ini adalah konsep swaobjektivitas
yang mencirikan teori awal kita tentang pengetahuan dengan kehadiran, yang di
sini bias menerangkan swasubjektivitas “aku” performatif. Kedua, bahwa dalam
pengetahuan korespondensi yang di dalamnya subjek yang mengetahu ia dalah “aku
yang sama”. (dalam terminology kita, “akuperformatif”) dan objek yang diketahui
adalah objek eksternal, maka “aku” tersebut telah mengetahui dirinya sendiri
melaui kehadiran dan mengetahui objeknya melalui korespondensi.[28]
Ibnu
Rusd menggambarkan keterkaitan pengetahuan indrawi dengan pengetahuan rasio
sebagai berikut, “penisbatan eksistensi (pengetahuan) indrawi dari eksistensi
(pengetahuan) akal/rasio adalah ibarat satu produk (menyatu) dengan ilmu
pembuat produk tersebu.”[29]Hal
ini menunjukkan bahwa antara pengetahuan indrawi dan pengetahuan rasio erat
kaitannya antara satu dengan yang lainnya.Bahkan dinyatakan bahwa pengetahuan
rasio lahir dari pengetahuan indrawi.
Menurut
Descrates dalam kajian komparatifnya, “cogito, ergo sum cogitans”. Saya
berpikir, maka saya adalah pengada yang berpikir, yaitu ekstitensi dari budi,
sebuah subtantsi sadar.Namun hal ini tidak menjamin eksistenti dari badan.
Secara singkat perlu di katakan bahwa ketika Descartes berbicara mengenai
“berpikir”, ia tidak memaksudkan secara ekslusif pada penalaran saja; melihat,
mendengar, merasa, senang atau sakit, kehendak, yang dianggap kegiatan sadar,
termasuk di dalam istilah “berpikir” ini. Meskipun mungkin status dari
ojek-ojek mereka bisa diragukan, kegiatan-kegiatan sadar ini tidak diragukan.[30]
Hubungan
pengetahuan dengan kehadiran dan pengetahuan dengan korespondensi harus
dipandang sebagai hubungan sebab-akibat dalam pengertian iluminasi dan emanasi.
[1]Surajiyo.Filsafat
Ilmu dan perkembangannya di Indonesia (Jakarta : Bumi Aksara, 2010), 24.
[2] Suparlan Suhartono,
Filsafat Ilmu Pengetahuan Persoalan Eksistensi dan Hakikat Ilmu Pengetahuan
(Jogjakarta : Ar-Ruzz, 2005), 63.
[3] David Melling,Jejak
Langkah Pemikiran Plato (Jogjakarta
:Yayasan Bentang Budaya, 2002), 230.
[4]The Liang Gie,Pengantar
Filsafat Ilmu( Yogyakarta : Liberty Yogyakarta, 2012), 121.
[5]Tim penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,PengantarFilsafat……………., hal 85.
[6]Tim penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,PengantarFilsafat……………., hal 89.
[7]Surajiyo, Filsafat
Ilmudan Perkembangan di Indonesia (Jakarta :Bumi Aksara, 2010), 28.
[8]Surajiyo, Filsafat Ilmudan Perkembangan………….,
hal 80.
[9]Sibawaihi, ekastologi
al-Gazali dan Fazlur Rahman (Yogyakarta : Islamika, 2004),209.
[10] Fu’ad Farid
Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, cara mudah belajar filsafat barat dan
islam (Yogyakarta : Ircisod, 2012),199.
[11] Fu’ad Farid
Ismail dan Abdul Hamid Mutawalli, cara mudah belajar filsafat barat ……….,
hal 224.
[12] Tim penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Filsafat (Surabaya : IAIN SA
Press, 2012), 87.
[13]Tim penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya,PengantarFilsafat……………., hal 88.
[14]Tim penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel Surabaya, Pengantar Filsafat…………….., hal 89.
[15]Mehdi ha’iri.Epistemologi
iluminasionis dalam filsafat islam menghadirkan cahaya tuhan (Bandung :
Mizan, 2003), 97.
[16]Mehdi ha’iri.Epistemologi
iluminasionis……….,hal 98.
[17] P. Hardono
Hadi. Epistemologi Filsafat Pengetahuan (Yogyakarta : Kanisius, 1994),
71.
[18]Hadi.Epistemologi
Filsafat Pengetahuan……….., hal 100.
[19] Suparman
Syukur. Epitemologi Islam Skolastik (Yogyakarta : Pustaka Pelajar,
2007), 52.
[20]Mehdi ha’iri.Epistemologi
iluminasionis……….,hal 101.
[21]Mehdi ha’iri.Epistemologi
iluminasionis……….,hal 105.
[22]Mehdi ha’iri.Epistemologi
iluminasionis……….,hal 98.
[23] Louis O.
Kattsoff. Pengantar Filsafat (Yogyakarta : Tiara Wacana Yogya, 1992),
184.
[24]Mehdi ha’iri.Epistemologi
iluminasionis……….,hal 108.
[25]Mehdi ha’iri.Epistemologi
iluminasionis……….,hal 185.
[26]Mehdi ha’iri.Epistemologi
iluminasionis……….,hal 106.
[27] Jujun S.
Suriasumantri. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta :Pustaka
Sinar Harapan, 2009), 120.
[28]Mehdi ha’iri.Epitemologiiluminasionis……………..,hal
112.
[29] Suparman
Syukur. Epitemologi Islam Skolastik………….., hal 70.
[30] P. Hardono
hadi. Epistimologi Filsafat Pengetahuan. ………., hal 34.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon