iklan banner

Romantisme Robi'ah Al-Adawiyah



Oleh    :
Yunita Rokhmatin
Latar Belakang
Jika kita sedikit melihah ke masa sebelumnya yakni masa kejayaan dan kemasan umat muslim dalam hal Ta’abbudiyah maka, banyak kita akan menemukan beberapa umat muslim yang terkenal akan kesalihannya, kezuhudannya, kesufiannya bahkan sampai buah dari pemikirannya yang kerap dikenal dengan filsafat. Namun, tulisan ini akan membahas tentang sejarah hidup seorang perempuan yaitu Rabi’ah al-Adawiyah yang sangat mulia karena kesufiannya yakni orang pertama kali yang mendobrak tentang arti Cinta Sejati terhadap Tuhan. Mengapa demikian? Semasa hidupnya, ia mengabdikan seluruhnya terhadap Tuhan, tiada hari tanpa keberadaan Tuhan di sampingnya. Ia selalu bercengkrama dan bercinta dengan Tuhan siang dan malam tanpa lelah dan ngantuk.
Menurut hemat penulis bahwa cinta kepada Allah tentu saja tidak serta merta hanya menghabiskan hidupnya semata untu Allah tentu saja tidak serta merta hanya menghabiskan hidupnya semata untuk-Nya, akan tetapi lebih pada pengenalan sifat-sifat Allah. Misalnya, Allah memiliki sifat-sifat yang tercakup dalam Asmaul Husna, Al Ghoni misalnya. Tentu saja seorang muslim harus mengkaji lebih dalam bahwa untuk mengaplikasikan dari sifat Allah yang maha kaya adalah dengan bekerja keras tentunya. Bekerja yang sesuai dengan aturan syariat. Maka inilah yang dilakukan oleh Rabiah Adawiyah dalam pemaknaan cinta ilahinya.
Untuk lebih jelasnya tentang kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah maka, penulis akan mengupas sisi kehidupan Rabi’ah al-Adawiyah beserta ajaran mahabbahnya. Setiap sisi positif yang ada, penulis harap bisa dijadikan cermin dalam menerapkan nilai-nilai islam yang selayaknya.

Biografi Rabi’ah al-Adawiyah
1.        Masa Kelahiran
                   Rabi’ah al-Adawiyah memiliki nama lengjkap Ummu al-Khair bin Ismail al-Adawiyah al-Qisysyiyah. Lahir di Basrah diperkirakan pada tahun 95 H. (717 M) menurut Ibn khalikan, keluarga Rabi’ah dari suku Atiq, dan ayahnya bernama isma’il.
                   Diceritakan dalam sebuah literature karya Fariduddin al-Attar (w. 627H). bahwa pada malam kelahiran Rabi’ah tidak terdapat suatu barang berharga yang didapat dalam rumah Ismail. Bahkan tidak terdapat setetes minyak untuk mengoles pusar putrinya, apalagi minyak untuk lampu penerang. Rumah tersebut juga tidak terdapat sehelai kain pun yang dapat digunakan untuk menyelimuti bayi yang baru lahir. Istrinya minta agar ismail pergi ke tetangga untuk minta sedikit minyak guna menyalakan lampu. Akan tetapi ayah Rabi’ah telah bersumpah bahwa ia tidak akan minta sesuatu pun dari manusia lain, sehingga ia pura-pura menyentuh rumah tetangganya, lalu kembamli ke rumah dan melaporkan bahwa tetangganya sedang tidur sehingga tidak membukakan pintu.
                   Dengan kondisi yang memprihatinkan tersebut, akhirnya ayah Rabi’ah termenung sammpai kemudian tertidur dan mimlpi bertemu Nabi Muhammad seraya berkata: “janganlah kau bersedih hati, karena putrimu yang baru lahir itu kelak akan menjadi orang yang terhormat dan tujuh puluh ribu dari umatku membutuhkan syafa’atnya.” Dan dalam mimpi tersebut Nabi juga memerintahkan agar menbemui Isa Zaidan, seorang amir dengan menyampaikan sepucuk surat yang berisi pesan Rasulullah seperti yang diperintahkan dalam mimpi. Isi surat itu: “hai amir, engjkau biasanya membaca salawat seratus kali setiap malam dan empat ratus kali tuiap malam jum’at. Tetapi dalam jum’at terakhir ini engkau luopa melaksanakannya. Karena itu hendaklah engjkau membayar empat ratus dinar kepada yang membawa surat ini, sebagai kafarat atas kelalaianmu.”[1]
                   Rabi’ah al-adawiyah, yang popular dikenal dengan Rabi’ah Bashri adalah seorang sufi perempuan par excellence. Dia secara universal dihormati dikalangan masyarakat islam. Sungguh, dalam sejarah islam, kaum sufi perempuan muncul pada periode sangat awal, dan martabat orang suci diberikan secara sama, baik kepada perempuan maupun kepada laki-laki. Tidak ada kesulitan bagi kaum perempuan diterima sebagai sufi. Bahkan kedudukan mereka sebagai sufi begitu terhormat, sehingga laki-laki harus mengakui status yang tinggi kepada mereka. Demikian juga, sepanjang memperhatikan “sahabat-sahabat Tuhan” (auliya’ Allah) disana ada kesetaraan yang sempurna antara kedua jenis kelamin.
       Al-Attar, penulis biografi Rabi’ah berbicara tentangnya, sebagai berikut:
       “Dia adalah seseorang yang menjauhkan diri di dalam pengasingan kesucian; seorang perempuan yang tertutup dengan tutup ketulusan agama, seorang yang terbakar dengan cinta dan kerinduan; seorang yang terpikat oleh keinginan untuk mendekati tuhannya, dan larut dalam keagungan-Nya; seorang peempuan yang menghilangkan dirinya di dalam kesatuan dengan Tuhan; seorang yang diterima oleh kaum laki-laki sebagai maria kedua yang suci. Rabi’ah al-Adawiyah, semoga Tuhan memberikan Rahmat padanya”

                   Sayyid Athhar abbas rizvi menulis Rabi’ah dalam bukunya a History of Sufism in India, sebagai berikut: “Rabi’ah mencapai status spiritual yang agung lewat sembahyang dan puasa yang terus-menerus. Dia tetap tidak kawin selama hidupnya. Banyak penulis biografi mengatakan bahwa orang-orang sufi, seperti Hasan Bashri, Malik dinar, Sufyan ats-tsauri, dan Syauqiq Balkhi,  sering kali mengunjungi dalam pertapaan kesendiriannya, dan juga pada waktu ia menarik diri ke dalam hutan belantara. Sebuah kendi yang hancur, dari mana dia mabuk dan membuat pembersihan ritual, sebuah tatakan alang-alang yang tua, dan sebuah batu bata yang kadang kala dia gunakan sebagai bantal, hanya dialah yang punya.”[2]
                   Hal itu searah dengan jalan menuju makrifat yaitu diperoleh lewat usaha perenungan dan pemikiran yang konsisten atau penyinaran dari Tuhan.[3]
                   Hal penting lainnya dalam masalah ini adalah bahwa tasawwur asy-syaikh,yakni konsep seorang tuan yang memprakarsai dan memimpin seorang murid untuk menyempurnakan sebagai seorang sufi, adalah termasuk yang sangat penting. Tidak ada sufi besar yang kita ketahui mencapai kesempurnaan seperti tanpa seorang syaikh. Kelihatannya yang menjadi pengecualian adalah Rabi’ah.
2.        Masa Kecil
                   Rabi’ah tumbuh dan berkembang di lingkungan keluarga biasa yang penuh saleh dan zuhud. Rabi’ah tumbuh secara wajar akan tetapi yang menjadi darinya ialah kelihatan cerdik dan dan lincah disbanding dengan teman-teman sebayanya. Dan juga, dalam dirinya terpancar sinar ketakwaan dan ketaatan yang tidak dimiliki oleh teman-temannya.
                   Ia memiliki IQ di atas rata-rata. Perkembangan taraf intelegensia sangat dipengaruhi pada waktu balita atau masa kandungan (prenatal). Namun, factor yang terpenting adalah pengaruh makanan, menjaga kesehatan dan menjaga ketenangan batin. Hal yang ketiga inilah yang mendominasi kehidupan Rabi’ah saat dalam kandungan, setelah pasca kelahiran menanamkan jiwa kasih sayang, hal tersebut yang mengantarkannya untuk memiliki IQ yang tinggi.[4]
3.        Masa Remaja
                   Masa remaja yang kata sebagian orang merupakan masa yang indah dan bahagia, ternyata tidak berlaku bagi Rabi’ah. Masa-masa manis bersama Ayah Ibunya tidak dapat dinikmatinya lagi, karena dalam usianya yang masih relative muda Ayahnya telah berpulang ke Rahmatullah, di susul kemudian oleh Ibunya. Kepergian orang tuanya merupakan ujian bagi Rabi’ah, karena sang Ayah merupakan tulang punggung keluarga, kemudian disusul Ibunya tercinta. Betapapun cobaannya Rabi’ah tetap tidak kehilangan pedoman, sepanjang siang dan malam Rabi;ah selalu berdzikir dan tafakkur pada Allah SWT. Hanya kepada Allah sajalah ia mengadukan nasibnya dan mempersembahkan hidupnya.
                   Dari keempat bersaudara berjuang untuk mempertahankan hidup dari kelaparan, maka mereka bekerja di rumah, menenun kain atau memintal benang, sedangkan Rabi’ah sehari-harinya bekerja di sungai menyeberangkan orang dengan perahu kecilnya. Perahu itulah satu-satunya barang warisan yang ditinggalkan oleh orang tuanya. Namun demikian, Rabi’ah dan saudara-saudaranya tetap tabah menjalani kehidupan yang ada.[5]
4.        Masa Dewasa
                   Setelah dimerdekakan, dan hidup merdeka sebbagaimana layaknya manusia lain tanpa adanya cangkeraman kemanusiaan dari sang majikan, Rabi’ah al-Adawiyah kemudian memilih hidup sebagai zahidah (wanita yang hidup zuhud). Ia terus memperbanyak ibadah dan tobat serta menjauhi kehidupan materil.[6]
                   Dalam perjalanan selanjutnya, kehidupan sufi telah mantap menjadi pilihannya. Rabi’ah telah menepatui janjinya pada Allah untuk selalu beribadah pada-Nya sampai menemui ajalnya. Ia selalu melakukan shalat tahajud sepanjang malam hingga fajar tiba.
                   Rabi’ah tidak tergoda oleh keduniawian, hatinya hanya tertuju pada Allah, ia tenggelam dalam kecintaannya pada Allah dan beramal demi mencari keridlaan-Nya. Cinta pada Tuhan yang telah muncul sejak masa remaja terus dipupuk selama hidupnya, baik dalam keadaan duduk mauopun berdiri, bahkan segala pikirannya hanya tercurah pada Allah SWT. Dalam suatu riwayat diceritakan bahwa selama 40 tahun ia tidak mendongakkan kepalanya ke langit, karena malu pada Allah, tidak jarang ia mengucurkan air matanya mengharapkan rahmat dari Allah.
                   Rabi’ah telah menempuh jalan kehidupan sendiri, dengan memilih hidup zuhud dan hanya beribadah kepada Allah selama hidyupnya ia tidak pernah menikah, walaupun ia seorang yang cantik dan menarik. Rabi’ah selalu menolak lamaran laki-laki yang ingin meminangnya. Dan ia selalu menolak lamaran yang silih berdatangan dari orang-orang pembesar. Rabi’ah tidak pernah menikah bukan karena semata-mata zuhud terhadap perkawinan itu sendiri, tapi mamang karena ia zuhud terhadap kehidupan itu sendiri.[7]
5.        Masa Akhir Hayat
                   Terdapat silang pendapat di kalangan ahli sejarah tentang wafatnya Rabi’ah, baik itu mengenai tahun maupun tempat penguburannya. Dari pendapat yang ada, mayoritas menyakini tahun 185 sebagai tahun wafatnya Rabi’ah, sedang tempat penguburannya, mayoritas ahli sejarah mengatakan bahwa kota kelahirannya sebagai tempat menguburkannya.
                   Rabia’h mencapai usia kurang lebih dari 90 tahun, bukan semata-mata usia yang panjang, tapi merupakan waktu yang penuh berkah hidup yang menyebar di sekelilingnya.[8]
                   Dan masih ada pendapat lain mengenai tahun wafatnya Rabi’ah seperti yang dikatakan oleh al-Dzahabi dan Abd Al-Rauf Munawi dalam Thabaqat Al-Awliya’, Rabi’ah meninggal dunia pada 180 H. Ibn Khallikan dan Ibn Syakir Al-Kutubi dalam kitab sejarah karya mereka, dan Imad al-Din Abu Al-Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir Al-Qurasyi Al-Dimasyqi, dalam kitabnya Al-Bidayah wa Al-Nihayah, menetapkan bahwa Rabi’ah wafat pada 185 H.[9]
Rabi’ah al-Adawiyah dan ajarannya
a.         Cinta
                   Salah satu aspek penting dari ajaran Rabi’ah adalah tentang Cinta. Dia memahami makksud yang sebenarnya dari cinta. Cinta dapat menjalani segalanya, bahkan dapat mmenjadikan seseorang menjadi selfish (mementingkan diri sendiri). Rabi’ah tidak ppernah sepakat dengan cinta yang mementingkan diri senbdiri kepada Tuhan. Cinta seperti itu tidak punya konsekuensi. Cinta tidak dapat dan tidak boleh mempunyai motif. Rabi’ah menunjukkan Cinta yang mementingkan diri sendiri dan tidak punya pamrih kepada Tuhan, sebagai berikut
       Dengan dua cara aku mencintai-mu: dengan mementingkan diri sendiri. Dan dengan sebuah cinta yang layak adalah dari-Mu. Dan dalam cinta yang mementingkan diri sendiri aku menemukan kebahagiaan di dalam diri-Mu. Sementara kepada semua yang lain, dan lainnya, aku buta. Tetapi, dalam cinta itu yag mencari kamu dengan manfaat. Muncullah penutup yang membuat aku mungkin seperti dalam kamu. Tetapi, pujian itu atau ini bukanlah milikku. Pujian ini dan itu seluruhnya adalah Milikmu.[10]

       Hal itu sebagaimana yang terdapat dalam syairnya :
                   Al-hub atau al-mahabbah, menurut Rabi’ah al-Adawiyah ialah cetusan perasaan rindu dan pasrah kepada Allah. Seluruh ingatan dan perasaan, hanya tertuju kepada-Nya semata, dan tidak terbagi-bagi kepada yang lain. Rasa cinta yang menyelinap dalam lubuk hati yang paling dalam, menyebabkan si empunya cinta rela mengorbankan hidupnya hanya untuk yang dicintai.
                   Rabi’ah tenggelam dalam dzikir, wirid, memuji dan mengingat Allah yang ia cintai. Ia terus berbuat ihsan, sehingga kehidupannya merupakan gambaran nyata dari hubungan cinta antara seorang hamba dengan Tuhannya dan kemudian Tuhan pun mencintainya. Sebagaimana dilukiskan dalam al-Qur’an :
ان الله يحب المحسنين (ال عمران : 134)
       ….dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat ihsan (QS. Ali Imran : 134)
                   Sebagaimana disebutkan oleh Nasution, al-Mahabbah dimaksudkan adalah:
a.         Memeluk kepatuhan kepada Tuhan dan membenci sikap melawan-Nya;
b.         Menyerahkan seluruh diryi kepada yang dikasihi (Allah SWT);
c.         Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali dari diri yang dichintainya (Allah SWT); [11]
                   Ketahuilah bahwa cinta apa pun yang dimiliki seseorang kepada makhluk demi ridha dan kesenangan Allah SWT. Dihitung sebagai cinta kepada Allah SWT.
                   Memiiliki cinta kepada Allah SWT. Dan mentaati segala perintah-Nya dikenal dengan cinta sejati. Melalui cinta sejati, keberhasilan di dunia ini dan di akhirat diperoleh.[12]
                   Al-Attar juga menyebutkan diantara apa yang dikatakan Rabi’ah, tentang semua keasyikan cinta kepada Tuhan ini. Pada suatu hari Rabi’ah ditanya :”apakah kamu mencintai Tuhan yang agung?” mungkin yang bertannya kepadanya berpikir bahwa mustahil  atau sombong baginya untuk mencintai Tuhan begitu jauh melebihi cinta kepada dirinya. Tetapi, Rabi’ah mengatakan “ya.” Kemudia dia bertanya: “apakah kamu menganggap Setan sebagai musuh?” Rabi’ah menimpali: “Tidak” dan yang lain heran seraya bertanya: “bagaimana bisa seperti itu?” Rabi’ah mengatakan: ‘Cinta-ku kepada Tuhan tidak menyisakan ruang untuk membenci setan.”
                   Al-Ghazali, dia sendiri seorang sufi terkemuka dan teolog yang mempunyai reputasi besar, ketika menjelaskan “Cinta Rabi’ah” kepada Tuhan, mengatakan sebagai berikut :
       “Yang dia maksudkan dengan cinta selfish adalah cinta kepada Tuhan karena kemurahan-Nya dan keagungan pemberian-Nya dan untuk kebahagiaan temporer, dan yang dimakhsud dengan cinta yang berguna dari-Nya adalah cinta karena keindahan-Nya yang diturunkan kepada rabi’ah, dan ini adalah cinta yang lebih tinggi dan lebih baik dari kedua cinta tersebut.”

                   Margaret Smith mengatakan tentang filsafat cinta Rabi’ah,  sebagai berikut: untuk meringkas ajaran Rabi’ah tenntang cinta, yaitu cinta dari hamba kepada Tuhannya, dia mengajarkan : Pertama, bahwa cinta ini harus mengalahkan semua yang lain selain dari Yang dicintai. Maksudnya orang suci harus kembali ke dunia dan semua daya tariknya. Kedua, dia harus memutus dirinya dari ciptaan sang Pencipta. Dia bahkan haryus melampaui klaim-klaim pikiran sehat, dan tidak membolehkan kenikmatan atau kesakitan menganggu kontemplasinya kepada Tuhan.[13]
                   Ruzbihah menggambarkan pendakian mistik ke cinta yang sempurna. Kemajuan ini terdiri dari 12 maqam diantaranya :
1.         Ubudiyyah atau kehambaan
2.         Wilayah atau kewalian
3.         Muraqabah atau meditasi
4.         Khawfi atau rasa takut
5.         Raja’ atau harapan
6.         Wajd atau penemuan
7.         Yaqin atau keyakinan
8.         Qurbah atau kedekatan
9.         Mukasyafah atau penyingkapan
10.     Musyahadah atau penyaksian
11.     Mahabbah atau cinta
12.     Syawq atau kerinduan[14]
b.        Surga dan Neraka
                   Itulah ajaran rabi’ah tentang cinta kepada Tuhan. Konsep-nya tentang surga juga sangat berbeda dengan yang lainnya. Bagi Rabi’ah, surga bukanlah sebuah tempat, melainkan suatu keadaan kontemplasi tentang Wajah Tuhan. Ketika ditanya apa yang harus dia katakana tentang surga, dia mengatakan:“pertama adalah tetangga, kemudian rumah.” Menjelaskan tentang hal ini al-Ghazali mengatakan bahwa yang dia maksudkan di dalam hatinya bukanlah menyandarkan pada surga, melainkan pada Tuhannya surga.[15]
                   Mengenai ini, Rabi’ah pernah berkata: “Aku mengabdi kepada Tuhan bukan karena takut kepada neraka…. Bukan pula karena mendambakan masuk surga….. tetapi aku mengabdi karena cintaku kepada-Nya. Tuhanku, jika kupuja Engkau karena takut kepada neraka, bakarlah aku di dalamnya; dan jika kupuja Engkau karena mengharap surga, jauhkanlah aku daripadanya; tetapi jika Engkau kupuja semata-mata karena cintaku kepada Engkau, maka janganlah Engkau sembunyikan kecantikan-Mu yang kekal itu dari diriku.”
                   Rabi’ah membawa konsep baru dalam kesufian yaitu mengembanngkan konsep yang dibawa oleh Hasan al-Basri berupa Khauf (takut) dan raja’ (harap) menjadi konsep zuhud berupa cinta, yang menjadi sarana Rabi’ah dalam merenungkan keindahan Allah yang abadi. [16]
                   Ketika Sufya as-Sawri bertanya kepada Rabi’ah apa sesungguhnya hakikat dari keimanannya, dia menjawab,’aku tidak menyembah Dia karena takut kepada api neraka, atau karena menginginkan surga-Nya, sehingga aku akan menjadi budak rendahan. Namun, aku menyembah Dia karena cintaku kepada-Nya dan kerinduanku kepada-Nya.” Distingsinya yang kerapkali dikutip antara “dua cinta”, cinta yang egois yang mencari surga dan cinta sejati yang mencari kenikmatan Tuhan, adalah titik dasar dalam pemahaman tentang tingkatan-tingkatan cinta.[17]
c.         Perbuatan baik dan jelek
                   Orang yang terperdaya oleh dirinya sendiri akan merasakan bahwa dirinya telah banyak berbuat baik. Orang itu dengan khayalan yang dibuatnya sendiri merasa telah sampai pada maqam spiritual yang tinggi. Ada orang yang sedang melaksanakan salat, lalu dia membayangkan bahwa dirinya sedang melakukan suatu ibadah yang berarti. Dia tidak menyadari bahwa seluruh taufik yang diperolehnya bersumber dari kemurahan Allah SWT. Inilah amal perbuatan orang-orang yang tertipu oleh diri mereka sendiri dan ini pulalah yang ditegaskan oleh imam as-Sajjad as dalam salah satu munajatnya di atas, bahwa apabila seluruh kebaikan manusia merupakan kejelekan dalam pandangan Allah, tentu lebih-lebih lagi dengan keburukannya.
                   Dalam kesempatan lain Rabi’ah Al-Adawiyah juga mengatakan, “Sembunyikanlah seluruh kebaikan kalian sebagaimana kalian menyembunyikan keburukan kalian, karena menampakkan kebaikan adalah merupakan sebuah kekurangan manusia.”
                   Salah seorang ahli makrifat mengatakan bahwa munculnya para kekasih Allah lebih memilih tampil sebagai hamba Allah sejati yang menunjukkan kehambaan (ubudiyah) murni di hadapan-Nya, daripada tampil sebagai sosok pengejawantah Kebesaran-Nya (rububiyah). Artinya, jika tidak karena darurat, maka para kekasih Allah tidak mungkin menampakkan sesuatu luar biasa yang tak mungkin dapat dilakukan oleh lazimnya makhluk, yang merupakan Kebesaran Allah SWT. Karena, itu adalah manifestasi rububiyah-Nya yang tampil pada diri mereka. Orang-orang yang telah sampai pada tujuan mereka, mengatakan bahwa kemunculan para kekasih Allah dalam ubudiyah lebih mereka sukai daripada kemunculan mereka dalam rububiyah.[18]
d.        Kezuhudan Rabi’ah al-Adawiyah
                   Rabi’ah memilih hidup zuhud, menyendiri dan beribadah kepada Allah, daripada menikah. Karena menurutnya, perkawinan hanya akan merintangi perjalanannya menuju cinta Allah. Dan Rabi’ah pun pernah memanjatkan do’a: “Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu darui segala perkara yang menyibukkanku untuk menyembah-Mu, dan dari segala penghalang yang merenggangkan hubunganku dengan-Mu.[19]
                   Malam-malam Rabi’ah disibukkan dengan bangun malam, dan siang harinya dihabiskan untuk beribadah kepada Allah SWT. Konon, ia terliput duka yang dalam dan banyak menangis.
                   Sebagaimana kisahnya yang dinisbatkan oleh ‘Abdah binti Abi Syuwal, seorang wanita yang berkhidmat kepada Rabi’ah, dituturkan dalam Shifah Al-Shafwah, karya ibn Al-Jawzi: Rabi’ah biasa melakukan shalat malam dan tidur sebentar hingga sebelum fajar menyingsing di cakrawala. Kemudian, ia bangun dan berkata, sambil diliputi ketakutan yang sangat, “wahai jiwa, sampai berapa lama lagi engkau banngun dan tidur seperti ini? Ketika engkau tidur, waktu sudah begitu dekat sehingga hanya sangkakala Hari Kiamat saja yang bakal membangunkanmu. Demikianlah ia menjadi kehidupannya hingga wafatnya. Ia sangat rajin bangun malam, kecuali bila ada tugas dan kewajiban yang mencegah dirinya.”
       ‘Abd Al-Ra’uf Munawi dalam karyanya Thabaqat Al-Awliya’ (tingkatan Para Wali) ijuga mencatat bahwa Rabi’ah adalah seorang “yang sangat takut.”[20]
                   Ketika ada orang yang ingin memberikan pundi-pundi emas kepada Rabi’ah. Dan Sufyan menyampaikannya, kemudian Rabi’ah menjawab, “Allah memberi rezeki hamba-hambanya bahkan kepada yang lalai sekalipun. Apalagi kepada hamba yang terpaut hatinya kepada Nya.”[21]
       Syair-syair Rabi’ah al-Adawiyah
                   Konsep al-hubb atau al-mahabbah Rabi’ah Al-Adawiyah, banyak diungkapkan dalam bentuk senandung cinta dan syair-syair cinta yang menyentuh kalbu.
                   Di antara senandung cinta Rabi’ah al-Adawiyah, maka pada malam tiba, ia bersenandung :
الهى          : انارت النجوم ونامت العيون
      وغلقت الملوك ابوابها
      وخلا كل حبيب بحبيبه
      وهذا مقامى بين يديك
       “ Ya Allah, kekasihku!
       Telah gemerlapan sinar bintang-gemintang di langit.
       Mata-mata manusia pun telah terpejam,
       Pintu-pintu istana telah terkunci,
       Dan setiap pecinta telah menyendiri dengan yang dicintainya,
       Maka inilah cintaku hadir lekat di hadirat-Mu!”
                   Tatkala fajar mulai menyingsing di ufuk timur, Rabi’ah Al-Adawiyah bersenandung cinta:
الهى          : هذا الليل قدادبر,
      وهذا النهار قد اسقر,
      فليت شعرى,
      اقبلت منى ليلتى فاهناء,
      ام رددتها عليى فاعزى,
فوعزتك, هذا دأبى مااحييتنى واعنتنى,
وعزتك, لوطردتنى عن بابك,
ما برحت عنه لما وقع فى قلبى من محبتك
“Ya Allah, kekasihku!
Malam telah berlalu,
Dan siang kan datang.
Aku gelisah!
Kau terimakah amalan malamku, hingga membuatku suka?
Atau kau tolakkah sehingga membuatku duka?
       Demi kemahaagungan-Mu
       Inilah yang kuperbuat selama Kau beri hayat,
       Bila Kau usir dari pintu rahmat-Mu,
       Maka akupun takkan mau pergi,
       Cintaku kepada-Mu telah terpatri dalam hatiku.”

احبك حبين حب الهوى # وحب لإنك اهل لذاكا
فاما الذى هو حب الهوى # فشغلى بذكرك عمن سواكا
واما الذى انت اهل له # فكشفك لى الحجب حتى اراكا
فلا الحمدفى ذا اوذاك لى # ولكن لك الحمدفى ذاو ذاكا
       “Aku mencintai-Mu dengan dua cinta
         Cinta karena diriku dan karena diri-Mu.
       Cinta karena diriku adalah
         Keadaanku senantiasa mengingati-Mu
       Dan cinta karena diri-Mu adalah
         Keadaan-Mu menyingkap tabir dan kulihat-Mu.
       Pujianku ini-itu, bukanlah untukku,
         Melainkan semua pujian tersanjung untuk-Mu”
                   Kerinduan dan kepasrahan Rabi’ah al-Adawiyah kepada Allah yang dicintainya sepenuh jiwa dan raga, menjadyikannya segala perasaan dan ingatan hanya tertuju kepada-Nya. Hal ini ia senandungkan dalam satu syairnya
الهى, اغرقنى فى حبك حتى لايشتغلنى شئ عنك
“Ya Allah, kekasihku!
Tenggelamkanlah aku dalam mencintai-Mu,
Sehingga tiada sesuatupun yang merintangiku,
Dari mencintai-Mu”.
                   Cinta Rabi’ah al-Adawiyah bukanlah sembarang cinta, melainkan hanya cinta berbasiskan iman. Yang ia cintai hanyalah Allah SWT. Ia menyatu dengan-Nya dalam cinta. Ia dengan-Nya seakan tak terpisahkan lagi dan saling bercengkerama. Ia bersenandung cinta :

انى جعلتك فى الفؤاد محدثى,
وابحت جسمى من اراد جلوس,
      فالجسم منى للجليس مؤانس,
      وحبيب قلب فى الغؤاد انسى
       “Kujadikan Engkau teman bercakap dalam hatiku,
       Biarlah jisimku bercakap dengan yang duduk.
       Jisimku biarlah bercakap dengan teman duduk yang menyenangkan,
       Isi hatiku, hanyalah untuk-Mu yang menyenangkan!”
       Dalam syair yang lain, Rabi’ah al-Adawiyah bersenandung cinta pula:
يا حبيب القلب مالى سواكا  *  فارحم اليوم مذنبا قد اتاكا
يارجائ وراحتى وسرورى  *  قد ابى القلب ان يحب سواكا
       “Wahai buah hatiku, hanya Engkaulah yang kukasihi,
       Ampunilah daku yang berdosa dan terus datang menemui-Mu.
       “Engkaulah harapanku, kebahagiaanku, dan penyenang hatiku,
            Hatiku telah menolak cinta dari selain-Mu!”[22]
                   Syihabuddin as-Suharwadi dalam buku “’Awarifu al-ma’arif. Membawakan bait-bait puisi Rabi’ah al-Adawiyah yang berbunyi:
       Kujadikan engkau teman berbincang kalbu biar tubuhku
       Berbincang dengan-Mu
       Dengan-Mu tubuhku merasa dekat dalam kalbu terpancang selalu,
       Oh kasihku, cintaku
                   Tidak sedikit wanita-wanita yang selalu terjaga sepanjang malam. Sebagian mereka mengatakan, “aku telah menyaksikan jejak kebajikan melalui mimpi, dan ia telahmengantarkanku ke beberapa tingkatan cahaya. “dalam suatu kesempatan, Rabi’ah berkata:
       Duhai jiwa, berapa lama kau tertidur?
       Sampai kapan kau tertidur?
       Hampir saja kau tertidur dan tidak bangun kalau bukan karena sangkakala Hari Kebangkitan mengoyakmu
       Wahai Tuhanku, pengabdian keada-Mu
       Bukan karena panasnya neraka, bukan karena nikmatnya surga, namun karena besarnya cintaku pada-Nya
       Rindu bertemu dengan-Mu itulah yang mendorongku
       Ungkapan para kekasih Allah semacam itu cukup mempengaruhi murid-murid mereka. Dalam kesempatan lain Rabi’ah berkata:
       Daku mencintai-Mu dengan dua cinta, satu karena hasrat dan satu karena Kaulah yang paling layak
       Hasdakurat-hasrat adalah karena kesibukanku mengingat-Mu dari pada selain-Mu
       Kelayakan-Mu adalah karena Engkau telah bukakan tabir hingga Daku dapat melihat-Mu
       Maka tak ada puji untuk ini dan itu, segala puji hanya untuk-Mu selalu.[23]


[1] Sururin, Rabi’ah al Adawiyyah Hub al-Illahi, (Jakarta: PT RajaGrafindo, 2002), hal. 20-21
[2] Asghar Ali Engineer. Pembebasan perempuan.(Yogyakarta: LKiS, 1999).hal.196-197
[3] Amsal Bakhtiar. Filsafat Agama. (Jakarta: PT LOGOS,  1997).hal. 50
[4] Ibid, Sururin,. Rabi’ah………..hal. 22
[5]Sururin,. Rabi’ah……hal. 26-28
[6] Noer Iskandar al Barsany,. Tasawuf Tarekat dan Para Sufi, (Jakarta: Srigunting, 2001), hal. 142
[7] Sururin,. Rabi’ah……hal.  37-41
[8] Sururin,. Rabi’ah…… hal. 43-44
[9] Javad Nurbakhsh,. Wanita-Wanita Suffi, (Bandung: mizan, 1995),hal. 32
[10]Ibid, hal.199
[11] Noer Iskandar al Barsany,. Tasawuf…………hl. 146
[12] Faqir Zulfiqar Ahmad Naqshbandi, Penerjemah, Munir,. Love For Allah, (Chicago: Marja’, 2002), hal. 50
[13].Ibid.Pembebasan…….hal.200-201
[14] Leonard lewisohn., penerjemah, Gafna Raizha Wahyudi., The Heritage of Sufism, (Yogyakarta: Pustaka Sufi, 2002),
[15].Ibid.Pembebasan…hl.201-202
[16] Ahmad Isa,. Tokoh-Tokoh Sufi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000), hl. 119
[17]Leonard Lewisohn., Penerjemah, Gafna Raizha Wahyudi., The Heritage……….. hl.511
[18] Jawadi Amuli. Keindahan dan Keagungan Wanita. (Jakarta: Lentera, 2005).hal.280
[19] Muhammad nurdin,. Tokoh-Tokoh Besar Islam, (Jogjakarta: ad-Dawa’, 2005), hal. 177
[20] Javad nurbakhsh,. Wanita………….hal. 29-30
[21] Abdillah F Hasan,. Tokoh-tokoh mashur dunia muslim, (Surabaya: jawara Surabaya, 2004), hl. 124
[22] Noer Iskandar al Barsany,. Tasawuf ……….hal.148-152
[23]Ibid.keindahan…..hal. 281
Previous
Next Post »
Thanks for your comment