A.
Pendahuluan
Pada awalnya Rasulullah S.A.W melarang sahabat untuk
menulis hadits, karena dikhawatirkan bercampur baur penulisannya dengan
Al-Qur'an. Perintah untuk menuliskan hadits yang pertama kali oleh khalifah Umar bin Abdul Azis. Beliau penulis surat kepada gubernur di madinah yaitu Abu
Bakar bin Muhammad bin Amr Hazm Al-Alsory untuk membukukan hadits. Sedangkan
ulama yang pertama kali mengumpulkan hadits adalah Arroby bin Sobiy dan Said
bin Abi Arobah. Akan tetapi pengumpulan hadits tersebut masih acak (tercampur antara yang
sohih dengan dhoif, dan perkataan para sahabat).
pembagian hadits yang
ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan, bukan
hanya dari satu segi pandangan saja. Dan dalam makalah ini akan
dikemukakan pembagian hadits ditinjau dari segi kualitas sanadnya.
B. HADITS DI TINJAU DARI SEGI KUALITAS SANADNYA
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu
hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan
keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadits.
Bila dua buah hadits menentukan keadaan rawi dan matan yang sama, maka hadits
yang diriwayatkan oleh dua orang rawi lebih tinggi tingkatannya. Dari hadis
yang diriwayatkan oleh satu orang rawi dan seterusnya.
Jika dua buah hadits memiliki keadaan matan jumlah rawi (sanad) yang sama, maka hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang kuat ingatannya lebih tinggi tingkatannya daripada hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lemah ingatanya.[1]
Para ulama’ hadits membagi hadits tiga bagian, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan dan Hadits Dha’if.
1.
Haditts Shahih
a)
Pengertian
Hadits Shahih
Shahih
menurut bahasa adalah lawan dari sakit. Shahih menurut istilah ilmu hadist adalah hadist yang
sanadnya bersambung dari permulaan sampai akhir, disampaikan oleh
orang-orang yang adil, memiliki kemampuan menghafal yang baik dan sempurna
(dhabit), serta tidak ada penyelisihan dengan perawi yang lebih terpercaya
darinya dan tidak ada ilat yang berat.
Para ulama mendefinisikan
hadis shahih yaitu hadis yang bersambung sanadnya, yang diriwayatkan oleh rawi
yang adil dan dabit sampai akhir sanad, dan hadis itu tidak janggal dan tidak
mengandung cacat (illat).[2]
b)
Syarat-syarat Hadits Shahih
Menurut muhadditsin, suatu hadits
dapat dinilai shahih apabila memenuhi kriteria sebagai berikut:[3]
1)
Sanadnya bersambung[4]
Yang dimaksud dengan ketersambungan
sanad adalah bahwa setiap rawi hadits yang bersangkutan benar-benar menerimanya
dari rawi yang berada di atasnya dan begitu selanjutnya sampai kepada pembicara
yang pertama. Jadi suatu sanad hadits dapat dinyatakan bersambung apabila:
a.
Seluruh
rawi dalam sanad itu benar-benar tsiqat (adil dan dhabit)
b.
Antara
masing-masing rawi dengan rawi terdekat sebelumnya dalam sanad itu benar-benar
telah terjadi hubungan periwayatan hadits secara sah menurut ketentuan tahamul
al hadits.
2)
Perawinya
bersifat adil
Maksudnya adalah orang
yang lurus agamanya, baik budi pekertinya dan bebas dari kefasikan dan hal-hal
yang menjatuhkan keperawiannya.
3)
Perawinya
bersifat dhabit
Dhabit adalah bahwa rawi yang bersangkutan dapat
menguasai haditsnya dengan baik, baik dengan hafalan yang kuat atau dengan
kitabnya, lalu ia mampu mengungkapkan kembali ketika meriwayatkannya
Kalau seseorang mempunyai ingatan
yang kuat, sejak menerima hingga menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan
saja, orang itu dinamakan dhabtu shadri, sedangkan kalau apa yang disampaikan
itu berdasarkan buku catatan ia disebut dhabtu kitab. Rawi yang ‘adil dan
sekaligus dhabith disebut tsiqah.
4)
Tidak Syadz (janggal)
Maksudnya (syadz) adalah
kondisi dimana seorang perawi berbeda dengan perawi lain yang lebih kuat
posisinya. Keadaan semacam ini di pandang janggal/rancu karena ia berbeda
dengan rawi yang lain yang lebih kuat posisinya baik dari segi kekuatan daya
hafalannya atau jumlah mereka lebih banyak sehingga di unggulkan.
5)
Tidak ada Cacat[5]
Cacat
(Illat) berarti suatu sebab
tersembunyi atau samar-samar, sehingga dapat merusak keshahihan hadits. Adanya kesamaran pada hadits tersebut mengakibatkan
kualitasnya menjadi tidak shahih. Dengan demikian maka yang dimaksud hadits yang tidak berillat ialah hadits-hadits yang didalamnya tidak ada kesamaran atau
keragu-raguan.
c)
Klasifikasi
Hadits Shahih
Para ulama hadits membagi hadits
shahih memjadi dua macam, yaitu:
1)
Shahih
Li dzatihi, yaitu hadits yang memenuhi syarat-syarat atau sifat-sifat hadits
maqbul secara sempurna, yaitu syarat-syarat yang lima sebagaimana
tersebut di atas. Contohnya:[6]
حدّثنا
عبد الله بن يوسف اخبرنا مالك عن نافع عن عبد الله انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال: اذا كانوا ثلاثة فلا يتناجى
اثنان دون الثّالث (رواه البخارى)
Artinya: “Bukhari berkata, “Abdullah bin Yusuf telah menceritakan kepada kami bahwa
Rasulullah SAW bersabda, “Apabila mereka bertiga, janganlah dua orang berbisik
tanpa ikut serta orang ketiga.” (H.R Bukhari)
Hadits di atas diterima oleh Bukhari dari Abdullah bin Yusuf
menerima dari Malik, Malik menerimanya dari Nafi’, Nafi’ menerimanya dari
Abdullah, dan Abdullah itulah sahabat Nabi yang mendengar Nabi SAW bersabda
seperti tercantum di atas. Semua nama-nama tersebut, mulai dari Bukhari sampai
Abdullah (sahabat) adalah rawi-rawi yang adil, dhabit, dan benar-benar
bersambung. Tidak ada cacat, baik pada sanad maupun matan. Dengan demikian
hadits di atas termasuk hadits shahih li zatihi.
2)
Shahih
Li Ghairihi, yaitu hadits dibawah tingkatan shahih yang menjadi hadits shahih
karena diperkuat oleh hadits-hadits lain. sekiranya hadits yang memperkuat itu
tidak ada, maka hadits tersebut hanya berada pada tingkatan hadits hasan.
Hadits sahih li ghairihi hakekatnya adalah hadits hasan lizatih (hadits hasan
karena dirinya sendiri). Hadits dibawah ini merupakan contoh hadits hasan li
dzatih yang naik derajatnya menjadi hadits shahih li ghairih:[7]
عن ابى
هريرة رضى الله عنه انّ رسول الله صلّى الله عليه وسلّم قال: لولا ان اشقّ على
امّتى لا مرتهم بالسّواك عند كلّ صلاة (رواه البخارى و الترمذى)
Artinya: “Andaikan tidak memberatkan
pada umatku, niscaya akan kuperintahkan
bersiwak pada setiap kali hendak melaksanakan shalat”. (H.R Bukhari dan
Turmudzi)
d)
Istilah
pengarang hadits yang diterapkan pada hadits shahih
"وفيه اصح الأسانيد" : Hadits yang mempunyai rentetan sanad yang
lebih shahih. Martabat hadits ini sangat tinggi. Karenanya harus diutamakan
daripada yang lain.
"وفي اسناده مقال"
: Sand hadts ini perlu diseldiki lebih lanjut, disebabakan di antara sanadnya
terdapat orang yang diperdebatkan tentang keadaan dan kelakuannya.
"هذا حديث صحيح الاسناد او اسناده صحيح" : Hadits in shahih sanadnya. Namun belum tentu
shahih matannya.
"هذا حديث صحيح" : Hadits ini muuttasil sanadnya, serta
melengakapi segala syarat hadits shahih.
"متفق عليه او على صحته" : Hadts ini disepakati keshahihan sanadnya oleh
Imam Bukhori dan Imam Muslim. Sehingga keduanya meriwayatkan hadits ini
meskipun dengan gaya bahasa yang berbeda.
"صحيح على شرطي البخاري و مسلم" : Para perawi dari hadits ini terdapat dalam
kitab sahih Bukhor atau Muslim, kendati keduanya tidak meriwayatkan hadits
tersebut.
"حسن صحيح"
: Hadits ini mempunyai dua sanad, Hasan dan shahih.
"هذا حديث جيد" : Menurut ibnu shalah dan Al Bulqiny istilah
ini sama dengan istilah hadza haditsun shahihun. Ibnu Hajar menyangkal bahwa
tidaklah tepat apabila hadits shahih itu muradlif dengan hadits jayyid, kecual
kalau hadits semula hasan lidzthi, kemudian naik enjadi shahih lighairihi. Dengan
demikan hadits yang disifati dengan jayyid itu lebh rendah darpada hadits
shahhhadits shahih itu sendiri.
"هذا حديث ثابت او مجود"
: Pengarang kitab At-tadrib menjelskan bahwa istilah ini dapat diterapkan
penggunaannya pada hadits ahahiah dan hasan.
2.
Hadis Hasan
a)
Pengertian
Hadits Hasan
Hadist Hasan menurut
bahasa artinya baik dan bagus. Sedangkan menurut istilah artinya hadist yang sanadnya
bersambung dari permulaan sampai akhir, diceritakan oleh orang-orang yang adil,
kurang dhabitnya, serta tidak ada syadz dan ilat yang berat.
Dengan demikian, yang di
maksud hadits hasan ialah hadist yang telah memenuhi lima persyaratan
hadits shahih sebagaimana disebutkan terdahulu, hanya saja bedanya, pada hadits
shahih daya ingatan perawinya sempurna, sedangkann pada hadits hasan daya
ingatan perawinya kurang sempurna atau sebagiannya
kedhabitannya lebih rendah dibanding kedhabitan perawi hadis shahih.
b)
Klasifikasi
Hadits Hasan
Sebagaimana hadits shahih terbagi
menjadi dua macam, hadits hasan pun terbagi menjadi dua macam, yaitu hasan lidzatihi
dan hasan lighayrihi. Hadits hasan lidzatihi adalah hadits yang terwujud karena
dirinya sendiri, yakni karena matan dan para perawinya memenuhi syarat-syarat
hadist shahih, kecuali keadaan rawi (rawinya kurang dzabit).
Contohnya hadits hasan lidzatihi,
hadist ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban dari Al
Hassan bin Urfah Al Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu Salamah dari Abi
Hurairah, bahwa Nabi bersabda:[8]
اعمار
أمّتي ما بين السّتّين إلى السّبعين وأقلّهم من يجوز ذلك
Artinya: “Usia umatku sekitar 60
sampai 70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu”.
Para perawi hadits di atas tsiqah
semua kecuali Muhammad bin Amr dia adalah shaduq (sangat benar). Oleh para
ulama hadits nilai ta’dil shaduq tidak mencapai dhabith tamm sekalipun telah
mencapai keadilan, kedhabithannya kurang sedikit jika dibandingkan dengan
kedhabithan shahih seperti tsiqatun (terpercaya) dan sesamanya.
Sedangkan hadits hasan li ghairih
adalah hadits di bawah derajat hasan yang naik ke tingkatan hadits hasan,
karena hadits lain yang menguatkannya atau hadits hasan li ghairih adalah
hadits dha’if yang karena dikuatkan oleh hadits lain, meningkat menjadi hadits
hasan.
Contoh hadits hasan li ghairihi,
hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Al Hakam bin Abdul Malik dari
Qatadah dari Sa’id bin Al Musayyab dari Aisyah, Nabi bersabda:[9]
لعن
الله العقرب لا تدع مصلّيا ولا غيره فاقتلوها فى الحل والحرام
Artinya: “Alloh melaknat
kalajengking janganlah engkau membiarkannya baik keadaan shalat atau yang lain,
maka bunuhlah ia di Tanah Halal atau di Tanah Haram”.
Hadits di atas dha’if karena Al
Hakam bin Abdul Malik seorang dha’if tetapi dalam sanad lain riwayat Ibn
Khuzaimah terdapat sanad lain yang berbeda perawi di kalangan tabi’in (mutabi’)
melalui Syu’bah dari Qatadah. Maka ia naik derajatnya menjadi hasan li ghairih.
c)
Istilah
pengarang hadits yang diterapkan pada hadits hasan
"هذا حديث حسن الاسناد"
Hadits ini hanya sanadnya saja yang hasan, tidak sampai mencakup kepda kehasanan
matannya. Hadist hasan yang demij\kian ni, lebih rendah nilainya dari pada
hadits yang dinilai dengan "هذا حديث حسن"
"هذا حديث حسن صحيح" Menurut ibnu shalah berarti hadts yang
mempunyai dua sanad hasan dan shohih.
"هذا حديث حسن غريب"
Menurut
atturmudzi suatu hadits yang berkumpul di dalamnya dua sifat; hasn dan gharib.
"هذا حديث حسن جدا"
Diartikan
dengan: hadits yang maknanya sngat menarik hati.
"هذا حديث صحاح أو احاديث حسان" Kedua istilah ini, khusus terdapat dalam kitab
Al Mashabih karya Baghawi
1)
Shihah: segala hadits yang tercantum dalam
kedua kitab shahih bukhari dan muslim.
2)
Hisan : Hadits yang tercantum dalam kitab-kitab
sunan.
"هذا حديث صالح"
Di dalam kitab sunan adu dawud, nilai hadts-hadits itu terbagi kepada Hadits
shahih, Musyabih (yang menyerupai), Muqarib (yang dekat) dan Wahnun syadidun
(lemah sekali). Disamping itu, masih ada hadits yang tidak ditentukan nilainya.
Hadist yang tidak ditentukan nilainnya diberi nama dengan Hadist Shalih.
Hadist
shalih ini menurut pendapatnya dapat dijadikan hujjah apabila disokong oleh
hadits lain. Kalau tidak ada penyokongnya, hanya dapat digunakan sebagai
I’tibar saja.
"هذا حديث مشبه"
Hadits yang mendekati hadits hasan.
3.
Hadis Dha’if
a)
Pengertian
Hadits Dha’if
Hadits dha’if secara bahasa berarti hadits yang lemah.[10]
Secara istilah hadits dha’if adalah hadits yang hilang salah satu syaratnya
dari syarat-syarat hadits maqbul (hadits shahih atau hadits hasan). Contoh
hadits dha’if:[11]
من أتى
حا ئضا أو امرأة من دبر أو كاهنا فقد كفر بما أنزل على محمّد
Artinya: “Barangsiapa yang
mendatangi seorang wanita menstruasi (haid) atau pada seorang wanita dari jalan
belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka ia telah mengingkari apa yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW”.
Hadist tersebut diriwayatkan oleh At
Tirmidzi melalui jalan Hakim Al Atsram dari Abu Tamimah Al Hujaimi dari Abu
Hurairah dari Nabi SAW. Dalam sanad itu terdapat seorang dha’if yaitu Hakim Al
Atsram yang dinilai dha’if oleh para ulama.
b)
Klasifikasi
Hadits Dha’if
Para ulama muhadditsin mengemukakan
sebab-sebab tertolaknya hadits dari dua jurusan, yakni sanad dan matan.
Sebab-sebab tertolaknya hadits dari sanad:[12]
1) Terwujudnya cacat-cacat pada rawinya, baik tentang keadilan atau
kedhabitannya.
2) Ketidak bersambungan sanad, dikarenakan seorang rawi atau lebih
yang digugurkan atau saling tidak bertemu satu sama lain.
Adapun kecacatan rawi itu antara lain: dusta, tertuduh dusta, fasik, banyak
salah, lengah dalam menghafal, menyalahi riwayat orang kepercayaan, banyak
waham (purbasangka), tidak diketahui identitasnya, penganut bid’ah, tidak baik
hafalannya.[13]
Klasifikasi hadits dha’if berdasarkan cacat pada keadilan dan kedhabitan
rawi antara lain:[14]
1)
Hadits
Maudhu’ (hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah SAW secara palsu dan dusta)
2)
Hadits
Matruk (hadits yang pada sanadnya ada seorang rawi yang tertuduh dusta)
3)
Hadits
Munkar (hadist yang pada sanadnya terdapat rawi yang jelek kesalahan, banyak
lengah, tampak fasik)
4)
Hadits
Syadz (hadist yang diriwayatkan oleh seorang rawi yang maqbul, yang menyalahi
riwayat orang yang lebih utama darinya baik karena jumlahnya lebih banyak
ataupun yang lebih tinggi daya hafalnya)
Sedangkan klasifikasi hadits dha’if
berdasarkan gugurnya rawi, yaitu:[15]
1)
Hadits
Mu’allaq (hadits yang seorang atau lebih rawinya gugur pada awal sanad secara
berurutan)
2)
Hadits
Mu’dhal (hadist yang putus sanadnya dua orang atau lebih secara berurutan)
3)
Hadits
Mursal (hadist yang gugur rawi dari sanadnya setelah tabi’in)
4)
Hadits
Munqathi (hadits yang gugur seorang rawinya sebelum sahabat di satu tempat,
atau gugur dua orang pada dua tempat dalam keadaan tidak berurutan)
5)
Hadits
Mudallas (hadits yang diriwayatkan menurut cara yang diperkirakan bahwa hadits
itu tidak bernoda).
C.
KEHUJJAHAN HADITS SHAHIH DAN HADITS HASAN
Para
ulama sependapat bahwa seluruh hadits shahih baik shahih lidzatih maupun sahih
li ghairih dapat dijadikan hujjah. Mereka juga sependapat bahwa hadis hasan,
baik hasan lidzatih maupun hasan li ghairih, dapat dijadikan hujjah. Hanya saja
mereka berbeda pandangan dalam soal penempatan rutbah, yang disebabkan oleh
kualitasnya masing-masing. Ada ulama yang membedakan kualitas kehujjahan, baik
antara sahih li dzatih dengan shahih li ghairih dan hasan li dzatih dengan
hasan li ghairih, maupun antara hadits shahih dan hadits hasan itu sendiri.
Namun ada juga ulama yang mencoba memasukkan hadits-hadits dalam satu kelompok
tanpa membedakan kualitas antara satu dengan yang lainnya, yakni dalam kelompok
hadits shahih. Pendapat ini antara lain dianut oleh Al Hakim, Ibnu Hibban, dan
Ibnu Huzaimah.
Para
ulama yang berusaha membedakan kehujjahan hadits berdasarkan perbedaan
kualitas, sebagaimana dianut oleh kelompok pertama, mereka lebih jauh
membedakan rutbah hadits-hadits tersebut berdasarkan kualitas para perawinya,
yaitu berikut ini:[16]
1.
Pada
urutan pertama, mereka menempatkan hadits-hadits riwayat Mutafaq alaih (hadits
yang disepakati oleh Bukhari dan Muslim).
2.
Urutan
kedua, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari.
3.
Urutan
ketiga, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Muslim.
4.
Urutan
keempat, hadits-hadits diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim
(Sahih ‘ala Syart Al Bukhari wa Muslim).
5.
Urutan
kelima, hadits-hadits yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari (Shahih
‘ala Syart Al Bukhari) sedang ia sendiri tidak meriwayatkannya.
6.
Urutan
keenam, hadits-hadits yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Muslim (Shahih
‘ala Syart Muslim) dan ia sendiri tidak meriwayatkannya.
7.
Urutan
ketujuh, ialah hadits-hadits yang diriwayatkan tidak berdasarkan kepada salah satu
syarat dari Bukhari atau Muslim.
Penempatan
hadits-hadits tersebut berdasarkan urutan-urutan di atas akan terlihat
kegunaannya ketika terlihat adanya pertentangan (ta’arud) antar dua
hadits. Hadits-hadits yang menempati urutan pertama dinilai lebih kuat daripada
hadits-hadits yang menempati urutan kedua atau ketiga, begitu juga seterusnya.
D.
Kemungkinan Hadits Dha’if menjadi Hasan
Hadits
dha’if dapat naik derajatnya menjadi hadits hasan (li ghairih) bila satu
riwayat dengan yang lainnya sama-sama saling menguatkan. Akan tetapi ketentuan
ini tidak bersifat mutlaq karena ketentuan ini bagi para perawi yang lemah
hafalannya, akan tetapi kemudian ada hadist dhaif lain yang diriwayatkan oleh
perawi yang sederajat pula, maka hadits tersebut bisa naik derajatnya menjadi
hadits hasan.[17]
Sementara
bila ke-dha’if-an sebuah hadis karena perawinya disifati fisq dan
tertuduh dusta maka ke-dha’if-an tadi tidak bisa terangkat. Contoh
haditsnya sebagai berikut:[18]
بادروا
بالأعمل سبعا: هل تنتظرون إلاّ مرضا مفسدا، و هرما مفنّدا، أو غنى مطغيا، أو موتا
مجهزا، أو الدّجّال، فشرٌّ، أو السّا عة، و السّا عة أدهى و أمرّ
Artinya:
“Bersegeralah kamu melakukan amal-amal (saleh) sebelum datangnya tujuh perkara:
(yaitu) kamu menunggu datangnya penyakit yang merusak, masa tua yang renta
(menyebabkan pikun), kekayaan yang menjadikanmu suka menyeleweng, kemiskinan
yang menjadikan lupa, kematian yang begitu cepat datangnya, atau dajjal yang
merupakan kejahatan yang dinantikan kedatangannya, atau hari kianat, sedangkan
hari kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit”.
Hadits
tersebut dhaif. Diriwayatkan oleh Tirmidzi (III/257), al Uqaili dalam adh
Dhu’afa (425), dan Ibnu Adi (I/341), dari Mahraz bin Harun, dia berkata, saya
mendengar al A’raj menginformasikan dari Abu Hurairah secara marfu’
Al
uqaili berkata, “Al Bukhari berkata tentang Mahraz bin Harun, ‘Mungkar
haditsnya.’ Hadits ini juga diriwayatkan dengan isnad lain dari jalan yang
lebih layak daripada ini.”
Tirmidzi
berkata, “Hadits ini Hasan gharib”
Demikianlah
yang dikatakannya. Barangkali yang dimaksudnya ialah hasan li ghairih karena
jalan periwayatan yang diisyaratkan oleh al Uqaili itu, yaitu yang diriwayatkan
oleh Hakim (IV/321) dari jalan Abdullah, dari Ma;mar, dari Sa’id al Maqbari,
dari Abu Hurairah, dari Nabi Saw, beliau bersabda,
ما
ينتظر أحدكم إلاّ غنى مطغي
“Tidaklah
seseorang dari kamu melainkan menantikan masa kaya yang menyebabkan
penyelewengan,”
Tanpa
menggunakan perkataan Baadirru bil a’maali sab’an ‘Bersegerala kamu melakukan
amal shaleh sebelum datangnya tujuh perkara’. Dia berkata, “Sahih menurut
syarat Syaikhaini.” Perkataan ini disetujui oleh adz Dzahabi.
Dilihat
dari zahir sanad, memang seperti apa yang mereka katakana itu. Akan tetapi,
saya menjumpai cacat yang samar karena Abdullah yang meriwayatkannya dari Ma’mar
itu adalah Abdullah ibnul Mubarak yang telah meriwayatkan dalam kitabnya, az
Zuhd, dan al Baghawi meriwayatkannya darinya dalam Syarhus Sunnah kepada isnad
ini. Hanya saja, dia mengatakan, “Telah diberitahukan kepada kami oleh Ma’mar
bin Rasyid, dari seseorang yang mendengar al Maqbari menginformasikan dari Abu
Hurairah…..”
Dengan
demikian, jelaslah bahwa hadits ini tidak diriwayatkan oleh Ma’mar dari al
Maqbari, tetapi diantara mereka terdapat seseorang yang tidak disebutkan
namanya. Hal ini diperkuat dengan keadaan bahwa para ahli hadits tidak menyebut
Ma’mar dalam jajaran guru Ma’mar al Maqbari, tetapi diantara mereka terdapat
seseorang yang tidak disebutkan namanya, orang yang tak dikenal (majhul)
inilah yang menjadi cacat sanad ini.
E.
Kehujjahan Hadits Dha’if
Para
ulama berbeda pendapat tentang pengamalan hadits dha’if, yang dirangkum menjadi
tiga pendapat:[19]
1.
Menurut
Abu Dawud dan Imam Ahmad, hadits dha’if bisa diamalkan secara mutlak. Alasannya
adalah hadits dha’if lebih kuat daripada akal perorangan (qiyas).
2.
Menurut
Ibn Hajar, hadits dha’if bisa digunakan dalam masalah fadha’il al-a’mal
(keutamaan amal), mawa’izh, atau yang sejenisnya jika memenuhi beberapa syarat,
yaitu:
a)
Kedha’ifannya
tidak terlalu. Tidak tercakup di dalamnya seorang pendusta atau yang tertuduh
berdusta, atau terlalu sering melakukan kesalahan.
b)
Hadits
dha’if itu masuk dalam cakupan hadits pokok yang bisa diamalkan.
c)
Ketika
mengamalkannya tidak menyakini bahwa ia berstatus kuat, tetapi sekedar
berhati-hati.
3.
Hadits
dha’if tidak bisa diamalkan secara mutlak, baik mengenai fadha’il maupun
hukum-hukum (ahkam). Demikian pendapat Ibn ‘Arabi, Imam Al Bukhari, Imam
Muslim, Ibn Hazm, dll.
Menurut
Muhammad ‘Ajaj al-Khatib dalam bukunya M. Noor Sulaiman, pendapat ketigalah
yang paling aman. Ia memberikan alasan bahwa kita memiliki hadits-hadits shahih
tentang fadha’il, targhib (janji-janji yang menggemarkan), dan tarhib (ancaman
yang menakutkan) yang merupakan sabda Nabi SAW yang sangat padat dan berjumlah
besar. Hal itu menunjukkan bahwa kita tidak perlu menggunakan dan meriwayatkan
hadits dha’if mengenai masalah fadha’il dan sejenisnya.
Contoh
haditsnya sebagai berikut:[20]
من كان
موسرا لأن ينكح فلم ينكح، فليس منّى
Artinya:
“Barangsiapa yang mempunyai kemampuan untuk menikah, tetapi dia tidak mau
menikah, maka dia tidak termasuk golonganku”
Hadits
tersebut diatas adalah dhaif. Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al
Mushannaf (VII/I/2), ath Thabrani dalam al Ausath (I/62/1), al Baihaqi dalam as
sunan (VII/78) dan dalam Syu’abul Iman (II/134/2), dan al Wahidi dalam al
Wasith (III/114/2)dari Ibnu Juraij, dari Umair bin Mughallis, dari Abu Najih
secara marfu’.
Muhammad
Nashirudin Al Albani menyatakan alasan kedhaifan hadits tersebut dalam bukunya
Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu’, sebagai berikut:
Pertama,
mursal, karena Abu Najih itu seorang tabi’in yang dapat dipercaya, namanya
Yasar.
Kedua,
kelemahan Umair bin Mughallis. Dia dimasukkan oleh al Uqaili dalam adh Dhu’afa
(hlm.317) seraya berkata, “Dia meriwayatkan dari hariz bin Utsman, dari Abdur
Rahman bin Jubair, dan tidak ada yang mendukungnya, dan hadits itu tidak
dikenal kecuali melalui dia. Dan dengan cacat yang di muka itulah al Baihaqi
mencatat hadits ini dengan mengatakan, “(Hadits) ini mursal”
F.
Kesimpulan
Penentuan tinggi rendahnya tingkatan suatu
hadits bergantung pada tiga hal, yaitu jumlah rawi, keadaan (kualitas rawi), dan
keadaan matan. Ketiga hal tersebut menentukan tinggi rendahnya suatu hadits.
Para ulama’ hadits menentukan Kualitas Hadits ditinjau dari segi kualitas
sanadnya dibagi menjadi tiga, yaitu Hadits Shahih, Hadits Hasan, dan Hadits
Dha’if. Dan hadist shahih maupun hadits hasan terbagi
menjadi dua yaitu lidzatihi dan lighairihi
Sedangkan
pengklasifikasian hadits dha’if
berdasarkan cacat pada keadilan dan kedhabitan rawi antara lain: hadits
maudhu’: hadits matruk, hadits munkar, hadits syadz. Dan
klasifikasi hadits dha’if berdasarkan gugurnya rawi, terbagi menjadi hadits
mu’allaq, hadits mu’dhal, hadits mursal, hadits munqathi, hadits mudallas.
G.
Daftar Pustaka
Al Albani, Muh. Nashiruddin. 2001. Silsilah
Hadits Dha’if dan Maudhu. Diterjemahkan oleh As’ad Yasin. Jakarta: Gema
Insani.
Ahmad, Muh. dan M. Mudzakir. 2000. Ulumul
Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia
Al-Khatib, Ajjaj, Ushul
Al-Hadits, Semarang: Gaya Media Pratama, 1997
As- Shalihin, Subhi, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
Khon, Abdul Majid. 2008. Ulumul
Hadis. Jakarta: Amzah
Mudasir. 2010. Ilmu Hadis.
Bandung: CV. Pustaka Setia.
Muhammad Ahmad,
Drs,.H, Mudzakir, Drs,.M, Ulumul Hadis,
Bandung: CV.Pustaka Setia, 2000
Solahuddin, M dan Agus Suryadi.
2009. Ulumul Hadis. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Sulaiman, M. Noor. 2008. Antologi
Ilmu Hadits. Jakarta: Gaung Persada Press.
Suparta, Munzier. 2002. Ilmu
Hadis. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
http://hitsuke.blogspot.com/2009/07/klasifikasi-hadis-berdasarkan-kuantitas.html
[1] Muhammad
Ahmad, Drs,.H, Mudzakir, Drs,.M, Ulumul
Hadis, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hal. 75-76
[2] Muhammad
Ahmad, Drs,.H, Mudzakir, Drs,.M, Ulumul
Hadis, CV.Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hal. 101
[3] Munzier Suparta, Ilmu Hadis (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002) hal. 142
[4] Ibid.,hlm.143
[6] Muh.Ahmad dan M. Mudzakir, Ulumul Hadist (Bandung: CV.Pustaka
Setia, 2000), hal.106
[7] Mudasir, Ilmu Hadis (Bandung: CV.Pustaka Setia, 2010), hal.149-145
[8] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis (Jakarta: Amzah, 2008), hal 160
[9] Ibid.,hlm 161
[10] Ibid.,hlm 163
[11] Ibid.,hlm 164
[12] M. Solahuddin, Ulumul Hadis (Bandung: CV Pustaka Setia, 2009), hal
148
[13] Ibid.,hlm 149
[14] Ibid.,hlm 150
[15] Ibid.,hlm 151-154
[16] Mudasir, Ilmu Hadis, hal 155-156
[17] Munzier Suparta, Ilmu Hadis….. hal 171-172
[18] Muhammad Nashirudin Al Albani, Silsilah Hadits Dhaif dan Maudhu’
(Jakarta: Gema Insani,2001), hlm.150
[19] M. Noor Sulaiman, Antologi Ilmu Hadis (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2008), hal 112-113
[20] Ibid, hlm.411
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon