A. PENDAHULUAN
Filsafat ilmu berperan
penting dalam penalaran pemikiran manusia untuk menyusun ilmu, sebab filsafat
ilmu berfungsi untuk memahami hakikat ilmu secara mendalam, dan tidak jarang
juga dalam proses penalaran pemikiran, manusia bisa menemukan ilmu.
Proses pemikiran
manusia tidak hadir begitu saja dalam diri manusia, akan tetapi ada hal yang
menjadikan pemikiran manusia muncul. Pemikiran tersebut muncul dikarenakan
adanya objek yang dinilai oleh subjek, dan nantinya akan muncul sebuah ilmu
dari penilaian subjek tentang objek.
Subjek dalam filsafat
ilmu disebut sebagai objek imanen, sedangkan objek disebut dengan objek
transitif. Dua objek dalam filsafat ilmu harus ada korespondensi diantara kedua
objek, karena dengan adanya korespondensi objek ganda manusia dapat mengetahui
hakikat ilmu secara luas, dan bisa juga menemukan sebuah ilmu pengetahuan yang
sangat fenomenal.
Dari pemaparan yang
telah tertulis, maka penulis mencoba untuk menjelaskan tentang devinisi objek
imanen dan objek transitif dalam filsafat ilmu, ciri-ciri dari objek ganda,
contoh dari objek ganda, dan juga korespondensi antara objek ganda secara
sederhana yang akan dipaparkan pada pembahasan berikut.
B. PEMBAHASAN
1.
Objek
Imanen
Objek
imanen bisa juga disebut objek internal, adalah objek yang hadir dalam pikiran
manusia. Objek internal,[1]
disebut pula sebagai objek subjektif. Pengertian subjek tidak lain adalah
pikiran yang melaksanakan tindakan pengetahuan, yaitu dengan mengetahui
sesuatu.
Proses
munculnya objek imanen dalam pikiran subjek, diawali dengan penyerapan sebuah
objek eksternal yang masuk dan tersimpan dalam pikiran subjek secara menyeluruh
dan detail.
Ketika
subjek sudah memahami secara mendalam sebuah objek ekternal, dan bisa
menggambarkan secara gamblang tentang objek terseebut, maka itulah yang disebut
dengan objek imanen yang hadir dalam pikiran manusia.
Contoh
objek imanen yang hadir dalam pikiran manusia, semisal ada seseorang yang
terlahir di kota Surabaya dan sudah tinggal di kota tersebut bertahun-tahun, dan
dia sangat mengetahui betul tentang kota Surabaya, mulai dari tempat wisata,
gedung-gedung perkantoran, hingga pasar-pasar tradisional yang ada di Surabaya,
hingga dia bisa menjelaskan secara jelas tentang gambaran dia tentang kota
Surabaya.
Contoh
lain yang berkenaan dengan filsafat ilmu adalah, jika ada seseorang yang
mengetahui hasil angka 25 (dua puluh lima) adalah, dari perkalian 5x5 (lima
dikali lima), maka dia adalah orang yang mengetahui tentang perkalian dalam
bidang ilmu matematika secara melekat dalam pikiran seseorang tersebut.
Dari
dua contoh di atas dapat kita pahami, bahwa objek eksternal yang sudah melekat
sangat kuat dalam pikiran subjek secara mendalam hingga menjadi objek imanen, tidak
hanya objek yang berbentuk material saja, akan tetapi juga ada objek yang
immaterial.
Dalam
pemikiran Al-Ghazali wujud objek imanen yang terinternalisasi dalam pikiran
manusia terbagi menjadi tiga yaitu, a) wujud hissi, b) wujud khayali
dan c) wujud ‘aqli.[2]
a) Wujud hissi adalah adanya
sesuatu dalam potensi indra sebagai (sense datum), yaitu hasil persepsi
langsung indra terhadap objek dan penampakan dunia luar-objek transitif-pada
indra bukanlah substansi objek yang sebenarnya, melainkan halusinasi.
Contohnya: Budi bermimpi mendapatkan emas 2 Kg. Dalam dunia mimpinya, indra
Budi mampu menangkap kejadian tersebut, bahkan dia merasa betapa senangnya
ketika melihat kejadian tersebut. Tetapi kejadian tersebut hanya bisa ditangkap
langsung oleh indra melalui mimpi dan tidak terjadi langsung di dunia nyata.
b) Wujud khayali adalah data
sensual yang sudah terinternalisasi ke dalam mental subjek dan disimpan dalam
memori. Menurut pandangan filsuf barat, “sense data” atau data sensual
inilah yang menghubungkan pikiran subjek dengan objek.
Secara sederhana wujud ini merupakan
imajinasi yang ada dalam benak pikiran seseorang tentang sesuatu dan sifatnya
adalah abstrak karena masih belum nampak secara riil dalam dunia nyata. Hasil
imajinasi itu akan bisa dilihat dan ditangkap secara indrawi, setelah orang
yang bersangkutan menuangkannya ke dalam dunia nyata. Contohnya: seorang
penyanyi mempunyai konsep tulisan kegelisahan tentang politik yang luar biasa
tetapi adanya kegelisahan yang ada dalam pikirannya tidak akan pernah ada dalam
dunia nyata, sebelum yang bersangkutan menuangkannya dalam bentuk bait-bait
lagu yang bisa didengar oleh khalayak umum.
c) Adalah makna abstrak yang ditangkap
akal dari objek berdasarkan sense data yang sudah terlepas dari pengaruh
indera dan khayal itu sendiri. Contohnya: esensi manusia adalah hewan berpikir.[3] Ada penganalogian yang lebih dekat
anatara manusia dengan hewan. Hewan adalah makhluk hidup yang sama-sama
mempunyai akal dan hati seperti manusia, tetapi pengoptimalan akal dan hati
pada diri manusia lebih terkontol jika dibandingkan dengan hewan.
Menurut al-Ghazali berpikir berarti
menghadirkan dua pengetahuan dalam hati agar dapat menghasilkan pengetahuan
yang ketiga.[4]
Setelah
penulis paparkan tentang gambaran objek imanen beserta contoh-contohnya, maka
penulis perlu menjelaskan kembali secara ringkas apa objek imanen. Objek imanen
dalam filsafat ilmu adalah subjek yang berperan dalam tindak mengetahui suatu
objek transitif (objek eksternal), dengan cara menginternalkan objek eksternal
kedalam pikiran subjek, yang nantinya objek akan masuk dalam pikiran subjek dan
bersifat absolute, dan objek imanen akan selalu berwujud abstrak jika tidak
diaplikasikan dalam dunia nyata.
2.
Objek
Transitif
Objek
transitif dalam filsafat ilmu bisa juga
disebut objek eksternal yang berada di luar subjek,[5]
sehingga disebut juga sebagai objek objektif. Pengertian objek adalah sebuah
objek yang berada diluar pikiran manusia berfungsi sebagai tindak yang
diketahui oleh subjek (objek imanen), sedangkan keberadaan objek mengacu kepada
benda atau proposisi yang diketahui oleh subjek.
Dilain
pihak, objek transitif (objek eksternal) bisa menjadi kausa final dari subjek
imanen. Misalnya, dalam proses berpikir manusia tentang al-Qur’an yang ditinjau
dari segi ilmu kedokteran khususnya tentang pelarangan minuman keras, ternyata
setelah diamati dan diteliti secara medis hasilnya adalah, minuman keras tidak
baik dikonsumsi oleh manusia karena akan menimbulkan penyakit. Dalam contoh ini
yang menjadi kausa final adalah, pengetahuan tentang “minuman keras tidak baik
untuk dikonsumsi”. Kausa final dalam contoh ini, bisa disebut juga sebagai
objek imanen yang dihasilkan dari proses pemikiran subjek (ditinjau dari
filsafat ilmu).
Secara
singkat, objek transitif (objek) pada filsafat ilmu bisa menjadi objek sebagai
kausa prima-objek sebagai tindak yang diketahui oleh subjek-dari proses
pemikiran manusia, dan objek bisa juga menjadi sebagai kausa final-hasil dari
pemikiran manusia yang diwujudkan ke dunia nyata-dalam proses pengetahuan
manusia.
3.
Korespondensi
Objektivitas Ganda
Teori
ini pertama kali dipelopori oleh Bertrand Russel. Menurutnya, teori korespondensi
adalah suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh
pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan/cocok) dengan objek yang
dituju oleh pernyataan itu. Contohnya, jika ada seseorang menyatakan bahwa “kampus IAIN Sunan Ampel adalah kampus
yang terletak di kota Surabaya”, maka pernyataan
itu adalah benar, sebab penyataan itu sesuai dengan fakta yang objektif, karena
memang kampus IAIN Sunan Ampel ada di kota Surabaya.
Hubungan
subjek dan objek, antara objek yang diketahui dan subjek yang mengetahuinya
terdapat suatu ikatan antara keduanya, subjek dan objek membentuk suatu
realitas dalam tindakan yang menghasilkan suatu pengetahuan. Dalam hubungan
tersebut, apabila didasari kesungguhan maka akan terlahir suatu pengetahuan
yang bermanfaat. Karena hubungan korespondensi, objek transitif dapat mengirim
sinyal ke lembaga pertimbangan dari unsur kesadaran subjek, apabila terjadi
penerimaan oleh akal subjek, maka terdapat informasi tentang objek transitif
tersebut dalam diri subjek (menjadi objek imanen).
Dalam
korespondensi yang disebut pertama adalah objek eksternal yang berada di luar
subjek, sehingga disebut pula sebagai objek objektif. Sedangkan yang kedua
adalah objek internal, sehingga disebut pula sebagai objek subjektif.
Pengertian subjek tidak lain adalah pikiran yang melaksanakan tindakan
pengetahuan, yaitu dengan mengetahui sesuatu.[6]
Sementara itu, keberadaan objek mengacu kepada benda atau proposisi yang
diketahui oleh subjek. Mehdi memberikan gambaran bahwa pikiran itu dirancang
untuk berfungsi sebagai kausa efisien bagi tindak intensional untuk mengetahui
sesuatu, dan objek berfungsi sebagai kausa final. Gagasan tentang objek muncul
lebih dulu dalam pikiran subjek sebagai kausa prima. Sehingga objek transitif
muncul secara simultan sebagai
kausa prima dan kausa final.[7]
Contoh
korespondensi antara objek imanen dan objek transitif, seperti yang telah
dijelaskan oleh penulis pada pembahasan objek transitif. Penulis mengambil
contoh objek transitif sebagai kausa prima adalah al-Qur’an-yang nantinya akan
ditinjau dari segi ilmu kedokteran tentang pelarangan minuman keras-sebagai
objek yang akan dikaji oleh subjek, kemudian kausa efisien dalam contoh ini
adalah proses pemikiran yang berada dalam pikiran manusia tentang penelitian
efek buruk dari minuman keras, dan dari proses pemikiran tersebut nantinya akan
muncul sebuah pengetahuan baru tentang buruknya mengkonsumsi minuman keras bagi
kesehat, dari hasil penelitian tersebut kemudian dijadikan dalam bentuk
materiil dalam hal ini disebut sebagai objek transitif sebagai kausa final dari
sebuah pengetahuan.
Korespondensi
antara objek imanen dengan objek transitif dalam filsafat ilmu adalah sebagai
keharusan yang mutlak adanya, karena korespondensi berfungsi untuk mendapatkan
sebuah ilmu pengetahuan yang bersifat fenomenal dalam diri manusia, dan tidak
menafikan juga dari hasil korespondensi bisa bermanfaat bagi masyarakat
umumnya.
C. Simpulan
Objek imanen dan objek
transitif berperan penting dalam kajian filsafat ilmu, karena tanpa adanya dua
objek tersebut maka tidak akan ada ilmu pengetahuan yang beraneka ragam. Ilmu
pengetahuan itu bisa terwujud jika diantara objek imanen dan transitif terdapat
korespondensi, dan dari korespondensi itulah yang akan melahirkan ilmu
pengetahuan yang sangat fenomenal.
DAFTAR PUSTAKA
Cunningham, G.W. The Problems of Philosophy, New
York, 1924.
Curd, Martinus, and Statis Psillos. The Routledge
Companion to Philosophy of Science, New York, 2008.
Ghazali, (al). Faisal al-Tafriqah bain al-Islam
wa al-Zandaqah, t.t.
__________. Ringkasan Ihya’ ulumuddin, edisi
terjemahan, Jakarta, Sahara Publisher, 2011.
Husserl, Edmund. Formal and Transcendental Logic,
Hague, Martinus Nijhoff, 1969.
Mehdi. Menghadirkan Cahaya Tuhan, edisi
terjemahan, Bandung, Mizan, 2003.
[1] Edmund Husserl, Formal and
Transcendental Logic, (Hague: Martinus Nijhoff, 1969) hlm. 230
[2] al-Ghazali, Ringkasan Ihya’
ulumuddin, edisi terjemahan, (Jakarta: Sahara Publisher, 2011) hlm. 276
[3] al-Ghazali, Faisal
al-Tafriqah bain al-Islam wa al-Zandaqah, (tt) hlm. 121-123
[4] al-Ghazali, Ringkasan Ihya’
ulumuddin, hlm. 520-521
[5] Statis Psillos and Martinus
Curd, The Routledge Companion to Philosophy of Science, (New York, 2008)
hlm. 147
[6] G.W. Cunningham, The Problems
of Philosophy, (New York, 1924) hlm. 102-103
[7] Mehdi, Menghadirkan Cahaya
Tuhan, edisi terjemahan, (Bandung: Mizan, 2003) hlm. 76-77
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon