Pendahuluan
Menurut petunjuk al-qur’an, hadith nabi adalah sumber ajaran Islam
di samping al-Qur’an.[1]Karena
itu, Alloh memerintahkan kita untuk menaati Rasululloh sebagaimana Alloh
memerintahkan untuk mentaatinya.Dalam arti, bahwa taat kepada rasululloh adalah
-dalam kenyataannya- merupakan taat kepada Alloh. Karena apa yang disabdakan
nabi Muhammah saw. Tidak karena hawa nafsunya, akan tetapi ia adalah penyampai
sesuatu yang datang dari Alloh. Alloh swt. Berfirman dalam surat an-Nisa : 80.
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ
فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
“ barang siapa taat kepada
Rasululloh, maka ia telah taat kepada Alloh. Dan barang siapa yang berpaling
(dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi
mereka.”
Alloh berfirman QS. An-nisa ; 64
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ
رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ
جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ
تَوَّابًا رَحِيمًا
“kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk dita’ati
dengan seizin Alloh. Sesunggunya jikalau mereka,ketika menganiaya dirinya
datang kepadamu, lalu memohon ampun Alloh dan Rasul memohonkan ampun mereka,
tentulah mereka mendapati Alloh Maha Penerima dan lagi maha penyayang ”
Alloh
memperingatkan orang-orang yang menyelewengkan dari perintahnya seraya
berfirman QS. An-nur: 63.
Kaum muslimin
bersepakat bahwa kembali keapda Alloh berarti kembali kepada kitab-Nya, dan
kembali kepada Rasululloh setelah wafatnya berarti kembali kepada sunnahnya. Meskipun
dalam bahasa yang didefinisikan benar oleh nabi Muhammad, kata atau kalimat
yang digunakan dalam teks ajaran dalam wahyu itu banyak yang bersifat mujmal,
musykil, khafiy atau mutasyabih yang memerlukan penjelasan, rincian dan contoh
pelaksanaan. Disamping itu ada lagi bentuk kata atau kalimat yang bersifat umum
(‘am) yag memerlukan penegasan atau pengkhususan ada lagi kalimat yang bersifat
mutlak yang memerlukan qaid atau spesifik dengan sifat. Penjelasan, rincian,
penegasan pengkhususan, penyitaan atau contoh pelaksanaan itu tidak dapat
diberikan oleh siapapun kecuali syari’ sendiri (Alloh) melalui wahyu juga atau
oleh yang diutus dan dipercaya oleh syari’ (Rosululloh) atau dalam hal-hal
mendasar dapat diberikan oleh para ulama (mujtahid) dengan mengikuti .[2]
Dalam memahami
hadith, ada saja persoalan yang dihadapi. Apabila berbagai matan hadith Nabi
diperbandingkan, dalam hal ini sanadnya sama-sama shahih, maka akan dijumpai
sejumlah petunjuk yang tampak bertentangan, minimal menimbulkan kesan tidak
sejalan. Ketika terjadi kontradiksi antara sebuah hadith dengan ayat yang ada
di dalam alqur’an, maka harus didahulukan al-Qur’an dan periwayatnyalah yang
keliru atau salah atau bil-wahni, dan harus ditinggalkan sehingga al-Qur’anlah
yang harus diamalkan. Namun, jika terjadi kontradiksi antara sebuah hadith dengan
hadith yang lain, di sini ulama ahli hadith telah membahas dan mengajukan
alternatif-alternatif metode penyeleseiannya, sehingga teratasilah masalah
pertentangan itu. walaupun terdapat sedikit perbedaan yang selalu diwarnai oleh
diskusi panjag, silang pendapat karena bervariasinya metode istidlal yang
digunakan. Adanya hadith-hadith mukhtalif (kontradiksi) menyangkut suatu
masalah tertentu dapat menimbulkan kebingungan dalam mengambil ketentuan hukum.
Dalam makalah ini,
penulis mencoba membahas definisi hadith mukhtalif (kontradiksi), sejarah
pertumbuhannya, pola penyeleseiannya, dan pentingnya mempelajari ilmu mukhtalif
al-hadith. Dengan ini, diharapkan kita dapat melihat pentingnya ilmu muktalif
al-hadith dalam pemahaman hadith sebagai sumber kedua ajaran Islam.
Definisi
Mukhtaliful Hadith
Mukhtalif artinya yang berselisih
atau yang bertentangan.Mukhtaliful hadith artinya yang bertentangan dari
hadith.Boleh juga dikatakan hadith yang bertentangan. Dalam musthalahah
ditujukan bagi: “satu hadith sah yang pada dzahirnya kelihatan bertentangan
dengan hadith shah lain tentang maknayna.”[3]
Mukhtalafil hadith menurut
pengertian yang diberikan para ulama mempunyai makna yang berbeda-beda.
Al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H) menulis dalam bukunya, ma’rifat ‘ulum
al-hadith, bahwa mukhtalif al-hadith adalah:
سنن لرسول الله صلى الله عليهه وسلم يعارضها
مثلها فيحتاج أصحاب المذاهب بأحدهما وهما في الصحة والسقم سيان
“Sunah-sunah Rasululloh saw. Yang bertentangan dengan sesamanya,
lalu para ulama memakai salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya
setara dalam kesahihan dan kelemahannya.”
Sedangkan
al-Nawawi (w. 676 H), yang hidup pada abad setelahnya, mendefinisikan dengan:
أن يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق
بينهما أو يرجح أحدهما
“Dua hadith yang secara lahiriyah maknanya saling bertentangan,
lalu dikompromokan atau dikuatkan salah satunya.”
Menurut definisi al-Hakim, dua
hadith yang bertentangan di sini harus memiliki kesetaraan dalam keshahihan dan
kelemahan. Semisal hadith shahih bertentangan dengan hadith yang lemah.Hanya
pertentangan antara hadith shahih dengan hadith shahih lainnya, atau hadith
lemah dengan hadith lemah lainnya yang dapat disebut mukhtalif. Pengertian
semacam ini berbeda dengan pengertian yang dibawakan oleh pakar kontemporer
Mahmud al-Thahhan yang menegaskan kedua hadith itu harus maqbul (diterima),
yang tentu saja harus berstatus shahih.Sehingga pertentangan yang terjadi
antara dua hadith yang lemah tidak diterima tidak disebut mukhtalif. Mahmud
ath-thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa mukhtalif hadith adalah :[4]
هو الحديث المقبول المارض بمثله مع إمكان الجمع
بينهما
“hadith maqbul kontradiksi dengan sesamanya
serta memungkinkan dikompromikan antara keduanya.”
Sedangkan dari
definisi al-Nawawi ditarik pemahaman tentang bentuk pertentangan yang dimaksud,
yakni pertentangan yang tidak mungkin dipertemukan (tadhadhud) menurut
pengertian lahiriyahnya.Jadi menyisakan pengertian hakikinya yang masih
dimungkinkan untuk dipertemukan atau dikompromikan.Ajjaj al-Khatib memberikan
pengertian :[5]
العلم الذي يبحث في الاحاديث التي
ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوفق بينهما كما يبحث في الاحاديث التي يشكل فهمها
أوتصورها فيدفع إشكالها ويوضح حقيقتها
“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang
lahiriahnya bertentangan, lalu dihilangkan sisi pertentangannya atau di-taufiq
antara keduanya, sebagaimana dibahas tentang kejanggalan pemahaman atau
penggambaran atas hadis-hadis, lalu ditolak kejanggalannya dan dijelaskan
hakikat sebenarnya.”
Ajjaj al-Khathib telah membahas Mukhtalif al-Hadîts sebagai sebuah
ilmu.Sebuah kajian yang menempatkan hadis-hadis bermasalah sebagai objeknya. Permasalahan
yang dimaksud di sini adalah pertentangan lahiriah yang dikandung olehnya untuk
dihilangkan dengan cara-cara tertentu.Ajjaj juga membedakan Mukhtalif al-Hadîts
dari Musykil al-Hadîts. Di mana untuk yang kedua, problemnya adalah kejanggalan
yang timbul dari proses memahami beberapa hadis. Kemudian asumsi akan adanya
kejanggalan itu ditolak dengan cara dijelaskan hakikat yang dimaksud darinya.
Pengertian yang dibawakan Ajjaj lebih general, dan hampir sama dengan definisi
yang ditawarkan al-Suyuthi dan al-Nawawi yang tidak membedakan derajat
kesahihan.
Sejarah pertumbuhan mukhtalif al-hadith
karya pertama dalam Mukhtalif al-Hadîts adalah Ikhtilâf
al-Hadîts karya al-Imam al-Syafi’i (w. 204 H). Ikhtilâf memiliki
pengertian ragam, berlainan, namun dalam tataran wacana (di luar teks) antara
satu dan lainnya memiliki kesamaan, sehingga membuat seorang pengamat kesulitan
memahami secara tepat. Kerancuan pemahaman inilah yang menjadi sasaran kerja
Ikhtilâf al-Hadîts. Berdasar keyakinan bahwa sejatinya hadis-hadis tidak
ada yang bertentangan selama semua valid berasal dari Nabi.Namun persoalan ini
menjadi runyam ketika hadis harus berhadapan dengan beragam bentuk
penalaran.Terutama yang mengklaim diri sebagai rasional, baik dari kalangan
fukaha maupun mutakalimin.Di mana mereka menolak hadis-hadis Nabi dengan
berbagai argumentasi, variasi, dan tingkat penolakannya.Mereka inilah yang
sering disebut kelompok Inkar al-Sunnah.Terlihat secara jelas di mana posisi
al-Syafi’i, yakni beliau mencoba membela eksistensi hadis sebagai bagian dari
syariah.Dalam konstruksi Ushul Fikihnya, al-Syafi’if menempatkan hadis (sunah)
pada posisi yang sangat terhormat, tepat satu tingkat di bawah al-Quran sebagai
sumber ajaran Tuhan yang paling otentik dan otoritatif.Ikhtilâf Hadîts berada
pada posisi ini.[6]
Pada masa yang sama, Ibnu Quthaibah (w. 276 H) memiliki proyek
ideologis yang sedikit berbeda. Hal ini terkait lawan yang dihadapi Ta’wîl
Mukhtalif. Mereka adalah kelompok kalam, yang selain meninggikan rasionalitas
Yunani di satu sisi, juga menjatuhkan kewibawaan ‘tradisi’ yang menjadi sumber
ajaran kaum muslimin. Ibnu Qutaibah menulis,
وقد تدبرت رحمك الله مقالة أهل
الكلام فوجدتهم يقولون على الله مالا يعلمون ويفتنون الناس بما يأتون ويبصرون
القذى في عيون الناس وعيونهم تطرف على الأجذاع ويتهمون غيرهم في النقل ولا يتهمون
آراءهم في التأويل ومعاني الكتاب والحديث وما أودعاه من لطائف الحكمة وغرائب اللغة
لا يدرك بالطفرة والتولد والعرض والجوهر والكيفية والكمية والأينية ولو ردوا
المشكل منهما إلى أهل العلم بهما وضح لهم المنهج واتسع لهم المخرج ولكن يمنع من ذلك
طلب الرياسة وحب الأتباع
“Aku telah menelaah
pendapat-pendapat ahli kalam. Aku menjumpai mereka berkata tentang Allah dengan
sesuatu yang mereka tidak tahu, dan menebar kekacauan kepada masyarakat dengan
segala apa yang mereka bawa. Mereka melihat di mata masyarakat terdapat
kotoran, padahal mata mereka tertusuk pohon kurma. Mereka menuduh selainnya
telah melakukan kesalahan dalam menukil informasi dari Nabi, tapi mereka tidak
curiga sama sekali pada pendapatnya dalam menakwilkan dan pemahaman terhadap ayat-ayat
al-Quran, hadis-hadis Nabi, kandungan kebajikannya, serta keindahan bahasanya
yang tentu saja tidak dapat diperoleh melalui lompatan (tanpa pentahapan),
teori tawallud, ‘aradl (sifat), jauhar (substansi wujud), kaifiyah (proses),
kammiyah (kuantitas), ainiyah (ruang). Andai saja mereka mengembalikan
persoalan itu kepada orang yang berilmu, maka teranglah jalan dan lapanglah
pintu keluar bagi mereka. Tapi nafsu berkuasa dan memperoleh banyak
pengikut telah menguasai mereka…..”
Pada seratus tahun berikutnya,problematik ini disadari oleh
al-Thahawi (w. 321 H.) dengan karyanya, Syarhu Musykil al-Âtsar (Penjelasan
Atsar-Atsar Bermasalah). Sebagaimana dapat dilihat pada alasan penulisan karya
tersebut, di mana beliau berkata,
وإني نظرت في الاثار المروية عنه
صلم بالاسانيد المقبولة التي نقلها ذوو التثبت فيها والامانة عليها وحسن الاداء
لها فوجدت فيها أشياء مما يسقط معرفتها والعلم بما فيها عن أكثر الناس فمال قلبي
إلى تاملها وتبيان ما قدرت عليه من مشكلها ومن استخراج الاحكام التي فيها ومن نفي
الاحالات عنها وأن أجعل ذلك أبوابا...
“Aku melihat atsar-atsar yang
bersumber dari Nabi saw. telah disampaikan dengan sanda-sanad yang diterima,
dinukil oleh orang-orang yang serius menelitinya, penuh tanggung jawab, dan
menggunakan metode yang baik. Aku mendapati banyak yang luput dan tidak
diketahui kebanyakan orang. Hatiku tergerak untuk merenunginya, menjelaskan apa
yang janggal sesuai kadar kemampuanku, mengeluarkan hukum yang dikandungnya,
dan menegasikan ketidak-mungkinan yang ada di dalamnya, dan mengkajinya secara
perbab...”
Pada abad keempat hijriah perdebatan kalam masih terlalu
ramai.Al-Thahawi mengawali dari ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan pada
kajian hadis. Tokoh-tokoh yang memiliki keterkaitan ‘ideologis’ dengan kaum
hadis, menggunakan cara yang beraneka ragam untuk menolak serangan
musuh-musuhnya.Al-Thahawi berdiri pada barisan pembela sunnah, yang secara
garis besar merupakan pelanjut al-Syafi’i dalam ranah fikih, dan Ibnu Qutaibah
dalam wilayah kalam. Di mana dalam kedua zona tersebut, al-Thahawi mengambil
posisi ahli hadis.Dengan posisi ideologis semacam ini, al-Thahawi berusaha
menghadapi dua lawan sekaligus; ahli kalam pembuat bid’ah dan ahli fikih yang
anti hadis.Sekalipun demikian, al-Thahawi tidak merasa perlu menggunakan bahasa
yang ‘berlebihan’ dan keras, karena pada masa ini kuasa wacana kaum rasional
mulai melemah.Munculnya orang-orang berideologi ahli hadis dengan memakai jubah
rasionalis-kalam merupakan amunisi besar yang meluluh lantakkan keberadaan
mereka.
Dua abad setelahnya, muncul Kitab Musykil al-Hadîts Au Ta’wîl
al-Akhbâr al-Mutasyâbihah karya Ibnu Faurak (w. 406 H.) yang menggunakan
pendekatan yang sama dengan yang dipakai Ibnu Qutaibah. Kitâb karya Ibnu Faurak
ini menginginkan agar Musykil al-Hadîts yang berkaitan dengan persoalan
antropomorfisme (kesamaan Tuhan dengan makhluk-Nya (al-Tasybîh) segera kembali
ke rel yang semestinya melalui metode Ta’wil.Hampir seluruh bagian kitab ini
merujuk pada perdebatan sekitar hadis-hadis yang dapat memberikan kesan
antropomorfisme Ini merupakan serangan besar-besaran terhadap kelompok
Musyabbihat.
Orang-orang yang pertama menyusun buku yang berbicara tentang
problema ini adalah Imam as-Syafi’I (150-204 H) dengan kitabnya ikhtilah
al-hadith. Ulama lain yang mengikuti jejaknya antara lain;[7]
1.
‘Abdulloh
ibn Muslim ibn Quthaibah al-Dainuri (213-276 H) dengan kitabnya Ya’wil
Mukhtalif al-Hadith.
2.
Al-Imam
Abu ja’far ibn Muhammad al-Thahawi (239-321 H) dengan kitabnya Musykilul
Atsar.
3.
Al-Imam
Abu Bakr Muhammad ibn al-Hasan (w. 406 H), dengan karyanya Musykil al-Hadith
wa Bayanuhu.
Memahami hadith berdasarkan latar belakang, kondisi dan tujuan.
Untuk memahami hadith dengan pemahaman yang benar dan teliti,
diperlukan pengetahuan tentang latar belakang yang dapat memberikan keterangan
terhadapnya dan memperbaiki semua kondisinya, agar makna hadith itu dapat
terbaca dengan teliti dan pemahaman terhadapnya tidak kacau atau tidak terarah.
Pesan yang terkandung dalam hadith itu adakalanya secara lahiriyah
bermakna umum dan bersifat tetap.Akan tetapi, bila dilakukan pengkajian yang
mendalam terhadapnya.Akan tampak bahwa hadith tersebut berorientasikan kepada
suatu kausalita.Apabila kausalita itu hilang, hukum yang ada pada hadith
menjadi tidak berlaku, begitu halnya jika kausalitanya ada, maka hukum hadith
itu masih tetap berlaku.
Pengetahuan yang mendalam dan pandangan yang teliti, serta studi
yang mencakup semua nas dan penemuan yang mengarah pada tujuan –tujuan
syari’at, serta hakikat agama, tetapi harus disertai keberanian yang bersifat
etis dan kekuatan semangat untuk membela perkara yang hak sangat diperlukan,
sekalipun bertentangan dengan kebiasaan manusia yang turun-temurun. Tindakan
ini tidaklah mudah, contohnya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang telah memikul
tugas dengan menentang sebagian besar ulama di masanya yang menimbulkan makar
terhadap dirinya, sehingga berkali-kali dimasukkan ke penjara, bahkan meninggal
dunia di dalamnya.
Para ulama mengatakan bahwa faktor yang dapat membatu memahami
al-Qur’an dengan pemahaman yang baik ialah mengetahui asbabun nuzul (latar
belakang penurunannya), sehingga tidak terjerumus ke dalam perangkap yang telah
menjerumuskan sebagian kaum ekstrim dari kalangan khawarij dan lainnya. Mereka
mengambil ayat-ayat yan diturunkan
berkenaan dengan kaum musyrikin, kemudian menerapkannya terhadap kaum
muslimin. Hal ini membuat Ibun Umar menilai mereka mereka makhluk yang paling
jahat karena sejak diturunkanya, mereka telah menyelewengkan kitabulloh dari
makna yang dimaksud.
Sunah berfungsi menanggulani sebagian besar masalah yang bersifat
temporer, detail, dan berkaitan dengan tempat. Oleh karena itu, sunah memiliki
kekhususan dan rincian yang tidak terdapat dalam al-qur’an. Untuk itu, harus
dibedakan antara hal yang bermakna khusus dan bermakna umum, yang bersifat
temporer dan yang bersifat tetap, yang bersifat juz’I (bagian) dan yang bersifat
menyeluruh, yang masing-masing mempunyai ketentuan hokum sendiri. Hal itu
diikuti dengan memperhatikan konteks, kondisi, serta latar belakang hadith yang
sangat membantu untuk mencapai pemahaman yang lurus dan benar.
Sebagai
contoh dalam masalah ini ialah hadith tentang larangan betempat tinggal di
tempat selain negeri kaum muslimin.:[8]
أنا بريء من كل مسلم يقيم بين
أظهر المشركين لا تتراءي نارهما
Artinya :
“aku melepaskan diri dari setiap
muslim yang bermukim di tengah orang-orang musyrik yag rumahnya tidak dapat
dibedakan.” (HR. Imam Abu Daud dalam bab “jihad”, Imam Tirmidzi meriwayatkannya
dalam bab “as Sair”
Sebagian ulama ada yang memahami hadith ini dengan pengertian bahwa
secara umum, haram bermukim atau bertempat tinggal di tampat selain negeri kaum
muslimin. Padahal, pada masa sekarang banyak factor dan kebutuhan yang mendesak
kita untuk tinggal di sana, misalnya untuk belajar, berobat, bekerja,
berdagang, dan menjadi duta besar. Terlebih lagi, factor jarak di masa sekarang
ini bukan merupakan suatu kendala, sehingga seakan-akan dunia ini bagaikan
suatu kota yang besar, yang lazimnya dinamakan masa globalisasi.
Allamah Rasyid Ridha menyebutkan bahwa hadith tersebut diriwayatkan
berkenaan dengan kewajiban hijrah dari negeri kaum musyrikin untuk ikut
menolong Nabi saw. Sebagaimana hadith yang diriwayatkan oleh ahlus sunan. Abu
daud meriwayatkan hadith itu melalui hadith Jarir Ibnu Abdulloh.Akan tetapi,
diceritakan bahwa ada sejumlah perawi yang tidak menyebut Jarir dan
meriwayatkan hadith ini secara mrsal, sebagaimana dilakukan oleh Imam Nasa’I. Imam
Tirmidzi meriwayatkan hadith tersebut secara mursal dan mengatakan bahwa sanad
sanad hadith ini lebih shahih dibandingkan sanad lainnya. Dinukilkan pula bahwa
Imam Bukhari membenarkan predikat mursal hadith ini.Akan tetapi, dia tidak
meriwayatkan hadith itu dalam kitab sahihnya. Selain itu, hadith ini tidak pula
dimasukkan kedalam persyaratannya. Kalangan ulam memperselisihkan masalah
pemakaian hujah dengan hadith mursal dalam ilmu ushul fikih. Hadith itu
berbunyi :
بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم
سرية إلى خثعم فاعتصم ناس منهم بالسجود فأسرع فيهم القتل فبلغ ذلك النبي صلى الله
عليه وسلم فأمر لهم نصف العقل (أي الدية) وقال: أنا بريء من كل مسلم يقيم بين أظهر
المشركين، قالوا : يا رسول الله لم؟ قال : لاتتراءي نارهما.
Artinya :
“Rasululloh saw. Mengirimkan pasukan
khusus untuk berperang melawan Bani Khats’am.Lalu, ada sebagian orang dari Bani
Khats’am yang melindungi dirinya dengan melakukan sujud (salat), tetapi pedang
lebih cepat menjemput mereka, sehingga mereka mati. Ketika berita itu sampai
kepada Nabi saw. Maka beliau memerintahkan supaya wali orang-orang yang
terbunuh diberi separo diat (denda membunuh orang). Nabi saw. Bersabda, ‘aku
berlepas diri dari setiap muslim yang bermukim di tengah-tengah kaum
musyrikin.’ Para sahabat bertanya, ‘wahai Rasululloh, mengapa begitu’
rasululloh saw. Menjawab, ‘karena rumah keduanya tidak dapat dibedakan.’
Dalam kasus ini, Rasululloh saw. Memberikan separuh diat kepada
ahli waris orang yang terbunuh karena mereka termasuk muslim (yang tinggal di
negeri orang-orang kafir). Hal itu ditetapkan mengingat mereka sendiri yang
telah mencelakakan diri, sehingga separuh hak mereka digugurkan karena mereka
bermukim di tengah-tengah kaum musyrikin yang memerangi Alloh dan
Rasul-Nya.Sehubungan dengan pengguguran separuh diat ini, Imam Al-khaththabi
mengatakan bahwa mereka telah berbuat aniaya terhadap diri mereka sendiri
karena mereka tinggal di antara orang-orang kafir. Dengan demikian, seakan-akan
mereka binasa oleh perbuatannya sendiri dan perbuatan orang lain. Oleh karena
itu, kesalahan yang dilakukan oleh dirinya sendiri menyebabkan sebagian diatnya
digugurkan. Rasululloh saw. Mengecam keras hal tersebut karena hal itu
mengakibatkan kita enggan menolong Alloh dan Rasul-nya, sebagaimana firman-Nya
dalam QS. Al-Anfal ayat 72
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا
وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ
آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا
وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا
ۚ وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ
بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“ sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad
dengan harta dan jiwanya pada jalan Alloh dan orang-orang yang memberinya
tempat kediaman dan pertolonga (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu
sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap ) orang-orang yang beriman, tetapi
belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka,
sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan
kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan
kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu denga mereka. Dan
Alloh maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Melalui ayat ini, Alloh tidak mewajibkan seseorang melindungi
orang-orag muslim selain kaum muhajirin apabila hijrah telah diwajibkan atas
mereka. Nabi saw. Bersabda :
أنا
بريء من كل مسلم يقيم بين أظهر المشركين.
Artinya :
“aku melepaskan diri dari setiap
muslim yang tinggal di antara kaum musyrikin.”
Maksud makna tersebut bahwa Nabi saw. Melepaskan diri dari tanggung
jawab keselamatannya bila dia terbunuh karena dia telah melibatkan dirinya ke
dalam bahaya itu dengan bertempat tinggal di tengah kaum yang memerangi negeri
Islam.
Dengan
kata lain dapat disimpulkan bahwa apabila lingkungan yag disebutkan oleh teks
hadith telah berubah dan tidak ada lagi kendala yang dikhawatirkan untuk
menarik kemaslahatan atau menagkal kerusakan, maka hokum yang telah ditetapkan
oleh teks hadith ini ikut lenyap.
Pola penyeleseian hadith-hadith yang dianggap kontradiksi
Diskusi telah berlangsung dikalangan ulama, bahkan di kalangan
sahabat Nabi tetang petunjuk hadith yang tampak bertentangan.Al-Syafi’i (w. 204
H) dengan kitabnya ikhtilaf al-hadith, ia mempelopori penghimpunan
berbagai hadith yang tampak bertentangan ke dalam sebuah kitab dan berusaha
menyeleseikan pertentangannya. Ibnu Quthaibah (w. 276 H) dengan kitabnya takwil
mukhtalih al-hadith.Al-Imam Abu Ja’far ibn Muhammad al-Thahawi (w. 321 H)
dengan kitabnya musykilul atsar. Al-Imam Abu Bakr Muhammad ibn al-Hasan
(w. 406 H) dengan karyanya musykil al-hadith wa bayanuhu.Ibnu Jarir (w.
310 H), dan lain-lain telah mengikuti jejak al-Syafi’i.
Dalam pernyataan Imam
al-Syafi’i sebagai peringatan yang tegas dalam memahami hadits-hadits
mukhtalif, yaitu:
لا تجعل عن رسول الله حديثين
مختلفين أبدا إذا وجد السبيل إلى أن يكونا مستعملين, فلا نعطل منهما واحدا لأن
علينا في كل ما علينا في صاحبه, ولا نجعل المختلف إلا فيما يجوز أن يستعمل أبدا
ألا بطرح صاحبه
“Jangan mempertentangkan hadits
Rasulullah satu dengan yang lainnya, apabila mungkin ditemukan jalan untuk
menjadikan hadits - hadits tersebut dapat sama-sama diamalkan.Jangan
tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya kewajiban untuk
mengamalkan keduanya.Dan jangan jadikan hadits - hadits bertentangan
kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu
darinya.”
Peringatan ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak
mungkin Rasulullah menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang
lainnya benar-benar saling bertentangan.Jika ada penilaian yang menyatakan
bahwa satu hadits dengan hadits lainnya saling bertantangan, maka
dalam hal ini ada dua kemungkinan. Yakni:
1.
Salah
satu hadith tersebut bukanlah maqbul, melainkan hadith mardud, baik dhaif
maupun maudhu, besar kemungkinan bertentangan dengan hadith shahih atau hasan.
2.
karena
pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh hadits-hadits
tersebut. Karena bisa saja masing-masing hadits tersebut memiliki
maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut
maksud masing-masing.
Imam asy Syathibi rahimahullah berkata :
“ Dalil dalil yang menjadi dasar
syari’at tidak mungkin satu dengan yang lainnya saling kontradiktif/
bertentangan, maka siapapun yang meneliti kaidah hukum dengan seksama pasti
tidak mendapati kesamaran sama sekali didalamnya, sebab tidak mungkin terjadi
pertentangan antara ajaran agama, sehingga kita tidak menemukan adanya dua
dalil yang disepakati umat islam saling bertentangan yang mewajibkan seorang
tawaqquf (tidak bisa mengamalkan), namun karena seorang mujtahid tidak ma’shum boleh
jadi yang terjadi pertentangan bukan dalam nash nya tetapi dalam pemahamannya”
Untuk menyeleseikan hadith-hadith yang tampak bertentangan
tersebut, cara yang ditempuh oleh ulama tidak sama, ada yang menempuh satu cara
dan ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda-beda.
Istilah-istilah yang banyak dijumpai dalam hal ini antara lain:[9]
1.
Al-Tarjih
(meneliti dan menentukan petunjuk hadith yang memiliki argument yang lebih
kuat). Misalnya hadith tentang Nabi nikah dalam ihlal (keluar dari umrah) :[10]
عن ابن
عباس أنه قال : تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم (رواه مسلم)
Artinya :
“dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia pernah berkata: “Rasululullh
saw. Telah kawin dengan Maimunah, sedang beliau dalam ihram.”
عن
يزيد بن الأصم قال: حدثتني ميمونة بنت الحارث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم
تزوجها وهو حلال. (رواه مسلم)
Artinya :
“dari Yazid bin al-Asham, ia berkata: “telah menceritakan
kepadaku, Maimunah bintul Harits, bahwa Rasululloh saw. Kawin dengan dia sedang
nabi dalam ihlal.”
Riwayat hadith pertama mengatakan Nabi kawin dengan
maimunah dalam ihram, sedang yang kedua menetapkan dalam ihlal. Cerita-cerita
ini bertentangan, oleh karena pertentanga itu, maka dua riwayat tersebut perlu
dijama’ atau ditarjih.Ada ulama menggunakan tariqothul jam’I, tetapi caranya
agak berat.Jadi kedua riwayat tersebut ditarjih. Pertama, dua-dua riwayat itu
derajatnya Shahih. Kedua, kita memeriksa adakah terdapat keterangan yang
menguatkan Ibnu Abbas? ternyata tidak bertemu satu pun bantuan bagi riwayat
Ibnu Abbas yang mengatakan Nabi kawin dalam ihram. Keempat, kita lihat pula
riwayat kedua yaitu yang dari Yazid bin Asham, tenyata ada yang dapat
membantunya, yaitu dari empat jurusan :
a.
Yang
meriwayatkan dalam ihlah, adalah Maimunah sendiri. Jadi lebih boleh diterima
daripada orang lain menceritakannya.
b.
Abu
Rafi’ meriwayatkan kejadia perkawinan itu, dalam ihlal juga.
c.
Di
antara sahabat ada yang menyalahkan pendapat Ibnu abbas tentang dalam ihram,
tetapi dalam riwayat abu Rafi’ mereka tidak membantah.
d.
Omongan
Maimunah dan cerita Abu Rafi’ itu, setuju dengan larangan Nabi saw. “tentang
tidak boleh kawin dalam ihram”, yaitu
قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم لاينكح المحرم ولا ينكح. (رواه مسلم)
Artinya :
“Rasululloh saw. Bersabda, “orang yang di dalam ihram
tidak boleh mengawinkan orang lain.”
2.
Al-jam’u
(al-taufiq atau at-talfiq), yakni kedua hadith yang tampak bertentangan itu
dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya. Contohnya hadith
tentang buang hajat membelakangi kiblat:
عن أبي
أيوب أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا أتيتم الغائط فلا تستقبلو القبلة ولا
تسببدروها ببول ولا غائط.... (رواه البخاري ومسلم وغيرهما واللفظ لمسلم)
Artinya
:
“hadith riwayat dari Abu Ayyub bahwa
Nabi saw. Telah bersabda, “apabila kamu sekalian buang hajat, maka janganlah
menghadap ke kiblat dan jangan membelakanginya, baik buang air kecil maupun
buang air besar…….” (HR.
al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain; lafal berdasarkan riwayat Muslim)
قال
عبد الله بن عمر : لقد ارتقيت يوما على ظهر بيت لنا فرأيت رسول الله صلى الله عليه
وسلم على لبنتين مستقبلا بيت المقدس لحاجته ((رواه البخاري ومسلم وغيرهما واللفظ
لبخاري))
Artinya :
“Abd Alloh bin ‘Umar berkata, “pada suatu hari, sungguh saya telah
naik (masuk) ke rumah kami (tempat tinggal Hafsah, isteri Nabi), aka saya
melihat Nabi saw. Di atas dua batang kayu (tempat jongkok) untuk buang hajat
dengan menghadap kea rah bait al-maqdis.” (HR.
al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain; lafal berdasarkan riwayat al-Bukhari)
Kedua hadith di
atas nampak bertentangan. Hadith pertama menyatakan larangan buang hajat
menghadap kiblat (ka’bah) atau membelakanginya. Sedang hadith kedua menyatakan
Nabi pernah buang hajat dengan menghadap ke Bait al-maqdis, yang berarti
membelakangi kiblat.
Menurut
penelitian ulama hadith, petunjuk kedua hadith di atas tidak
bertentangan.Larangan Nabi berlaku bagi yang buang hajat di lapangan terbuka,
sedang yang buang hajat di tempat tertutup, misalnya WC, larangan tidak
berlaku.
3.
Al-nasikh
wa al-mansukh, yakni petunjuk dalam hadith yang satu dinyatakan sebagai
“penghapus”, sedang hadith yang satunya lagi sebagai “yang dihapus”. Misalnya
hadith tentang mandi janabah;
عن
سعيد الحذري عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : إنما الماء من الماء. ( رواه
مسلم وأبوداود والترميذي وغيرهم واللفظ لمسلم)
Artinya
:
“hadith riwayat Abu Sa’id al-Khudri,
dari Nabi saw. Bahwa beliau telah bersabda, “sesungguhnya air (mandi janabah
menjadi wajib karena) dari air (keluarnya sperma tatkala bersenggama).”(HR. al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain; Lafal berdasarkan riwayat
Muslim).
عن
عائشة قالت :.... قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس بين شعبها الأربع ومس
الختان فقد وجب الغسل. (رواه البخار ولمسلم ويرهما واللفظ لمسلم)
Artinya
:
“hadith riwayat dari ‘Aisyah, dia
berkata……… Nabi saw. Telah bersabda, “apabila (seseorang) telah duduk di atas
empat anggota tubuh (isteri)nya dan alat kelamin telah menyentuh (masuk) ke
alat kelamit, maka sungguh telah wajib mandi janabah.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain; lafal berdasarkan riwayat
Muslim)
Kedua hadith di
atas tampak bertentangan. Hadith pertama mengatakan bahwa mandi janabah menjadi
wajib bila kegiatan senggama berhasil memancarkan sperma, sedang bila tidak
samapi memancarkan sperma, maka mandi janabah tidak wajib. Hadith kedua
menyatakan mandi janabah adalah wajib bagi setiap orang yang melakukan kegiatan
senggama, baik kegiatan itu berhasil memancarkan sperma maupun tidak.
Menurut
penelitian ulama hadith, petunjuk kedua hadith tersebut tidak bertentangan;
hadith pertama terjadi pada masa awal islam, kemudian dating petunjuk hadith
kedua yang isinya menhapus hukum hadith kedua. Kata al-Syafi’i bahwa menurut
bahasa arab, kata junub(an) dalam al-qur’an surat an-Nisa’ ayat 43 tidak
membedakan yang berhasil memancarkan sperma dan yang tidak berhasil memancarkan
sperma. Dalam hal ini , ditempuh metode penyeleseian al-nasikh wa al-mansukh,
yakni hadith kedua berstatus sebagai al-nasikh, sedang hadith pertama berstatus
sebagai al-mansukh.
4.
Al-tauqif,
yakni “menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernikan dan
menyeleseikan pertentangan.
Ulama yang berpandangan bahwa hanya ada satu alternative
penyeleseian, misalnya Ibnu Hazm (w. 452 H) dan al-Qarafi (w. 684 H). Ibnu hazm
menerapkan kaidah al-istisna’ (pengecualian atau exeption), sedang al-Qarafi
menerapkan kaidah al-tarjih, baginya kaidah tersebut menhgasilkan penyeleseian
berupa al-nasikh wa al-mansukh dan mungkin al-jam’u. pendapat al-Qarafi tentang
al-tarjih tidak sejalan dengan ulama lainnya, misalnya al-‘iraqi (w. 806 H0 dan
al-Suyuthi (w. 911 H) yang menyatakan bahwa kemungkinan penerapan kaidah
al-tarjih ada lima puluh macam lebih.
Menurut Muhammad Thahhan penyelesaiannya adalah:
1.
Dilakukan
kompromi antara keduanya jika mungkin dilakukan
2.
Bila
kompromi tidak mungkin, dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:
a.
Bila
diketahui salah satunya nasikh, maka didahulukan dan diamalkan yang nasikh,
sedangkan yang mansukh ditinggalkan.
b.
Jika
tidak diketahui adanya nasikh, maka ditarjih salah satunya dengan metode tarjih
yang lazim dipakai
c.
Kalau
tarjih tidak dapat dilakukan, maka ditangguhkan beramal dengan hadis mukhtalif
itu sampai ditemukan adanya dalil yang lebih kuat.
Menurut Imam Asy-Syafi’i, bahwa penyelesaiannya adalah:
1.
Penyelelesaian
dalam bentuk kompromi (thariqatu-l-jam’i)
2.
Penyelesaian
dalam bentuk tarjih
3.
Penyelesaian
dalam bentuk nasakh
Pendapat di atas pada dasarnya sama, bahwa metode penyelesaian
hadis mukhtalif dapat dilakukan dengan bentuk kompromi, jika tidak mungkin
dengan kompromi dilakukan nasakh, kalau nasakh tidak dapat maka dilakukan
tarjih.
Lebih memprioritaskan penggabungan daripada pentarjihan
Menurut kaidah, nas-nas syari’at
yang telah dikukuhkan itu tidak mungkin bertolak belakang antara satu perkara
yang hak tidak akan bertentangan dengan perkara hak lainnya. Jika ada
pertentangan di antara nas-nas di dalamnya, hal itu hanya menurut makna
lahiriahnya saja, tetapi tidak bertentangan pada hakikat dan kenyataannya.Atas
dasar itu, kita wajib menghapuskan pertentangan itu.
Jika pertentangan itu masih bisa dihilangkan dengan cara
menggabungkan dan menyesuaikan dua nas yang bersangkutan, tanpa harus bersusah
payah mencari-cari takwil yang jauh, sehingga keduanya bisa disahkan, maka hal
ini lebih utama daripada menggunakakn cara tarjih karena mentarjih ini sama
dengan mengesampingkan salah satu dari kedua nas itu dan memprioritaskan yang
lainnya.[11]
Kajian ini merupakan suatu hal terpenting untuk memahami sunah
dengan pemahaman yang baik, yaitu mencari titik-titik penyesuaian di antara
hadith-hadith shahih yang secara lahiriyah bertentangan.Begitupula maknanya,
yang secara sepintas terlihat kontradiksi. Semua hadith itu harus digabungkan
dan masing-masing diletakkan pada tempat yang sebenarnya, sehingga sesuai dan
tidak bertentangan, serta saling melengkapi.
Dalam hal ini, kami hanya menekankan pada hadith-hadith shahih saja
karena hadith dha’if tidak termasuk ke dalam bidang ini dan kita tidak dituntut
menggabungkannya dengan hadith-hadith yang shahih lagi terbukti keshahihannya
jika bertentangan dengannya, kecuali bila predikatnya diturunkan.Hadith-hadith
yang tidak ada asal-usulnya dan tidak ada sanadnya, atau hadith-hadith maudhu’,
tidak pula dibahas dalam bab ini. Kalaupun ada, hanya sekedar menjelaskan
kedustaan dan kebathilannya, srta pertentangannya dengan al-Qur’an dan
as-Sunah. Oleh karena itu, ulama ahli tahkik menolak hadith Ummu Salamah yang
ada pada Imam Abu Daud dan Umam Tirmidzi yang mengharamkan wanita melihat
lelaki lain, sekalipun lelaki itu tuna netra.
Implikasi pemikiran dalam hubungannya dengan penyeleseian ulama
tentang hadith-hadith kontradiksi
Dengan memperhatikan cara-cara
penyeleseian ulama dalam hadith-hadith kontradiksi, maka implikasi pemikiran
yang dapat diperoleh bahwa untuk memahami suatu hadith, apalagi tampak
bertentangan, maka :
1.
Hadith
yang bersangkutan tidak dapat dilihat hanya dari segi yang tersurat (teks)
saja, tetapi juga harus dilihat dari segi yang tersirat (konteks), misalnya
kapan dan apa sebab hadith itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan.
2.
Harus
dikaji dalil-dalil lainnya, baik naqli maupun ‘aqli, yang memiliki kaitan erat
dengan hadith yang tampak bertentangan tersebut.
3.
Diperlukan
kegiatan ijtihad, seperti contoh hadith-hadith berikut tentang wanita yang
berziarah kubur :
Di antara hadith yang melarang
wanita melakukan ziarah kubur ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
r.a.[12]
أن رسو
ل الله صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور
Artinya :
“Rosululloh saw. Telah melaknat kaum wanita berziarah kubur.”
Hadith riwayat
Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadith ini
shahih, sebagaimana Ibnu Hibban dalam kitab shahih-nya.
Ibnu Abbas
meriwayatkan teks yang menyebutkan zaariraatul qubuur (wanita peziarah
kubur), demikian pula Hasan Ibnu Tsabit.Hal ini diperkuat oleh hadith-hadith
yang melarang wanita mengiringi jenazah ke tempat penguburannya, maka dapt
disimpulkan bahwa wanita dilarang menziarahi kuburan. Hadith yang berlawan
dengan hadith itu ialah hadith yang membolehkan wanita menziarahi kubur, yaitu
hadith Nabi saw. Yang berbunyi;
كنت
نهيتكم عن زيارة القبور فزورها
Artinya :
“Dahulu saya melarang kalian
menziarahi kuburan, sekarng berziarah kuburlah kalian.”(hadith riwayat Imam Ahmad dan Imam Hakim melalui Anas, dalam kitab
al-Jami’ush Shaghir)
زوروا القبور فإنها تدرك الموت
Arinya :
“Berziarah kuburlah kalian karena sesungguhnya ziarah kubur itu
mengingatkan kematian.”(Hadith riwayat
Imam Muslim)
Makna hadith ini menyimpulkan bahwa
kaum wanita termasuk ke dalam izin umum untuk melakukan ziarah.
Hadith lain
lagi ialah hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Nasa’I, dan Imam
Ahmad melalui Siti Aisyah, dia berkata,” wahai Rasululloh, apa yang harus saya
ucapkan kepada mereka (ahli kubur bila aku menziarahi mereka?)” Rasululloh saw.
Bersabda:
السلام
على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منّا والمستأخرين
وإنا إنشاء الله بكم الاحقون
Artinya :
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepada penghuni kuburan ini dari
kalangan kaum mukminin dan kaum muslimin.Semoga Alloh merahmati orang-orang
terdahulu daripada kami dan orang-orang yang kemudian.Sesungguhnya, kami Insya
Alloh, akan menyusul kalian dengan sebenar-benarnya.”(HR. Imam Muslim dalam kitab al-Jana’iz, juga Imam Nasa’I dan Imam
Ahmad dalam kitabnya masing-masing)
Hadith lain diriwayatkan oleh
Syaikhani melalui Anas r.a.
أن
النبي صلى الله عليه وسلم مر بإمرأة تبكي عند قبر فقال: إتقي الله واصبرى فقالت:
إليك عني فإنك لم تصب بمثل مصيبتي ولم تعرفه...
Artinya :
“Nabi saw. Melewati seorang wanita yang sedang menangis di dekat
sebuah kuburan, beliau saw. Bersabda; ‘bertakwalah keapada Alloh dan bersabrlah
kamu.’Wanita itu menjawab,’pergilah kamu dariku, sesungguhnya kamu tidak
mengalami musibah seperti apa yang menipa diriku.’ Wanita itu mengatakan
demikian karena dia belum mengetahui bahwa orang yang berkata demikian adalah
nabi saw.” (hingga akhir hadith)
Dalam hadith ini disebutkan bahwa
Rasululloh saw. Hanya mengingkari sikap tidak adanya kesabaran si wanita karena
ditingal suami/ayahnya, dan beliau tidak mengingkari ziarah kuburnya.
Hadith lain diriwayatkan oleh Imam
Hakim.
أن فاطمة بنت رسول الله صل الله عليه وسلم كانت
تزور قبر عمها حمزة كل جمعة فتصلى وتبكي عنده.
Artinya :
“Siti Fatimah, putri Rasululloh saw. Sering menziarahi kuburan
pamannya, yaitu Hamzah setiap hari jum’at.Fatimah berdo’a dan menangis di dekat
kuburannya.”(Imam Hakim
menyebutkan hadith ini dalam kitab Nailul Authari)
Hadith-hadith
yang membolehkan wanita melakukan ziarah kubur lebih shahih dan lebih banyak
daripada hadith-hadith yang melarangnya.Akan tetapi, menggabungkan dan
menyesuaikan titik pertemuan di antara keduanya masih dapat dilakukan.
Laknat yang
disebut pada hadith pertama, menurut al-Qurthubi ditujukan kepada kaum wanita
yang sering melakukan ziarah kubur.Pengertian ini dismpulkan dari ungkapan teks
hadith yang menunjukkan makna mubalaghoh (maksimal), yaitu lafadz zuwaaraat.
Al-Qurthubi menambahkan, bahwa barangkali penyebabnya ialah seringnya
berziarah mengakibatkan tersia-sianya hak suami, ber-tabarruj (menampakkan
diri), dan akibat-akibat negative lainnya, seperti menjarit dan menangis. Oleh
karena itu, apabila hal tersebut dapat dihindari, wanita tidak dilarang
melakukan ziarah kubur karna pada prinsipnya, ziarah kubur itu mengingatkan
yang bersangkutan akan kematian, baik mengingatkan laki-laki maupun perempuan.[13]
Asy-Syaukani
mengatakan bahwa pendapat ini yang layak dipegang dalam masalah menggabungkan
pengertian di antara hadith-hadith yang secara lahiriyah bertentangan. Apabila
penggabungan makna di antara kedua hadith yang bertentangan tidak dapat
dilakukan atau penyesuaian di antara hidth-hadith yang lahiriyahnya
bertentangan tidak dapat dilaksanakan, jalan keluarnya ialah dengan melakukan
pentarjihan (penyeleksian) hadith-hadith tersebut.Hal ini berarti, salah satu
diantaranya harus diutamakan atas yang lainnya berdasarkan kriteria tarjih yang
telah disebutkan detailnya oleh para ulama. Al-Hafidz Imam Suyuti dalam
kitabnya yang berjudul Tadribur Rawi ‘Ala Taqribin Nawawi memerincinya lebih
dari seratus poin. Masalah ta’arudh (pertentangan) dan tarjih (penyeleksian)
ini merupakan pembahasan yang sangat penting, mencakup ilmu ushul fiqh, ushulul
hadith, dan ‘ulumul qur’an.[14]
Pentingnya mempelajari Ilmu Mukhtalif al-Hadith
Urgensi ilmu
mukhtalifif al-hadith wa musykiluhu bahwa ilmu ini termasuk ilmu yang
terpenting bagi ahli hadith, ahli fiqih, da ulam’-ulama’ lain. Yang menekuninya
harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu yang luas, terlatih dan
berpengalaman dan yang bias mendalaminya hanyalah mereka yang mampu memadukan
antara hadith dan fiqh. Dalam hal ini al-Sakhawi mengatakan:[15]
“ilmu ini termasuk jenis sangat penting yang sangat dibutuhkan oleh
ulama’ di berbagai disiplin.”
Dengan
mengetahui ilmu ini seorang ulama mampu membela sunnah dan hadith Rasul saw
dari kelompok inkar al-sunnah. Beberapa kelompok ahli bid’ah melancarkan
serangan denga gencar kepada sunnah dan ahli hadith karena kesalahan mereka
dalam memahami hadith sehingga mereka menuduh ahli hadith telah melakukan dusta
dan meriwayatkan keterangan-keterangan yang bertentangan, lalu menyandarkannya
kepada Rasululloh saw. Mereka ditiru oleh para orientalis dan
pengikut-pengikutnya dewasa ini, yaitu orang-orang yang tergiur oleh materi dan
berpola piker materialistis serta akalnya telah diselimuti perasaannya,
meskipun sebagia mereka mengaku sebagai penelaah agama Islam atau sebgai
pembuka pintu ijtiha.[16]
Dibalik
petunjuk hadith Nabi yang tampak bertentangan dalam rangka dakwa dan penerapan
ajaran Islam terdapat implikasi pemikiran yang antara lain bahwa Nabi secara
tidak langsung menuntut umatnya yang memenuhi syarat untuk; pertama, mempelajari
suasana terjadinya hadith. Suasana itu mungkin berhubungan dengan kondisi
masyarakat, latar belakang budaya, kejiwaan, dan intelektual audience dakwah. Kedua,
melakukan penyusunan sistem ajaran Islam, disamping dengan keadaan dan zaman.
[1] Asymuni
Abdurrahman, pengembangan pemikiran terhadap hadith (Yogyakarta :LPPI
Universitas Muhammadiyah, 1996), 4.
[2] Yusuf
al-Qadrawi, fikih taysir (Jakarta ; Pustaka al-Kautsar, 2001), 50
[3] Qadir Hassan, ilmu
mushthalahah hadits (Bandung : Diponegoro, 2007), 254.
[4] Abdul majid
khon, ulumul hadis (Jakarta : Amza, 2008), 88.
[5] Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadith (Surabaya : IAIN SA Press, 2012),
199.
[6]http://duniahadis.blogspot.com/2012/01/ikhtilaf-al-hadits-karya-al-syafii1.html
[7] Muh Zuhri, hadith
Nabi (sejarah dan metodologinya) (Yogyakarta : Tiara Wacana Yoya, 1997),
141.
[8] Yusuf
al-Qadrawi, Studi Kritis As-Sunah(Bandung : Trigenda Karya, 1995), 144.
[9] Syuhudi
Ismail, hadith nabi menurut pembela pengingkar dan pemalsunya(Jakarta :
Gema Insani Press, 1995), 113.
[10] Qadir Hassan, ilmu
mushthalahah hadits (Bandung : Diponegoro, 2007), 257-258.
[11] Yusuf
al-Qadrawi, Studi Kritis As-Sunah(Bandung : Trigenda Karya, 1995), 127.
[12] Yusuf
al-Qadrawi, Studi Kritis As-Sunah(Bandung : Trigenda Karya, 1995),
131-133.
[13] Yusuf
al-Qadrawi, Studi Kritis As-Sunah (Bandung : Trigenda Karya, 1995), 133.
[14] Yusuf
al-Qadrawi, Studi Kritis As-Sunah (Bandung : Trigenda Karya, 1995), 133.
[15]Tim Penyusun
MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadith (Surabaya : IAIN SA Press,
2012), 200.
[16]Nuruddin ‘itr, ‘Ulum
al-hadith 2 (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994), 144.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon