iklan banner

Hadith Kontradiksi dan Masalah Pemecahannya

Oleh : Dewi Asfufah


Pendahuluan
Menurut petunjuk al-qur’an, hadith nabi adalah sumber ajaran Islam di samping al-Qur’an.[1]Karena itu, Alloh memerintahkan kita untuk menaati Rasululloh sebagaimana Alloh memerintahkan untuk mentaatinya.Dalam arti, bahwa taat kepada rasululloh adalah -dalam kenyataannya- merupakan taat kepada Alloh. Karena apa yang disabdakan nabi Muhammah saw. Tidak karena hawa nafsunya, akan tetapi ia adalah penyampai sesuatu yang datang dari Alloh. Alloh swt. Berfirman dalam surat an-Nisa : 80.
مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ ۖ وَمَنْ تَوَلَّىٰ فَمَا أَرْسَلْنَاكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
 “ barang siapa taat kepada Rasululloh, maka ia telah taat kepada Alloh. Dan barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
Alloh berfirman QS. An-nisa ; 64
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ جَاءُوكَ فَاسْتَغْفَرُوا اللَّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُوا اللَّهَ تَوَّابًا رَحِيمًا
“kami tidak mengutus seseorang Rasul, melainkan untuk dita’ati dengan seizin Alloh. Sesunggunya jikalau mereka,ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun Alloh dan Rasul memohonkan ampun mereka, tentulah mereka mendapati Alloh Maha Penerima dan lagi maha penyayang ”
Alloh memperingatkan orang-orang yang menyelewengkan dari perintahnya seraya berfirman QS. An-nur: 63.
Kaum muslimin bersepakat bahwa kembali keapda Alloh berarti kembali kepada kitab-Nya, dan kembali kepada Rasululloh setelah wafatnya berarti kembali kepada sunnahnya. Meskipun dalam bahasa yang didefinisikan benar oleh nabi Muhammad, kata atau kalimat yang digunakan dalam teks ajaran dalam wahyu itu banyak yang bersifat mujmal, musykil, khafiy atau mutasyabih yang memerlukan penjelasan, rincian dan contoh pelaksanaan. Disamping itu ada lagi bentuk kata atau kalimat yang bersifat umum (‘am) yag memerlukan penegasan atau pengkhususan ada lagi kalimat yang bersifat mutlak yang memerlukan qaid atau spesifik dengan sifat. Penjelasan, rincian, penegasan pengkhususan, penyitaan atau contoh pelaksanaan itu tidak dapat diberikan oleh siapapun kecuali syari’ sendiri (Alloh) melalui wahyu juga atau oleh yang diutus dan dipercaya oleh syari’ (Rosululloh) atau dalam hal-hal mendasar dapat diberikan oleh para ulama (mujtahid) dengan mengikuti .[2]
Dalam memahami hadith, ada saja persoalan yang dihadapi. Apabila berbagai matan hadith Nabi diperbandingkan, dalam hal ini sanadnya sama-sama shahih, maka akan dijumpai sejumlah petunjuk yang tampak bertentangan, minimal menimbulkan kesan tidak sejalan. Ketika terjadi kontradiksi antara sebuah hadith dengan ayat yang ada di dalam alqur’an, maka harus didahulukan al-Qur’an dan periwayatnyalah yang keliru atau salah atau bil-wahni, dan harus ditinggalkan sehingga al-Qur’anlah yang harus diamalkan. Namun, jika terjadi kontradiksi antara sebuah hadith dengan hadith yang lain, di sini ulama ahli hadith telah membahas dan mengajukan alternatif-alternatif metode penyeleseiannya, sehingga teratasilah masalah pertentangan itu. walaupun terdapat sedikit perbedaan yang selalu diwarnai oleh diskusi panjag, silang pendapat karena bervariasinya metode istidlal yang digunakan. Adanya hadith-hadith mukhtalif (kontradiksi) menyangkut suatu masalah tertentu dapat menimbulkan kebingungan dalam mengambil ketentuan hukum.
            Dalam makalah ini, penulis mencoba membahas definisi hadith mukhtalif (kontradiksi), sejarah pertumbuhannya, pola penyeleseiannya, dan pentingnya mempelajari ilmu mukhtalif al-hadith. Dengan ini, diharapkan kita dapat melihat pentingnya ilmu muktalif al-hadith dalam pemahaman hadith sebagai sumber kedua ajaran Islam.

Definisi Mukhtaliful Hadith
            Mukhtalif artinya yang berselisih atau yang bertentangan.Mukhtaliful hadith artinya yang bertentangan dari hadith.Boleh juga dikatakan hadith yang bertentangan. Dalam musthalahah ditujukan bagi: “satu hadith sah yang pada dzahirnya kelihatan bertentangan dengan hadith shah lain tentang maknayna.”[3]
            Mukhtalafil hadith menurut pengertian yang diberikan para ulama mempunyai makna yang berbeda-beda. Al-Hakim al-Naisaburi (w. 405 H) menulis dalam bukunya, ma’rifat ‘ulum al-hadith, bahwa mukhtalif al-hadith adalah:
سنن لرسول الله صلى الله عليهه وسلم يعارضها مثلها فيحتاج أصحاب المذاهب بأحدهما وهما في الصحة والسقم سيان
“Sunah-sunah Rasululloh saw. Yang bertentangan dengan sesamanya, lalu para ulama memakai salah satunya sebagai dalil, di sisi lain keduanya setara dalam kesahihan dan kelemahannya.”
Sedangkan al-Nawawi (w. 676 H), yang hidup pada abad setelahnya, mendefinisikan dengan:
أن يأتي حديثان متضادان في المعنى ظاهرا فيوفق بينهما أو يرجح أحدهما
“Dua hadith yang secara lahiriyah maknanya saling bertentangan, lalu dikompromokan atau dikuatkan salah satunya.”
            Menurut definisi al-Hakim, dua hadith yang bertentangan di sini harus memiliki kesetaraan dalam keshahihan dan kelemahan. Semisal hadith shahih bertentangan dengan hadith yang lemah.Hanya pertentangan antara hadith shahih dengan hadith shahih lainnya, atau hadith lemah dengan hadith lemah lainnya yang dapat disebut mukhtalif. Pengertian semacam ini berbeda dengan pengertian yang dibawakan oleh pakar kontemporer Mahmud al-Thahhan yang menegaskan kedua hadith itu harus maqbul (diterima), yang tentu saja harus berstatus shahih.Sehingga pertentangan yang terjadi antara dua hadith yang lemah tidak diterima tidak disebut mukhtalif. Mahmud ath-thahan menjelaskan secara sederhana, bahwa mukhtalif hadith adalah :[4]
هو الحديث المقبول المارض بمثله مع إمكان الجمع بينهما
“hadith maqbul kontradiksi dengan sesamanya serta memungkinkan dikompromikan antara keduanya.”
Sedangkan dari definisi al-Nawawi ditarik pemahaman tentang bentuk pertentangan yang dimaksud, yakni pertentangan yang tidak mungkin dipertemukan (tadhadhud) menurut pengertian lahiriyahnya.Jadi menyisakan pengertian hakikinya yang masih dimungkinkan untuk dipertemukan atau dikompromikan.Ajjaj al-Khatib memberikan pengertian :[5]
العلم الذي يبحث في الاحاديث التي ظاهرها متعارض فيزيل تعارضها أو يوفق بينهما كما يبحث في الاحاديث التي يشكل فهمها أوتصورها فيدفع إشكالها ويوضح حقيقتها
“Ilmu yang membahas hadis-hadis yang lahiriahnya bertentangan, lalu dihilangkan sisi pertentangannya atau di-taufiq antara keduanya, sebagaimana dibahas tentang kejanggalan pemahaman atau penggambaran atas hadis-hadis, lalu ditolak kejanggalannya dan dijelaskan hakikat sebenarnya.”
Ajjaj al-Khathib telah membahas Mukhtalif al-Hadîts sebagai sebuah ilmu.Sebuah kajian yang menempatkan hadis-hadis bermasalah sebagai objeknya. Permasalahan yang dimaksud di sini adalah pertentangan lahiriah yang dikandung olehnya untuk dihilangkan dengan cara-cara tertentu.Ajjaj juga membedakan Mukhtalif al-Hadîts dari Musykil al-Hadîts. Di mana untuk yang kedua, problemnya adalah kejanggalan yang timbul dari proses memahami beberapa hadis. Kemudian asumsi akan adanya kejanggalan itu ditolak dengan cara dijelaskan hakikat yang dimaksud darinya. Pengertian yang dibawakan Ajjaj lebih general, dan hampir sama dengan definisi yang ditawarkan al-Suyuthi dan al-Nawawi yang tidak membedakan derajat kesahihan.

Sejarah pertumbuhan mukhtalif al-hadith
karya pertama dalam Mukhtalif al-Hadîts adalah Ikhtilâf  al-Hadîts karya al-Imam al-Syafi’i (w. 204 H). Ikhtilâf  memiliki pengertian ragam, berlainan, namun dalam tataran wacana (di luar teks) antara satu dan lainnya memiliki kesamaan, sehingga membuat seorang pengamat kesulitan memahami secara tepat. Kerancuan pemahaman inilah yang menjadi sasaran kerja Ikhtilâf  al-Hadîts. Berdasar keyakinan bahwa sejatinya hadis-hadis tidak ada yang bertentangan selama semua valid berasal dari Nabi.Namun persoalan ini menjadi runyam ketika hadis harus berhadapan dengan beragam bentuk penalaran.Terutama yang mengklaim diri sebagai rasional, baik dari kalangan fukaha maupun mutakalimin.Di mana mereka menolak hadis-hadis Nabi dengan berbagai argumentasi, variasi, dan tingkat penolakannya.Mereka inilah yang sering disebut kelompok Inkar al-Sunnah.Terlihat secara jelas di mana posisi al-Syafi’i, yakni beliau mencoba membela eksistensi hadis sebagai bagian dari syariah.Dalam konstruksi Ushul Fikihnya, al-Syafi’if menempatkan hadis (sunah) pada posisi yang sangat terhormat, tepat satu tingkat di bawah al-Quran sebagai sumber ajaran Tuhan yang paling otentik dan otoritatif.Ikhtilâf Hadîts berada pada posisi ini.[6]
Pada masa yang sama, Ibnu Quthaibah (w. 276 H) memiliki proyek ideologis yang sedikit berbeda. Hal ini terkait lawan yang dihadapi Ta’wîl Mukhtalif. Mereka adalah kelompok kalam, yang selain meninggikan rasionalitas Yunani di satu sisi, juga menjatuhkan kewibawaan ‘tradisi’ yang menjadi sumber ajaran kaum muslimin. Ibnu Qutaibah menulis,
وقد تدبرت رحمك الله مقالة أهل الكلام فوجدتهم يقولون على الله مالا يعلمون ويفتنون الناس بما يأتون ويبصرون القذى في عيون الناس وعيونهم تطرف على الأجذاع ويتهمون غيرهم في النقل ولا يتهمون آراءهم في التأويل ومعاني الكتاب والحديث وما أودعاه من لطائف الحكمة وغرائب اللغة لا يدرك بالطفرة والتولد والعرض والجوهر والكيفية والكمية والأينية ولو ردوا المشكل منهما إلى أهل العلم بهما وضح لهم المنهج واتسع لهم المخرج ولكن يمنع من ذلك طلب الرياسة وحب الأتباع
“Aku telah menelaah pendapat-pendapat ahli kalam. Aku menjumpai mereka berkata tentang Allah dengan sesuatu yang mereka tidak tahu, dan menebar kekacauan kepada masyarakat dengan segala apa yang mereka bawa. Mereka melihat di mata masyarakat terdapat kotoran, padahal mata mereka tertusuk pohon kurma. Mereka menuduh selainnya telah melakukan kesalahan dalam menukil informasi dari Nabi, tapi mereka tidak curiga sama sekali pada pendapatnya dalam menakwilkan dan pemahaman terhadap ayat-ayat al-Quran, hadis-hadis Nabi, kandungan kebajikannya, serta keindahan bahasanya yang tentu saja tidak dapat diperoleh melalui lompatan (tanpa pentahapan), teori tawallud, ‘aradl (sifat), jauhar (substansi wujud), kaifiyah (proses), kammiyah (kuantitas), ainiyah (ruang). Andai saja mereka mengembalikan persoalan itu kepada orang yang berilmu, maka teranglah jalan dan lapanglah pintu keluar  bagi mereka. Tapi nafsu berkuasa dan memperoleh banyak pengikut telah menguasai mereka…..”
Pada seratus tahun berikutnya,problematik ini disadari oleh al-Thahawi (w. 321 H.) dengan karyanya, Syarhu Musykil al-Âtsar (Penjelasan Atsar-Atsar Bermasalah). Sebagaimana dapat dilihat pada alasan penulisan karya tersebut, di mana beliau berkata,
وإني نظرت في الاثار المروية عنه صلم بالاسانيد المقبولة التي نقلها ذوو التثبت فيها والامانة عليها وحسن الاداء لها فوجدت فيها أشياء مما يسقط معرفتها والعلم بما فيها عن أكثر الناس فمال قلبي إلى تاملها وتبيان ما قدرت عليه من مشكلها ومن استخراج الاحكام التي فيها ومن نفي الاحالات عنها وأن أجعل ذلك أبوابا...
“Aku melihat atsar-atsar yang bersumber dari Nabi saw. telah disampaikan dengan sanda-sanad yang diterima, dinukil oleh orang-orang yang serius menelitinya, penuh tanggung jawab, dan menggunakan metode yang baik. Aku mendapati banyak yang luput dan tidak diketahui kebanyakan orang. Hatiku tergerak untuk merenunginya, menjelaskan apa yang janggal sesuai kadar kemampuanku, mengeluarkan hukum yang dikandungnya, dan menegasikan ketidak-mungkinan yang ada di dalamnya, dan mengkajinya secara perbab...”
Pada abad keempat hijriah perdebatan kalam masih terlalu ramai.Al-Thahawi mengawali dari ketidaklengkapan dan ketidaksempurnaan pada kajian hadis. Tokoh-tokoh yang memiliki keterkaitan ‘ideologis’ dengan kaum hadis, menggunakan cara yang beraneka ragam untuk menolak serangan musuh-musuhnya.Al-Thahawi berdiri pada barisan pembela sunnah, yang secara garis besar merupakan pelanjut al-Syafi’i dalam ranah fikih, dan Ibnu Qutaibah dalam wilayah kalam. Di mana dalam kedua zona tersebut, al-Thahawi mengambil posisi ahli hadis.Dengan posisi ideologis semacam ini, al-Thahawi berusaha menghadapi dua lawan sekaligus; ahli kalam pembuat bid’ah dan ahli fikih yang anti hadis.Sekalipun demikian, al-Thahawi tidak merasa perlu menggunakan bahasa yang ‘berlebihan’ dan keras, karena pada masa ini kuasa wacana kaum rasional mulai melemah.Munculnya orang-orang berideologi ahli hadis dengan memakai jubah rasionalis-kalam merupakan amunisi besar yang meluluh lantakkan keberadaan mereka.
Dua abad setelahnya, muncul Kitab Musykil al-Hadîts Au Ta’wîl al-Akhbâr al-Mutasyâbihah karya Ibnu Faurak (w. 406 H.) yang menggunakan pendekatan yang sama dengan yang dipakai Ibnu Qutaibah. Kitâb karya Ibnu Faurak ini menginginkan agar Musykil al-Hadîts yang berkaitan dengan persoalan antropomorfisme (kesamaan Tuhan dengan makhluk-Nya (al-Tasybîh) segera kembali ke rel yang semestinya melalui metode Ta’wil.Hampir seluruh bagian kitab ini merujuk pada perdebatan sekitar hadis-hadis yang dapat memberikan kesan antropomorfisme Ini merupakan serangan besar-besaran terhadap kelompok Musyabbihat.
Orang-orang yang pertama menyusun buku yang berbicara tentang problema ini adalah Imam as-Syafi’I (150-204 H) dengan kitabnya ikhtilah al-hadith. Ulama lain yang mengikuti jejaknya antara lain;[7]
1.      ‘Abdulloh ibn Muslim ibn Quthaibah al-Dainuri (213-276 H) dengan kitabnya Ya’wil Mukhtalif al-Hadith.
2.      Al-Imam Abu ja’far ibn Muhammad al-Thahawi (239-321 H) dengan kitabnya Musykilul Atsar.
3.      Al-Imam Abu Bakr Muhammad ibn al-Hasan (w. 406 H), dengan karyanya Musykil al-Hadith wa Bayanuhu.

Memahami hadith berdasarkan latar belakang, kondisi dan tujuan.
Untuk memahami hadith dengan pemahaman yang benar dan teliti, diperlukan pengetahuan tentang latar belakang yang dapat memberikan keterangan terhadapnya dan memperbaiki semua kondisinya, agar makna hadith itu dapat terbaca dengan teliti dan pemahaman terhadapnya tidak kacau atau tidak terarah.
Pesan yang terkandung dalam hadith itu adakalanya secara lahiriyah bermakna umum dan bersifat tetap.Akan tetapi, bila dilakukan pengkajian yang mendalam terhadapnya.Akan tampak bahwa hadith tersebut berorientasikan kepada suatu kausalita.Apabila kausalita itu hilang, hukum yang ada pada hadith menjadi tidak berlaku, begitu halnya jika kausalitanya ada, maka hukum hadith itu masih tetap berlaku.
Pengetahuan yang mendalam dan pandangan yang teliti, serta studi yang mencakup semua nas dan penemuan yang mengarah pada tujuan –tujuan syari’at, serta hakikat agama, tetapi harus disertai keberanian yang bersifat etis dan kekuatan semangat untuk membela perkara yang hak sangat diperlukan, sekalipun bertentangan dengan kebiasaan manusia yang turun-temurun. Tindakan ini tidaklah mudah, contohnya syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang telah memikul tugas dengan menentang sebagian besar ulama di masanya yang menimbulkan makar terhadap dirinya, sehingga berkali-kali dimasukkan ke penjara, bahkan meninggal dunia di dalamnya.
Para ulama mengatakan bahwa faktor yang dapat membatu memahami al-Qur’an dengan pemahaman yang baik ialah mengetahui asbabun nuzul (latar belakang penurunannya), sehingga tidak terjerumus ke dalam perangkap yang telah menjerumuskan sebagian kaum ekstrim dari kalangan khawarij dan lainnya. Mereka mengambil ayat-ayat yan diturunkan  berkenaan dengan kaum musyrikin, kemudian menerapkannya terhadap kaum muslimin. Hal ini membuat Ibun Umar menilai mereka mereka makhluk yang paling jahat karena sejak diturunkanya, mereka telah menyelewengkan kitabulloh dari makna yang dimaksud.
Sunah berfungsi menanggulani sebagian besar masalah yang bersifat temporer, detail, dan berkaitan dengan tempat. Oleh karena itu, sunah memiliki kekhususan dan rincian yang tidak terdapat dalam al-qur’an. Untuk itu, harus dibedakan antara hal yang bermakna khusus dan bermakna umum, yang bersifat temporer dan yang bersifat tetap, yang bersifat juz’I (bagian) dan yang bersifat menyeluruh, yang masing-masing mempunyai ketentuan hokum sendiri. Hal itu diikuti dengan memperhatikan konteks, kondisi, serta latar belakang hadith yang sangat membantu untuk mencapai pemahaman yang lurus dan benar.
Sebagai contoh dalam masalah ini ialah hadith tentang larangan betempat tinggal di tempat selain negeri kaum muslimin.:[8]
أنا بريء من كل مسلم يقيم بين أظهر المشركين لا تتراءي نارهما
Artinya :                                                      
“aku melepaskan diri dari setiap muslim yang bermukim di tengah orang-orang musyrik yag rumahnya tidak dapat dibedakan.” (HR. Imam Abu Daud dalam bab “jihad”, Imam Tirmidzi meriwayatkannya dalam bab “as Sair”
Sebagian ulama ada yang memahami hadith ini dengan pengertian bahwa secara umum, haram bermukim atau bertempat tinggal di tampat selain negeri kaum muslimin. Padahal, pada masa sekarang banyak factor dan kebutuhan yang mendesak kita untuk tinggal di sana, misalnya untuk belajar, berobat, bekerja, berdagang, dan menjadi duta besar. Terlebih lagi, factor jarak di masa sekarang ini bukan merupakan suatu kendala, sehingga seakan-akan dunia ini bagaikan suatu kota yang besar, yang lazimnya dinamakan masa globalisasi.
Allamah Rasyid Ridha menyebutkan bahwa hadith tersebut diriwayatkan berkenaan dengan kewajiban hijrah dari negeri kaum musyrikin untuk ikut menolong Nabi saw. Sebagaimana hadith yang diriwayatkan oleh ahlus sunan. Abu daud meriwayatkan hadith itu melalui hadith Jarir Ibnu Abdulloh.Akan tetapi, diceritakan bahwa ada sejumlah perawi yang tidak menyebut Jarir dan meriwayatkan hadith ini secara mrsal, sebagaimana dilakukan oleh Imam Nasa’I. Imam Tirmidzi meriwayatkan hadith tersebut secara mursal dan mengatakan bahwa sanad sanad hadith ini lebih shahih dibandingkan sanad lainnya. Dinukilkan pula bahwa Imam Bukhari membenarkan predikat mursal hadith ini.Akan tetapi, dia tidak meriwayatkan hadith itu dalam kitab sahihnya. Selain itu, hadith ini tidak pula dimasukkan kedalam persyaratannya. Kalangan ulam memperselisihkan masalah pemakaian hujah dengan hadith mursal dalam ilmu ushul fikih. Hadith itu berbunyi :
بعث رسول الله صلى الله عليه وسلم سرية إلى خثعم فاعتصم ناس منهم بالسجود فأسرع فيهم القتل فبلغ ذلك النبي صلى الله عليه وسلم فأمر لهم نصف العقل (أي الدية) وقال: أنا بريء من كل مسلم يقيم بين أظهر المشركين، قالوا : يا رسول الله لم؟ قال : لاتتراءي نارهما.
Artinya :
“Rasululloh saw. Mengirimkan pasukan khusus untuk berperang melawan Bani Khats’am.Lalu, ada sebagian orang dari Bani Khats’am yang melindungi dirinya dengan melakukan sujud (salat), tetapi pedang lebih cepat menjemput mereka, sehingga mereka mati. Ketika berita itu sampai kepada Nabi saw. Maka beliau memerintahkan supaya wali orang-orang yang terbunuh diberi separo diat (denda membunuh orang). Nabi saw. Bersabda, ‘aku berlepas diri dari setiap muslim yang bermukim di tengah-tengah kaum musyrikin.’ Para sahabat bertanya, ‘wahai Rasululloh, mengapa begitu’ rasululloh saw. Menjawab, ‘karena rumah keduanya tidak dapat dibedakan.’
Dalam kasus ini, Rasululloh saw. Memberikan separuh diat kepada ahli waris orang yang terbunuh karena mereka termasuk muslim (yang tinggal di negeri orang-orang kafir). Hal itu ditetapkan mengingat mereka sendiri yang telah mencelakakan diri, sehingga separuh hak mereka digugurkan karena mereka bermukim di tengah-tengah kaum musyrikin yang memerangi Alloh dan Rasul-Nya.Sehubungan dengan pengguguran separuh diat ini, Imam Al-khaththabi mengatakan bahwa mereka telah berbuat aniaya terhadap diri mereka sendiri karena mereka tinggal di antara orang-orang kafir. Dengan demikian, seakan-akan mereka binasa oleh perbuatannya sendiri dan perbuatan orang lain. Oleh karena itu, kesalahan yang dilakukan oleh dirinya sendiri menyebabkan sebagian diatnya digugurkan. Rasululloh saw. Mengecam keras hal tersebut karena hal itu mengakibatkan kita enggan menolong Alloh dan Rasul-nya, sebagaimana firman-Nya dalam QS. Al-Anfal ayat 72
إِنَّ الَّذِينَ آمَنُوا وَهَاجَرُوا وَجَاهَدُوا بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَالَّذِينَ آوَوْا وَنَصَرُوا أُولَٰئِكَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ ۚ وَالَّذِينَ آمَنُوا وَلَمْ يُهَاجِرُوا مَا لَكُمْ مِنْ وَلَايَتِهِمْ مِنْ شَيْءٍ حَتَّىٰ يُهَاجِرُوا ۚ وَإِنِ اسْتَنْصَرُوكُمْ فِي الدِّينِ فَعَلَيْكُمُ النَّصْرُ إِلَّا عَلَىٰ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ ۗ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“ sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Alloh dan orang-orang yang memberinya tempat kediaman dan pertolonga (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. Dan (terhadap ) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada perjanjian antara kamu denga mereka. Dan Alloh maha melihat apa yang kamu kerjakan.”
Melalui ayat ini, Alloh tidak mewajibkan seseorang melindungi orang-orag muslim selain kaum muhajirin apabila hijrah telah diwajibkan atas mereka. Nabi saw. Bersabda :
أنا بريء من كل مسلم يقيم بين أظهر المشركين.                   
Artinya :
“aku melepaskan diri dari setiap muslim yang tinggal di antara kaum musyrikin.”
Maksud makna tersebut bahwa Nabi saw. Melepaskan diri dari tanggung jawab keselamatannya bila dia terbunuh karena dia telah melibatkan dirinya ke dalam bahaya itu dengan bertempat tinggal di tengah kaum yang memerangi negeri Islam.
Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa apabila lingkungan yag disebutkan oleh teks hadith telah berubah dan tidak ada lagi kendala yang dikhawatirkan untuk menarik kemaslahatan atau menagkal kerusakan, maka hokum yang telah ditetapkan oleh teks hadith ini ikut lenyap.

Pola penyeleseian hadith-hadith yang dianggap kontradiksi
Diskusi telah berlangsung dikalangan ulama, bahkan di kalangan sahabat Nabi tetang petunjuk hadith yang tampak bertentangan.Al-Syafi’i (w. 204 H) dengan kitabnya ikhtilaf al-hadith, ia mempelopori penghimpunan berbagai hadith yang tampak bertentangan ke dalam sebuah kitab dan berusaha menyeleseikan pertentangannya. Ibnu Quthaibah (w. 276 H) dengan kitabnya takwil mukhtalih al-hadith.Al-Imam Abu Ja’far ibn Muhammad al-Thahawi (w. 321 H) dengan kitabnya musykilul atsar. Al-Imam Abu Bakr Muhammad ibn al-Hasan (w. 406 H) dengan karyanya musykil al-hadith wa bayanuhu.Ibnu Jarir (w. 310 H), dan lain-lain telah mengikuti jejak al-Syafi’i.
Dalam  pernyataan Imam al-Syafi’i sebagai peringatan yang tegas dalam memahami hadits-hadits mukhtalif, yaitu:
لا تجعل عن رسول الله حديثين مختلفين أبدا إذا وجد السبيل إلى أن يكونا مستعملين, فلا نعطل منهما واحدا لأن علينا في كل ما علينا في صاحبه, ولا نجعل المختلف إلا فيما يجوز أن يستعمل أبدا ألا بطرح صاحبه
“Jangan mempertentangkan hadits Rasulullah satu dengan yang lainnya, apabila mungkin ditemukan jalan untuk menjadikan hadits - hadits tersebut dapat sama-sama diamalkan.Jangan tinggalkan salah satu antara keduanya karena kita punya kewajiban untuk mengamalkan keduanya.Dan jangan jadikan hadits - hadits bertentangan kecuali tidak mungkin untuk diamalkan selaian harus meninggalkan salah satu darinya.”
Peringatan ini disampaikan berdasarkan suatu prinsip bahwa tidak mungkin Rasulullah menyampaikan ajaran Islam yang antara satu dengan yang lainnya benar-benar saling bertentangan.Jika ada penilaian yang menyatakan bahwa satu hadits dengan hadits lainnya saling bertantangan, maka dalam hal ini ada dua kemungkinan. Yakni:
1.      Salah satu hadith tersebut bukanlah maqbul, melainkan hadith mardud, baik dhaif maupun maudhu, besar kemungkinan bertentangan dengan hadith shahih atau hasan.
2.      karena pemahaman yang keliru terhadap maksud yang dituju oleh hadits-hadits tersebut. Karena bisa saja masing-masing hadits tersebut memiliki maksud dan orientasi yang berbeda sehingga keduanya dapat diamalkan menurut maksud masing-masing.
Imam asy Syathibi rahimahullah berkata :
“ Dalil dalil yang menjadi dasar syari’at tidak mungkin satu dengan yang lainnya saling kontradiktif/ bertentangan, maka siapapun yang meneliti kaidah hukum dengan seksama pasti tidak mendapati kesamaran sama sekali didalamnya, sebab tidak mungkin terjadi pertentangan antara ajaran agama, sehingga kita tidak menemukan adanya dua dalil yang disepakati umat islam saling bertentangan yang mewajibkan seorang tawaqquf (tidak bisa mengamalkan), namun karena seorang mujtahid tidak ma’shum boleh jadi yang terjadi pertentangan bukan dalam nash nya tetapi dalam pemahamannya”
Untuk menyeleseikan hadith-hadith yang tampak bertentangan tersebut, cara yang ditempuh oleh ulama tidak sama, ada yang menempuh satu cara dan ada yang menempuh lebih dari satu cara dengan urutan yang berbeda-beda. Istilah-istilah yang banyak dijumpai dalam hal ini antara lain:[9]
1.      Al-Tarjih (meneliti dan menentukan petunjuk hadith yang memiliki argument yang lebih kuat). Misalnya hadith tentang Nabi nikah dalam ihlal (keluar dari umrah) :[10]
عن ابن عباس أنه قال : تزوج رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو محرم (رواه مسلم)
Artinya :                                                   
“dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ia pernah berkata: “Rasululullh saw. Telah kawin dengan Maimunah, sedang beliau dalam ihram.”
عن يزيد بن الأصم قال: حدثتني ميمونة بنت الحارث أن رسول الله صلى الله عليه وسلم تزوجها وهو حلال. (رواه مسلم)
Artinya :
“dari Yazid bin al-Asham, ia berkata: “telah menceritakan kepadaku, Maimunah bintul Harits, bahwa Rasululloh saw. Kawin dengan dia sedang nabi dalam ihlal.”
Riwayat hadith pertama mengatakan Nabi kawin dengan maimunah dalam ihram, sedang yang kedua menetapkan dalam ihlal. Cerita-cerita ini bertentangan, oleh karena pertentanga itu, maka dua riwayat tersebut perlu dijama’ atau ditarjih.Ada ulama menggunakan tariqothul jam’I, tetapi caranya agak berat.Jadi kedua riwayat tersebut ditarjih. Pertama, dua-dua riwayat itu derajatnya Shahih. Kedua, kita memeriksa adakah terdapat keterangan yang menguatkan Ibnu Abbas? ternyata tidak bertemu satu pun bantuan bagi riwayat Ibnu Abbas yang mengatakan Nabi kawin dalam ihram. Keempat, kita lihat pula riwayat kedua yaitu yang dari Yazid bin Asham, tenyata ada yang dapat membantunya, yaitu dari empat jurusan :
a.       Yang meriwayatkan dalam ihlah, adalah Maimunah sendiri. Jadi lebih boleh diterima daripada orang lain menceritakannya.
b.      Abu Rafi’ meriwayatkan kejadia perkawinan itu, dalam ihlal juga.
c.       Di antara sahabat ada yang menyalahkan pendapat Ibnu abbas tentang dalam ihram, tetapi dalam riwayat abu Rafi’ mereka tidak membantah.
d.      Omongan Maimunah dan cerita Abu Rafi’ itu, setuju dengan larangan Nabi saw. “tentang tidak boleh kawin dalam ihram”, yaitu
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم لاينكح المحرم ولا ينكح. (رواه مسلم)
Artinya :
“Rasululloh saw. Bersabda, “orang yang di dalam ihram tidak boleh mengawinkan orang lain.”
2.      Al-jam’u (al-taufiq atau at-talfiq), yakni kedua hadith yang tampak bertentangan itu dikompromikan, atau sama-sama diamalkan sesuai konteksnya. Contohnya hadith tentang buang hajat membelakangi kiblat:
عن أبي أيوب أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: إذا أتيتم الغائط فلا تستقبلو القبلة ولا تسببدروها ببول ولا غائط.... (رواه البخاري ومسلم وغيرهما واللفظ لمسلم)
Artinya :                                                                                    
“hadith riwayat dari Abu Ayyub bahwa Nabi saw. Telah bersabda, “apabila kamu sekalian buang hajat, maka janganlah menghadap ke kiblat dan jangan membelakanginya, baik buang air kecil maupun buang air besar…….” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain; lafal berdasarkan riwayat Muslim)
قال عبد الله بن عمر : لقد ارتقيت يوما على ظهر بيت لنا فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم على لبنتين مستقبلا بيت المقدس لحاجته ((رواه البخاري ومسلم وغيرهما واللفظ لبخاري))
Artinya :                      
“Abd Alloh bin ‘Umar berkata, “pada suatu hari, sungguh saya telah naik (masuk) ke rumah kami (tempat tinggal Hafsah, isteri Nabi), aka saya melihat Nabi saw. Di atas dua batang kayu (tempat jongkok) untuk buang hajat dengan menghadap kea rah bait al-maqdis.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain; lafal berdasarkan riwayat al-Bukhari)
Kedua hadith di atas nampak bertentangan. Hadith pertama menyatakan larangan buang hajat menghadap kiblat (ka’bah) atau membelakanginya. Sedang hadith kedua menyatakan Nabi pernah buang hajat dengan menghadap ke Bait al-maqdis, yang berarti membelakangi kiblat.
Menurut penelitian ulama hadith, petunjuk kedua hadith di atas tidak bertentangan.Larangan Nabi berlaku bagi yang buang hajat di lapangan terbuka, sedang yang buang hajat di tempat tertutup, misalnya WC, larangan tidak berlaku.
3.      Al-nasikh wa al-mansukh, yakni petunjuk dalam hadith yang satu dinyatakan sebagai “penghapus”, sedang hadith yang satunya lagi sebagai “yang dihapus”. Misalnya hadith tentang mandi janabah;
عن سعيد الحذري عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : إنما الماء من الماء. ( رواه مسلم وأبوداود والترميذي وغيرهم واللفظ لمسلم)
Artinya :                                                                                    
“hadith riwayat Abu Sa’id al-Khudri, dari Nabi saw. Bahwa beliau telah bersabda, “sesungguhnya air (mandi janabah menjadi wajib karena) dari air (keluarnya sperma tatkala bersenggama).”(HR. al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain; Lafal berdasarkan riwayat Muslim).
عن عائشة قالت :.... قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا جلس بين شعبها الأربع ومس الختان فقد وجب الغسل. (رواه البخار ولمسلم ويرهما واللفظ لمسلم)
Artinya :                                                        
“hadith riwayat dari ‘Aisyah, dia berkata……… Nabi saw. Telah bersabda, “apabila (seseorang) telah duduk di atas empat anggota tubuh (isteri)nya dan alat kelamin telah menyentuh (masuk) ke alat kelamit, maka sungguh telah wajib mandi janabah.” (HR. al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain; lafal berdasarkan riwayat Muslim)
Kedua hadith di atas tampak bertentangan. Hadith pertama mengatakan bahwa mandi janabah menjadi wajib bila kegiatan senggama berhasil memancarkan sperma, sedang bila tidak samapi memancarkan sperma, maka mandi janabah tidak wajib. Hadith kedua menyatakan mandi janabah adalah wajib bagi setiap orang yang melakukan kegiatan senggama, baik kegiatan itu berhasil memancarkan sperma maupun tidak.
Menurut penelitian ulama hadith, petunjuk kedua hadith tersebut tidak bertentangan; hadith pertama terjadi pada masa awal islam, kemudian dating petunjuk hadith kedua yang isinya menhapus hukum hadith kedua. Kata al-Syafi’i bahwa menurut bahasa arab, kata junub(an) dalam al-qur’an surat an-Nisa’ ayat 43 tidak membedakan yang berhasil memancarkan sperma dan yang tidak berhasil memancarkan sperma. Dalam hal ini , ditempuh metode penyeleseian al-nasikh wa al-mansukh, yakni hadith kedua berstatus sebagai al-nasikh, sedang hadith pertama berstatus sebagai al-mansukh.
4.      Al-tauqif, yakni “menunggu” sampai ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernikan dan menyeleseikan pertentangan.
Ulama yang berpandangan bahwa hanya ada satu alternative penyeleseian, misalnya Ibnu Hazm (w. 452 H) dan al-Qarafi (w. 684 H). Ibnu hazm menerapkan kaidah al-istisna’ (pengecualian atau exeption), sedang al-Qarafi menerapkan kaidah al-tarjih, baginya kaidah tersebut menhgasilkan penyeleseian berupa al-nasikh wa al-mansukh dan mungkin al-jam’u. pendapat al-Qarafi tentang al-tarjih tidak sejalan dengan ulama lainnya, misalnya al-‘iraqi (w. 806 H0 dan al-Suyuthi (w. 911 H) yang menyatakan bahwa kemungkinan penerapan kaidah al-tarjih ada lima puluh macam lebih.
Menurut Muhammad Thahhan penyelesaiannya adalah:
1.      Dilakukan kompromi antara keduanya jika mungkin dilakukan        
2.      Bila kompromi tidak mungkin, dapat dilakukan dengan tiga cara yaitu:
a.       Bila diketahui salah satunya nasikh, maka didahulukan dan diamalkan yang nasikh, sedangkan yang mansukh ditinggalkan.
b.      Jika tidak diketahui adanya nasikh, maka ditarjih salah satunya dengan metode tarjih yang lazim dipakai
c.       Kalau tarjih tidak dapat dilakukan, maka ditangguhkan beramal dengan hadis mukhtalif itu sampai ditemukan adanya dalil yang lebih kuat.
Menurut Imam Asy-Syafi’i, bahwa penyelesaiannya adalah:
1.      Penyelelesaian dalam bentuk kompromi (thariqatu-l-jam’i)
2.      Penyelesaian dalam bentuk tarjih
3.      Penyelesaian dalam bentuk nasakh
Pendapat di atas pada dasarnya sama, bahwa metode penyelesaian hadis mukhtalif dapat dilakukan dengan bentuk kompromi, jika tidak mungkin dengan kompromi dilakukan nasakh, kalau nasakh tidak dapat maka dilakukan tarjih.

Lebih memprioritaskan penggabungan daripada pentarjihan
            Menurut kaidah, nas-nas syari’at yang telah dikukuhkan itu tidak mungkin bertolak belakang antara satu perkara yang hak tidak akan bertentangan dengan perkara hak lainnya. Jika ada pertentangan di antara nas-nas di dalamnya, hal itu hanya menurut makna lahiriahnya saja, tetapi tidak bertentangan pada hakikat dan kenyataannya.Atas dasar itu, kita wajib menghapuskan pertentangan itu.
Jika pertentangan itu masih bisa dihilangkan dengan cara menggabungkan dan menyesuaikan dua nas yang bersangkutan, tanpa harus bersusah payah mencari-cari takwil yang jauh, sehingga keduanya bisa disahkan, maka hal ini lebih utama daripada menggunakakn cara tarjih karena mentarjih ini sama dengan mengesampingkan salah satu dari kedua nas itu dan memprioritaskan yang lainnya.[11]
Kajian ini merupakan suatu hal terpenting untuk memahami sunah dengan pemahaman yang baik, yaitu mencari titik-titik penyesuaian di antara hadith-hadith shahih yang secara lahiriyah bertentangan.Begitupula maknanya, yang secara sepintas terlihat kontradiksi. Semua hadith itu harus digabungkan dan masing-masing diletakkan pada tempat yang sebenarnya, sehingga sesuai dan tidak bertentangan, serta saling melengkapi.
Dalam hal ini, kami hanya menekankan pada hadith-hadith shahih saja karena hadith dha’if tidak termasuk ke dalam bidang ini dan kita tidak dituntut menggabungkannya dengan hadith-hadith yang shahih lagi terbukti keshahihannya jika bertentangan dengannya, kecuali bila predikatnya diturunkan.Hadith-hadith yang tidak ada asal-usulnya dan tidak ada sanadnya, atau hadith-hadith maudhu’, tidak pula dibahas dalam bab ini. Kalaupun ada, hanya sekedar menjelaskan kedustaan dan kebathilannya, srta pertentangannya dengan al-Qur’an dan as-Sunah. Oleh karena itu, ulama ahli tahkik menolak hadith Ummu Salamah yang ada pada Imam Abu Daud dan Umam Tirmidzi yang mengharamkan wanita melihat lelaki lain, sekalipun lelaki itu tuna netra.

Implikasi pemikiran dalam hubungannya dengan penyeleseian ulama tentang hadith-hadith kontradiksi
            Dengan memperhatikan cara-cara penyeleseian ulama dalam hadith-hadith kontradiksi, maka implikasi pemikiran yang dapat diperoleh bahwa untuk memahami suatu hadith, apalagi tampak bertentangan, maka :
1.        Hadith yang bersangkutan tidak dapat dilihat hanya dari segi yang tersurat (teks) saja, tetapi juga harus dilihat dari segi yang tersirat (konteks), misalnya kapan dan apa sebab hadith itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan.
2.        Harus dikaji dalil-dalil lainnya, baik naqli maupun ‘aqli, yang memiliki kaitan erat dengan hadith yang tampak bertentangan tersebut.
3.        Diperlukan kegiatan ijtihad, seperti contoh hadith-hadith berikut tentang wanita yang berziarah kubur :
Di antara hadith yang melarang wanita melakukan ziarah kubur ialah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a.[12]
أن رسو ل الله صلى الله عليه وسلم لعن زوارات القبور
Artinya :
“Rosululloh saw. Telah melaknat kaum wanita berziarah kubur.”
Hadith riwayat Imam Ahmad, Imam Ibnu Majah, dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadith ini shahih, sebagaimana Ibnu Hibban dalam kitab shahih-nya.
Ibnu Abbas meriwayatkan teks yang menyebutkan zaariraatul qubuur (wanita peziarah kubur), demikian pula Hasan Ibnu Tsabit.Hal ini diperkuat oleh hadith-hadith yang melarang wanita mengiringi jenazah ke tempat penguburannya, maka dapt disimpulkan bahwa wanita dilarang menziarahi kuburan. Hadith yang berlawan dengan hadith itu ialah hadith yang membolehkan wanita menziarahi kubur, yaitu hadith Nabi saw. Yang berbunyi;
كنت نهيتكم عن زيارة القبور فزورها
Artinya :
“Dahulu saya melarang kalian menziarahi kuburan, sekarng berziarah kuburlah kalian.”(hadith riwayat Imam Ahmad dan Imam Hakim melalui Anas, dalam kitab al-Jami’ush Shaghir)
زوروا القبور فإنها تدرك الموت   
Arinya :
“Berziarah kuburlah kalian karena sesungguhnya ziarah kubur itu mengingatkan kematian.”(Hadith riwayat Imam Muslim)
Makna hadith ini menyimpulkan bahwa kaum wanita termasuk ke dalam izin umum untuk melakukan ziarah.
Hadith lain lagi ialah hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Imam Nasa’I, dan Imam Ahmad melalui Siti Aisyah, dia berkata,” wahai Rasululloh, apa yang harus saya ucapkan kepada mereka (ahli kubur bila aku menziarahi mereka?)” Rasululloh saw. Bersabda:
السلام على أهل الديار من المؤمنين والمسلمين ويرحم الله المستقدمين منّا والمستأخرين وإنا إنشاء الله بكم الاحقون
Artinya :
“Semoga keselamatan dilimpahkan kepada penghuni kuburan ini dari kalangan kaum mukminin dan kaum muslimin.Semoga Alloh merahmati orang-orang terdahulu daripada kami dan orang-orang yang kemudian.Sesungguhnya, kami Insya Alloh, akan menyusul kalian dengan sebenar-benarnya.”(HR. Imam Muslim dalam kitab al-Jana’iz, juga Imam Nasa’I dan Imam Ahmad dalam kitabnya masing-masing)
Hadith lain diriwayatkan oleh Syaikhani melalui Anas r.a.
أن النبي صلى الله عليه وسلم مر بإمرأة تبكي عند قبر فقال: إتقي الله واصبرى فقالت: إليك عني فإنك لم تصب بمثل مصيبتي ولم تعرفه...
Artinya :
“Nabi saw. Melewati seorang wanita yang sedang menangis di dekat sebuah kuburan, beliau saw. Bersabda; ‘bertakwalah keapada Alloh dan bersabrlah kamu.’Wanita itu menjawab,’pergilah kamu dariku, sesungguhnya kamu tidak mengalami musibah seperti apa yang menipa diriku.’ Wanita itu mengatakan demikian karena dia belum mengetahui bahwa orang yang berkata demikian adalah nabi saw.” (hingga akhir hadith)
Dalam hadith ini disebutkan bahwa Rasululloh saw. Hanya mengingkari sikap tidak adanya kesabaran si wanita karena ditingal suami/ayahnya, dan beliau tidak mengingkari ziarah kuburnya.
Hadith lain diriwayatkan oleh Imam Hakim.
أن فاطمة بنت رسول الله صل الله عليه وسلم كانت تزور قبر عمها حمزة كل جمعة فتصلى وتبكي عنده.
Artinya :
“Siti Fatimah, putri Rasululloh saw. Sering menziarahi kuburan pamannya, yaitu Hamzah setiap hari jum’at.Fatimah berdo’a dan menangis di dekat kuburannya.”(Imam Hakim menyebutkan hadith ini dalam kitab Nailul Authari)
Hadith-hadith yang membolehkan wanita melakukan ziarah kubur lebih shahih dan lebih banyak daripada hadith-hadith yang melarangnya.Akan tetapi, menggabungkan dan menyesuaikan titik pertemuan di antara keduanya masih dapat dilakukan.
Laknat yang disebut pada hadith pertama, menurut al-Qurthubi ditujukan kepada kaum wanita yang sering melakukan ziarah kubur.Pengertian ini dismpulkan dari ungkapan teks hadith yang menunjukkan makna mubalaghoh (maksimal), yaitu lafadz zuwaaraat. Al-Qurthubi menambahkan, bahwa barangkali penyebabnya ialah seringnya berziarah mengakibatkan tersia-sianya hak suami, ber-tabarruj (menampakkan diri), dan akibat-akibat negative lainnya, seperti menjarit dan menangis. Oleh karena itu, apabila hal tersebut dapat dihindari, wanita tidak dilarang melakukan ziarah kubur karna pada prinsipnya, ziarah kubur itu mengingatkan yang bersangkutan akan kematian, baik mengingatkan laki-laki maupun perempuan.[13]
Asy-Syaukani mengatakan bahwa pendapat ini yang layak dipegang dalam masalah menggabungkan pengertian di antara hadith-hadith yang secara lahiriyah bertentangan. Apabila penggabungan makna di antara kedua hadith yang bertentangan tidak dapat dilakukan atau penyesuaian di antara hidth-hadith yang lahiriyahnya bertentangan tidak dapat dilaksanakan, jalan keluarnya ialah dengan melakukan pentarjihan (penyeleksian) hadith-hadith tersebut.Hal ini berarti, salah satu diantaranya harus diutamakan atas yang lainnya berdasarkan kriteria tarjih yang telah disebutkan detailnya oleh para ulama. Al-Hafidz Imam Suyuti dalam kitabnya yang berjudul Tadribur Rawi ‘Ala Taqribin Nawawi memerincinya lebih dari seratus poin. Masalah ta’arudh (pertentangan) dan tarjih (penyeleksian) ini merupakan pembahasan yang sangat penting, mencakup ilmu ushul fiqh, ushulul hadith, dan ‘ulumul qur’an.[14]

Pentingnya mempelajari Ilmu Mukhtalif al-Hadith
Urgensi ilmu mukhtalifif al-hadith wa musykiluhu bahwa ilmu ini termasuk ilmu yang terpenting bagi ahli hadith, ahli fiqih, da ulam’-ulama’ lain. Yang menekuninya harus memiliki pemahaman yang mendalam, ilmu yang luas, terlatih dan berpengalaman dan yang bias mendalaminya hanyalah mereka yang mampu memadukan antara hadith dan fiqh. Dalam hal ini al-Sakhawi mengatakan:[15]
“ilmu ini termasuk jenis sangat penting yang sangat dibutuhkan oleh ulama’ di berbagai disiplin.”
Dengan mengetahui ilmu ini seorang ulama mampu membela sunnah dan hadith Rasul saw dari kelompok inkar al-sunnah. Beberapa kelompok ahli bid’ah melancarkan serangan denga gencar kepada sunnah dan ahli hadith karena kesalahan mereka dalam memahami hadith sehingga mereka menuduh ahli hadith telah melakukan dusta dan meriwayatkan keterangan-keterangan yang bertentangan, lalu menyandarkannya kepada Rasululloh saw. Mereka ditiru oleh para orientalis dan pengikut-pengikutnya dewasa ini, yaitu orang-orang yang tergiur oleh materi dan berpola piker materialistis serta akalnya telah diselimuti perasaannya, meskipun sebagia mereka mengaku sebagai penelaah agama Islam atau sebgai pembuka pintu ijtiha.[16]
Dibalik petunjuk hadith Nabi yang tampak bertentangan dalam rangka dakwa dan penerapan ajaran Islam terdapat implikasi pemikiran yang antara lain bahwa Nabi secara tidak langsung menuntut umatnya yang memenuhi syarat untuk; pertama, mempelajari suasana terjadinya hadith. Suasana itu mungkin berhubungan dengan kondisi masyarakat, latar belakang budaya, kejiwaan, dan intelektual audience dakwah. Kedua, melakukan penyusunan sistem ajaran Islam, disamping dengan keadaan dan zaman.


[1] Asymuni Abdurrahman, pengembangan pemikiran terhadap hadith (Yogyakarta :LPPI Universitas Muhammadiyah, 1996), 4.
[2] Yusuf al-Qadrawi, fikih taysir (Jakarta ; Pustaka al-Kautsar, 2001), 50
[3] Qadir Hassan, ilmu mushthalahah hadits (Bandung : Diponegoro, 2007), 254.
[4] Abdul majid khon, ulumul hadis (Jakarta : Amza, 2008), 88.
[5] Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadith (Surabaya : IAIN SA Press, 2012), 199.
[6]http://duniahadis.blogspot.com/2012/01/ikhtilaf-al-hadits-karya-al-syafii1.html
[7] Muh Zuhri, hadith Nabi (sejarah dan metodologinya) (Yogyakarta : Tiara Wacana Yoya, 1997), 141.
[8] Yusuf al-Qadrawi, Studi Kritis As-Sunah(Bandung : Trigenda Karya, 1995),  144.
[9] Syuhudi Ismail, hadith nabi menurut pembela pengingkar dan pemalsunya(Jakarta : Gema Insani Press, 1995), 113.
[10] Qadir Hassan, ilmu mushthalahah hadits (Bandung : Diponegoro, 2007), 257-258.
[11] Yusuf al-Qadrawi, Studi Kritis As-Sunah(Bandung : Trigenda Karya, 1995), 127.
[12] Yusuf al-Qadrawi, Studi Kritis As-Sunah(Bandung : Trigenda Karya, 1995), 131-133.
[13] Yusuf al-Qadrawi, Studi Kritis As-Sunah (Bandung : Trigenda Karya, 1995), 133.
[14] Yusuf al-Qadrawi, Studi Kritis As-Sunah (Bandung : Trigenda Karya, 1995), 133.
[15]Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel, Studi Hadith (Surabaya : IAIN SA Press, 2012),  200.
[16]Nuruddin ‘itr, ‘Ulum al-hadith 2 (Bandung : Remaja Rosdakarya, 1994), 144.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment