Makrifat, pengenalan atau pengetahuan terbagi menjadi tiga antara lain, pengetahuan hushuli, atau pengetahuan hudhuri, dan pengetahuan syuhudi. Pengetahuan hushuli diperoleh melalui pahaman-pahaman pikiran dengan memperhatikan argumentasi-argumentasi rasional dan filosofis. Pengetahuan hudhuri adalah pengetahuan tanpa media untuk mencerap pahaman dan merupakan bentuk mental yang hadir di sisi pencerap. Pengetahuan hudhuri adalah tergolong sebagai salah satu pengetahuan irfani dan syuhudi dimana realitas luaran sesuatu tersaksikan oleh sang penyaksi.
Namun dalam
pengenalan hushuli atau rasional yang digunakan adalah
pendahuluan-pendahuluan indrawi dan empirik. Misalnya dengan jalan berpikir
pada tanda-tanda Tuhan atau sistem yang berlaku di alam semesta, ia mengenal
Tuhan dengan mengusung argumen-argumen sederhana. Akan tetapi jika manusia
ingin mengenal lebih jauh, maka ia harus memanfaatkan pendahuluan-pendahuluan
yang murni akal (pure reason).
Bagaimanapun,
harus diperhatikan bahwa pertama, sesuai dengan riset laboratorium dan
produk-produk ilmu murni empirik menegaskan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat
dibuktikan juga tidak dapat ditetapkan. Hal itu dikarenakan tangan empirik
indrawi sangat pendek untuk dapat mencapai domain metafisika. Oleh karena itu,
pengenalan empirik semata tidak dapat menyelesaikan persoalan, melainkan harus
menggunakan pendahuluan-pendahuluan penalaran rasional. Kedua, kendati dalam
teks-teks Islami dianjurkan untuk menelaah ayat-ayat afaq.
Dengan demikian
penulis akan membahas tentang Sumber pengetahuan dan Empiris (pengalaman) Ilmu
Hudhuri.
Hakekat Pengetahuan Inderawi
Untuk binatang persepsi inderawi merupakan
puncak dari daya abstraksi yang dimilikinya. Kesan-kesan inderawi ditarik dari
kegiatan badani dimasa lampau dan diterapkan pada objek-objek yang dialaminya
sekarang. Dengan kata lain, kesan-kesan inderawi diabstrasikan dari pengalaman
dari objek yang telah lalu, kemudian diterapkan kepada objek yang hadir
sekarang. Objek-objek itu memberi kesan kepada penerimanya seakan-akan memang
begitu pada diri mereka sendiri.
Pertanyannya
ialah kesan- kesan, misalnya warna, suara, bau, rasa pada lidah, dan rasa pada
rabaan benar-benar merupakan kualifikasi bendanya? Jawaban terhadap pertanyaan
itu tidaklah sederhana. Tetapi sebagai awal dapat diberi jawaban: tergantung
dengan apa yang dimaksud dengan benar-benar dan kualifikasi. Sebab justru
disinilah letak nilai riskannya arti kata benar dan salah diterapkan kepada
persepsi inderawi.
Pertama,
perlu ditekankan bahwa kesan-kesan sebagai kualifikasi subyektif harus tidak
dilupakan. Kesan-kesan itu diwarisi sebagai penangkapan tertentu oleh subyek
melalui indera, dan kemudian diterapkan kepada objek sebagai kualifikasi
objektif.
Kedua,
adalah hubungan kebenaranan antara kesan dan kenyataan yang ditampilkan oleh
hubungan antara persepsi dan inderawi dengan objeknya, sebagaimana pada umumnya
binatang dari spesies tertentu akan bereaksi secara tertentu pula terhadap
rangsangan tertentu dari luar.[1]
Sumber
Pengetahuan
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan.
Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan
didapat. Dari situ timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh
pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita? Pengetahuan yang ada pada
kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber
pengetahuan tersebut. Pengetauan adalah apa yang kita cari.[2]
Dalam
hal ini ada beberapa sumber pengetehuan antara lain:
emperisme, rasionalisme,intuisme dan wahyu,
akan kami bahas.
a.
Emperisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos,
arinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui
pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata yunaninya, pengalaman yang
dimaksud adalah pengalaman inderawi.[3]
Emprikisme
Suatu pendekatan pada pengetahuan yang
berpegang atas pendirian bahwa apabila seseorang ingin mengetahui seperti
apakah alam semesta ini, jalan yang baik dan benar hanyalah melakukan tindakan
sedemikian rupa yaitu pergi mencari dirinya sendiri dengan mengumpulkan
fakta-fakta yang datang pada dirinya melalui akal pikiran dan inderanya. John
Locke pemuka aliran ini mengatakan bahwa doktrin pokok empirikisme adalah
seluruh pengetauan diangkat dari pengalaman.[4]
Empirisme adalah suatu cara atau metode dalam
filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui
pengalaman.[5]
Kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan
manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak, namun lewat
penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat panca indera.
b.
Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar
kepastian dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan
menangkap obyek.
c.
Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari
evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi
berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya.
Pengembangan
kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa
intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan
pengetahuan nisbi.
d.
Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh
Allah kepada manusia lewat pwrantaraan para nabi. Para nabi memperoleh
pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa berusaha payah, tanpa memerlukan
waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehhendak Tuhan
semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka
untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
Pengetahuan
dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang memebedakan
mereka manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa bahwa kebenaran
pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memang ada pada
saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang diluar
kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan
membenarkan semuanya yang berasal dari Nabi.
Wahyu
Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang
terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti
latar belakang dan tujuan penciptaan mausia, dunia, dan segenap isinya serta
kehidupan di akhirat nanti.[6]
Sedangkan
para filusuf Islam meyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan
yaitu:
1)
Alam Fisik
Tanpa indera, manusia tidak dapat mengetahui
alam realitas. Disebutkan bahwa barang siapa tidak mempunyai satu indra, maka
Ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan.
2)
Alam Akal
Kaum Rasionalis, selain alam tabi’at atau alam
fisik meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus
juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akallah yang sebenarnya
menjadi alat pengetahuan, sedangkan indera hanya membantu saja. Indera hanya
merekam atau memotret realita yang berkaitan dengannya, namun yang menyimpan
dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indera saja tanpa akal tidak ada
artinya. Tetapi tanpa indera pengetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak
ada.
Aktifitas-aktifitas akal antara lain adalah:
1)
Menarik kesimpulan.
2)
Mengetahui Konsep-konsep yang general.
3)
Pengelompokan wujud.
4)
Pemilahan dan Penguraian.
5)
Penggabungan dan penyusunan.
6) Kreatifitas.
3)
Analogi (Tamtsil)
Termasuk alat pengetahuan manusia adalah
analogi yang dalam terminologi fiqih disebut qiyas. Analogi ialah mentapkan
hokum atas sesuatu dengan hukum yang lain karena adanya kesamaan antara sesuatu
itu.
Analogi tersusun dari beberapa unsur:
(1) Asal, yaitu kasus parsial yang telah
diketahui hukumnya.
(2) Cabang, yaitu kasus parsial yang
hendakdiketahui hukumnya
(3) Titik
kesamaan antara asal dan cabang
(4) Hukum
yang sudah ditetapkan atas asal.
Analogi dibagi dua;
1) Analogi interperatif: Ketika sebuah kasus
yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui ‘illlatnya atau sebab
penetapannya.
2) Analogi yang dijelaskan ‘illatnya: Kasus
yang sudah jelas hukum dan ‘illatnya.[7]
Penjelasan Iluminatif Empiris
tentang Ilmu Penginderaan
Pencetus teori pengetahuan dengan
kehadiran (ilmu hudhuri), Syihab Al-Din Suhrawardi (549/1155-587/1191),
memberikan ilustrasi empiris yang sangat menarik mengenai pola khusus
pengetahuan dengan kehadiran. Dia mengatakan, “Salah satu hal yang menopang
pendapat kami bahwa kita memang mempunyai semacam kesadaran atau penginderaan
(idrakât) yang tidak perlu mengambil bentuk representasi (surah) yang lain dari
kehadiran realitas (dzat) sesuatu yang disadari (mudrak), adalah manakala orang
sedang mengalami rasa sakit karena teriris atau kerusakan pada salah satu organ
tubuhnya.
Ketika itu dia mempunyai perasaan tentang
kerusakan ini. Tetapi, perasaan atau kesadaran ini tidak pernah terjadi dengan
cara yang sedemikian rupa sehingga kerusakan ini meninggalkan bentuk
representasi dirinya dalam organ tubuh yang sama atau dalam organ lain di
sampang realitas dirinya. Yang disadari hanyalah kerusakan itu sendiri. Inilah
yang benar-benar bisa diindera dan bertanggung jawab atas rasa sakit itu, bukan
representasinya, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Ini membuktikan bahwa,
di antara hal-hal yang kita sadari, ada beberapa hal yang cukup disadari dengan
menerima realitas dan hakikatnya dalam pikiran atau dalam agen yang hadir dalam
pikiran.”
Dalam wacana ini kita bisa menemukan
dua hal yang langsung berkaitan dengan masalah yang dibicarakan, yaitu
instansiasi empiris pengetahuan dengan kehadiran.
Pertama adalah apa yang telah diindikasikan
oleh Suhrawardi dengan kata-katanya, “bahwa kita memang mempunyai beberapa
macam kesadaran yang tidak memerlukan suatu bentuk representasi.” Perantaraan
dan intervensi oleh representasi bagi tercapainya pengetahuan diperlukan dan
dilaksanakan oleh tindak intensional pikiran jika, dan hanya jika, realitas
obyek dari awalnya “absent” dari pikiran subyek. Inilah keadaannya ketika
sebuah obyek eksternal disadari. Tetapi, berkenaan dengan obyek-obyek yang
sudah hadir dalam pikiran, tampaknya absurd untuk “mempresentasikan” apa yang
“hadir” dalam sendirinya, ini lebih kurang seperti mengetahui sesuatu yang
telah diketahui.
Yang kedua merupakan argumen
utamanya, yakni analisis empiris tentang pengalaman rasa sakit. Dia seakan
mengajukan pertanyaan ini: Apa yang sebenarnya membuat kita menderita ketika
mengalami rasa sakit -karena luka pada jari kita, retak pada tulang kaki kita,
atau dalam bahasanya sendiri, karena representasi (surah) – data-inderawi dalam
istilah Russell- dari luka atau retakan itu? Dia yakin bahwa adalah absurd
untuk melemparkan kesalahan kepada data-inderawi atau representasi dan
kemunculan pengalaman rasa sakit, sementara realitas rasa sakit mutlak hadir
dalam pikiran atau dalam sebagian dari kausa mental subyek yang menderita, yang
semuanya hadir dalam pikiran itu. Adalah kenyataan fisiologis bahwa perasaan
seseorang akan luka di jarinya, misalnya, tak lain adalah pengenalannya dengan
luka pada jari itu sendiri, bukan dengan representasi atau data-inderawi
tentang luka tersebut. Sebuah luka pada jari saya jelas tidak sama dengan
goresan pada meja saya yang sedang saya lihat dan saya sentuh.
Dalam pengalaman itu, bisa dipahami
jika dikatakan bahwa di depan meja saya, saya memperoleh data-inderawi yang
membentuk penampakan meja saya warnanya,
bentuknya, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam “kehadiran” realitas suatu
retakan pada kaki saya, hampir tidak ada artinya mengatakan bahwa saya
berkenalan dengandata-inderawi yang membentuk penampakank aku saya yang patah;
warnanya, bentuknya, kekerasannya, kehalusannya dan sebagainya. Apakah ini
benar-benar menjelaskan rasa sakit saya? Tidak, pasti tidak. Tentu saja, saya
bisa melihat dan menyentuh kaki saya yang rusak dari luar dan mengenal
data-inderawi yang membentuk penampakan kaki saya, seperti yang dilakukan
dokter saya, tetapi pengenalan semacam ini tak sama dengan pengenalan saya
dengan rasa sakit itu sendiri. Itu adalah jenis pengenalan yang lain, yang
tidak menjadi pokok persoalan kita sekarang. Kita sedang berbicara tentang
pengenalan perasaan dan rasa sakit kita, bukan dengan data-inderawi kerusakan
kaki kita, yang berlaku sebagai obyek fisik eksternal dan termasuk dalam
pengetahuan dengan korespondensi.
Oleh karena itu,
berdasarkan pendekatan Suhrawardi, hanya bisa disimpulkan bahwa setelah
memberikan contoh empiris ini kita bisa mengatakan bahwa kita memang mempunyai
semacam kesadaran atau pengetahuan yang tidak diperoleh melalui representasi
atau data-inderawi apapun. Pengetahuan ini hanya terwujud melalui unifikasi
eksistensial yang dalam sistem para filosof di atas disebut sebagai “kehadiran”
(hudhur). Pengetahuan dengan kehadiran karenanya mesti dipahami per definisi
sebagai pengetahuan di mana realitas dan hakikat obyek yang diketahui hadir
dalam pikiran subyek yang mengetahui tanpa representasi atau data-inderawi atas
subyek tersebut.
Inilah arti
pengetahuan swaobyek (ilmu hudhuri). Bahasa jenis pengetahuan ini juga tak
lebih dan tak kurang merupakan bahasa “wujud” itu sendiri. Saya percaya bahwa
faktor yang menjustifikasi Wittgenstein mengembangkan permainan bahasa
(language game) tentang rasa sakit, yang berbeda dari permainan bahasa lainnya,
adalah pengakuannya yang tersirat terhadap persamaan antara “Saya mengetahui
bahwa saya sedang sakit” dan “Saya sedang sakit”. [8]
[1]
A.N. Whitehead, Jati Diri
Manusia Berdasar Filsafat Organisme (Yogyakarta:
Kanisius, 2002), 132.
[2] Linda Smith dan
William Raeper, Ide-ide filsafat dan
Agama, Dulu dan Sekarang (Yogyakarta:
Kanisius, 2004), 16.
[3] Amsal
Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 24.
[5] Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Referensi, 2012), 166.
[6] Ibid.,
Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 110.
[7] Ibid.,
Fautanu, Filsafat Ilmu, 55.
[8] Medi Ha’iri Yazdi, Menghadirkan Cahaya
Tuhan (Bandung: Mizan, 2003), 134.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon