iklan banner

Empiris Dalam Ilmu Hudhuri

Oleh: Endang Nurchamidah




Makrifat, pengenalan atau pengetahuan terbagi menjadi tiga antara lain, pengetahuan hushuli, atau pengetahuan hudhuri, dan pengetahuan syuhudi. Pengetahuan hushuli diperoleh melalui pahaman-pahaman pikiran dengan memperhatikan argumentasi-argumentasi rasional dan filosofis. Pengetahuan hudhuri adalah pengetahuan tanpa media untuk mencerap pahaman dan merupakan bentuk mental yang hadir di sisi pencerap. Pengetahuan hudhuri adalah tergolong sebagai salah satu pengetahuan irfani dan syuhudi dimana realitas luaran sesuatu tersaksikan oleh sang penyaksi.
Namun dalam pengenalan hushuli atau rasional yang digunakan adalah pendahuluan-pendahuluan indrawi dan empirik. Misalnya dengan jalan berpikir pada tanda-tanda Tuhan atau sistem yang berlaku di alam semesta, ia mengenal Tuhan dengan mengusung argumen-argumen sederhana. Akan tetapi jika manusia ingin mengenal lebih jauh, maka ia harus memanfaatkan pendahuluan-pendahuluan yang murni akal (pure reason).
Bagaimanapun, harus diperhatikan bahwa pertama, sesuai dengan riset laboratorium dan produk-produk ilmu murni empirik menegaskan bahwa keberadaan Tuhan tidak dapat dibuktikan juga tidak dapat ditetapkan. Hal itu dikarenakan tangan empirik indrawi sangat pendek untuk dapat mencapai domain metafisika. Oleh karena itu, pengenalan empirik semata tidak dapat menyelesaikan persoalan, melainkan harus menggunakan pendahuluan-pendahuluan penalaran rasional. Kedua, kendati dalam teks-teks Islami dianjurkan untuk menelaah ayat-ayat afaq.
Dengan demikian penulis akan membahas tentang Sumber pengetahuan dan Empiris (pengalaman) Ilmu Hudhuri.

Hakekat Pengetahuan Inderawi
Untuk binatang persepsi inderawi merupakan puncak dari daya abstraksi yang dimilikinya. Kesan-kesan inderawi ditarik dari kegiatan badani dimasa lampau dan diterapkan pada objek-objek yang dialaminya sekarang. Dengan kata lain, kesan-kesan inderawi diabstrasikan dari pengalaman dari objek yang telah lalu, kemudian diterapkan kepada objek yang hadir sekarang. Objek-objek itu memberi kesan kepada penerimanya seakan-akan memang begitu pada diri mereka sendiri.
            Pertanyannya ialah kesan- kesan, misalnya warna, suara, bau, rasa pada lidah, dan rasa pada rabaan benar-benar merupakan kualifikasi bendanya? Jawaban terhadap pertanyaan itu tidaklah sederhana. Tetapi sebagai awal dapat diberi jawaban: tergantung dengan apa yang dimaksud dengan benar-benar dan kualifikasi. Sebab justru disinilah letak nilai riskannya arti kata benar dan salah diterapkan kepada persepsi inderawi.
            Pertama, perlu ditekankan bahwa kesan-kesan sebagai kualifikasi subyektif harus tidak dilupakan. Kesan-kesan itu diwarisi sebagai penangkapan tertentu oleh subyek melalui indera, dan kemudian diterapkan kepada objek sebagai kualifikasi objektif.
            Kedua, adalah hubungan kebenaranan antara kesan dan kenyataan yang ditampilkan oleh hubungan antara persepsi dan inderawi dengan objeknya, sebagaimana pada umumnya binatang dari spesies tertentu akan bereaksi secara tertentu pula terhadap rangsangan tertentu dari luar.[1]

Sumber  Pengetahuan
Semua orang mengakui memiliki pengetahuan. Persoalannya dari mana pengetahuan itu diperoleh atau lewat apa pengetahuan didapat. Dari situ timbul pertanyaan bagaimana caranya kita memperoleh pengetahuan atau dari mana sumber pengetahuan kita? Pengetahuan yang ada pada kita diperoleh dengan menggunakan berbagai alat yang merupakan sumber pengetahuan tersebut. Pengetauan adalah apa yang kita cari.[2]
Dalam hal ini ada beberapa sumber pengetehuan antara lain:
emperisme, rasionalisme,intuisme dan wahyu, akan  kami bahas.
a.       Emperisme
Kata ini berasal dari kata Yunani empeirikos, arinya pengalaman. Menurut aliran ini manusia memperoleh pengetahuan melalui pengalamannya. Dan bila dikembalikan kepada kata yunaninya, pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman inderawi.[3]
Emprikisme
Suatu pendekatan pada pengetahuan yang berpegang atas pendirian bahwa apabila seseorang ingin mengetahui seperti apakah alam semesta ini, jalan yang baik dan benar hanyalah melakukan tindakan sedemikian rupa yaitu pergi mencari dirinya sendiri dengan mengumpulkan fakta-fakta yang datang pada dirinya melalui akal pikiran dan inderanya. John Locke pemuka aliran ini mengatakan bahwa doktrin pokok empirikisme adalah seluruh pengetauan diangkat dari pengalaman.[4]  
Empirisme adalah suatu cara atau metode dalam filsafat yang mendasarkan cara memperoleh pengetahuan dengan melalui pengalaman.[5]
Kaum empiris berpendapat bahwa pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran yang abstrak, namun lewat penalaran yang konkret dan dapat dinyatakan lewat panca indera.
b.      Rasionalisme
Aliran ini menyatakan bahwa akal adalah dasar kepastian dengan akal. Manusia memperoleh pengetahuan melalui kegiatan menangkap obyek.
c.       Intuisi
Menurut Henry Bergson intuisi adalah hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi. Kemampuan ini mirip dengan insting, tetapi berbeda dengan kesadaran dan kebebasannya.
Pengembangan  kemampuan ini (intuisi) memerlukan suatu usaha. Ia juga mengatakan bahwa intuisi adalah suatu pengetahuan yang langsung, yang mutlak dan bukan pengetahuan nisbi.
d.      Wahyu
Wahyu adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah kepada manusia lewat pwrantaraan para nabi. Para nabi memperoleh pengetahuan dari Tuhan tanpa upaya, tanpa berusaha payah, tanpa memerlukan waktu untuk memperolehnya. Pengetahuan mereka terjadi atas kehhendak Tuhan semesta. Tuhan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya pula jiwa mereka untuk memperoleh kebenaran dengan jalan wahyu.
            Pengetahuan dengan jalan ini merupakan kekhususan para nabi. Hal inilah yang memebedakan mereka manusia-manusia lainnya. Akal meyakinkan bahwa bahwa kebenaran pengetahuan mereka berasal dari Tuhan, karena pengetahuan itu memang ada pada saat manusia biasa tidak mampu mengusahakannya, karena hal itu memang diluar kemampuan manusia. Bagi manusia tidak ada jalan lain kecuali menerima dan membenarkan semuanya yang berasal dari Nabi.
            Wahyu Allah (agama) berisikan pengetahuan, baik mengenai kehidupan seseorang yang terjangkau oleh pengalaman, maupun yang mencakup masalah transedental, seperti latar belakang dan tujuan penciptaan mausia, dunia, dan segenap isinya serta kehidupan di akhirat nanti.[6]
Sedangkan para filusuf Islam meyebutkan beberapa sumber dan sekaligus alat pengetahuan yaitu:
1)      Alam Fisik
Tanpa indera, manusia tidak dapat mengetahui alam realitas. Disebutkan bahwa barang siapa tidak mempunyai satu indra, maka Ia tidak akan mengetahui sejumlah pengetahuan.
2)      Alam Akal
Kaum Rasionalis, selain alam tabi’at atau alam fisik meyakini bahwa akal merupakan sumber pengetahuan yang kedua dan sekaligus juga sebagai alat pengetahuan. Mereka menganggap akallah yang sebenarnya menjadi alat pengetahuan, sedangkan indera hanya membantu saja. Indera hanya merekam atau memotret realita yang berkaitan dengannya, namun yang menyimpan dan mengolah adalah akal. Karena kata mereka, indera saja tanpa akal tidak ada artinya. Tetapi tanpa indera pengetahuan akal hanya tidak sempurna, bukan tidak ada.
            Aktifitas-aktifitas akal antara lain adalah:
            1) Menarik kesimpulan.
            2) Mengetahui Konsep-konsep yang general.
            3) Pengelompokan wujud.
            4) Pemilahan dan Penguraian.
            5) Penggabungan dan penyusunan.
6) Kreatifitas. 
3)      Analogi (Tamtsil)
Termasuk alat pengetahuan manusia adalah analogi yang dalam terminologi fiqih disebut qiyas. Analogi ialah mentapkan hokum atas sesuatu dengan hukum yang lain karena adanya kesamaan antara sesuatu itu.
Analogi tersusun dari beberapa unsur:
(1) Asal, yaitu kasus parsial yang telah diketahui hukumnya.
(2) Cabang, yaitu kasus parsial yang hendakdiketahui hukumnya
 (3) Titik kesamaan antara asal dan cabang
 (4) Hukum yang sudah ditetapkan atas asal.
Analogi dibagi dua;
1) Analogi interperatif: Ketika sebuah kasus yang sudah jelas hukumnya, namun tidak diketahui ‘illlatnya atau sebab penetapannya.
2) Analogi yang dijelaskan ‘illatnya: Kasus yang sudah jelas hukum dan ‘illatnya.[7]
Penjelasan Iluminatif Empiris tentang Ilmu Penginderaan
Pencetus teori pengetahuan dengan kehadiran (ilmu hudhuri), Syihab Al-Din Suhrawardi (549/1155-587/1191), memberikan ilustrasi empiris yang sangat menarik mengenai pola khusus pengetahuan dengan kehadiran. Dia mengatakan, “Salah satu hal yang menopang pendapat kami bahwa kita memang mempunyai semacam kesadaran atau penginderaan (idrakât) yang tidak perlu mengambil bentuk representasi (surah) yang lain dari kehadiran realitas (dzat) sesuatu yang disadari (mudrak), adalah manakala orang sedang mengalami rasa sakit karena teriris atau kerusakan pada salah satu organ tubuhnya.
 Ketika itu dia mempunyai perasaan tentang kerusakan ini. Tetapi, perasaan atau kesadaran ini tidak pernah terjadi dengan cara yang sedemikian rupa sehingga kerusakan ini meninggalkan bentuk representasi dirinya dalam organ tubuh yang sama atau dalam organ lain di sampang realitas dirinya. Yang disadari hanyalah kerusakan itu sendiri. Inilah yang benar-benar bisa diindera dan bertanggung jawab atas rasa sakit itu, bukan representasinya, yang disebabkan oleh dirinya sendiri. Ini membuktikan bahwa, di antara hal-hal yang kita sadari, ada beberapa hal yang cukup disadari dengan menerima realitas dan hakikatnya dalam pikiran atau dalam agen yang hadir dalam pikiran.”


Dalam wacana ini kita bisa menemukan dua hal yang langsung berkaitan dengan masalah yang dibicarakan, yaitu instansiasi empiris pengetahuan dengan kehadiran.
 Pertama adalah apa yang telah diindikasikan oleh Suhrawardi dengan kata-katanya, “bahwa kita memang mempunyai beberapa macam kesadaran yang tidak memerlukan suatu bentuk representasi.” Perantaraan dan intervensi oleh representasi bagi tercapainya pengetahuan diperlukan dan dilaksanakan oleh tindak intensional pikiran jika, dan hanya jika, realitas obyek dari awalnya “absent” dari pikiran subyek. Inilah keadaannya ketika sebuah obyek eksternal disadari. Tetapi, berkenaan dengan obyek-obyek yang sudah hadir dalam pikiran, tampaknya absurd untuk “mempresentasikan” apa yang “hadir” dalam sendirinya, ini lebih kurang seperti mengetahui sesuatu yang telah diketahui.
Yang kedua merupakan argumen utamanya, yakni analisis empiris tentang pengalaman rasa sakit. Dia seakan mengajukan pertanyaan ini: Apa yang sebenarnya membuat kita menderita ketika mengalami rasa sakit -karena luka pada jari kita, retak pada tulang kaki kita, atau dalam bahasanya sendiri, karena representasi (surah) – data-inderawi dalam istilah Russell- dari luka atau retakan itu? Dia yakin bahwa adalah absurd untuk melemparkan kesalahan kepada data-inderawi atau representasi dan kemunculan pengalaman rasa sakit, sementara realitas rasa sakit mutlak hadir dalam pikiran atau dalam sebagian dari kausa mental subyek yang menderita, yang semuanya hadir dalam pikiran itu. Adalah kenyataan fisiologis bahwa perasaan seseorang akan luka di jarinya, misalnya, tak lain adalah pengenalannya dengan luka pada jari itu sendiri, bukan dengan representasi atau data-inderawi tentang luka tersebut. Sebuah luka pada jari saya jelas tidak sama dengan goresan pada meja saya yang sedang saya lihat dan saya sentuh.
Dalam pengalaman itu, bisa dipahami jika dikatakan bahwa di depan meja saya, saya memperoleh data-inderawi yang membentuk penampakan meja saya    warnanya, bentuknya, dan sebagainya. Akan tetapi, dalam “kehadiran” realitas suatu retakan pada kaki saya, hampir tidak ada artinya mengatakan bahwa saya berkenalan dengandata-inderawi yang membentuk penampakank aku saya yang patah; warnanya, bentuknya, kekerasannya, kehalusannya dan sebagainya. Apakah ini benar-benar menjelaskan rasa sakit saya? Tidak, pasti tidak. Tentu saja, saya bisa melihat dan menyentuh kaki saya yang rusak dari luar dan mengenal data-inderawi yang membentuk penampakan kaki saya, seperti yang dilakukan dokter saya, tetapi pengenalan semacam ini tak sama dengan pengenalan saya dengan rasa sakit itu sendiri. Itu adalah jenis pengenalan yang lain, yang tidak menjadi pokok persoalan kita sekarang. Kita sedang berbicara tentang pengenalan perasaan dan rasa sakit kita, bukan dengan data-inderawi kerusakan kaki kita, yang berlaku sebagai obyek fisik eksternal dan termasuk dalam pengetahuan dengan korespondensi.
Oleh karena itu, berdasarkan pendekatan Suhrawardi, hanya bisa disimpulkan bahwa setelah memberikan contoh empiris ini kita bisa mengatakan bahwa kita memang mempunyai semacam kesadaran atau pengetahuan yang tidak diperoleh melalui representasi atau data-inderawi apapun. Pengetahuan ini hanya terwujud melalui unifikasi eksistensial yang dalam sistem para filosof di atas disebut sebagai “kehadiran” (hudhur). Pengetahuan dengan kehadiran karenanya mesti dipahami per definisi sebagai pengetahuan di mana realitas dan hakikat obyek yang diketahui hadir dalam pikiran subyek yang mengetahui tanpa representasi atau data-inderawi atas subyek tersebut.
Inilah arti pengetahuan swaobyek (ilmu hudhuri). Bahasa jenis pengetahuan ini juga tak lebih dan tak kurang merupakan bahasa “wujud” itu sendiri. Saya percaya bahwa faktor yang menjustifikasi Wittgenstein mengembangkan permainan bahasa (language game) tentang rasa sakit, yang berbeda dari permainan bahasa lainnya, adalah pengakuannya yang tersirat terhadap persamaan antara “Saya mengetahui bahwa saya sedang sakit” dan “Saya sedang sakit”. [8]


[1]  A.N. Whitehead,  Jati Diri Manusia Berdasar Filsafat Organisme  (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 132.
[2]  Linda Smith dan William Raeper,  Ide-ide filsafat dan Agama, Dulu dan Sekarang  (Yogyakarta: Kanisius, 2004), 16.


[3] Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu (Jakarta: Rajawali Pers,  2012), 24.
[4]  Sjamsul Arifin, Mini Cyclopedia (Surabaya: Bina Ilmu, 1989), 59.
[5] Idzam Fautanu,  Filsafat Ilmu,  (Jakarta:  Referensi,  2012), 166.
[6] Ibid., Bakhtiar, Filsafat Ilmu, 110.
[7] Ibid., Fautanu,  Filsafat Ilmu,  55.
[8]  Medi Ha’iri Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan (Bandung: Mizan, 2003), 134.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment