PERADABAN
DINASTI FATIMIYAH
A.
Pendahuluan
Fatimiyah
merupakan Dinasti Syi’ah Isma’iliyah yang pendirinya adalah Ubaidillah al-
Mahdi yang datang dari Syiria ke Afrika Utara yang menisbahkan nasabnya sampai
ke Fatimah putri Rasulullah dan isteri Khalifah keempat Ali bin Abi Thalib.
Karena itu menamakan Dinasti Fatimiyah (Hoeve, 1994: 8). Namun kalangan Sunni
mengatakan Ubaidiyun. Konsep yang digunakan adalah Syi’ah radikal Isma’iliyah
dengan doktrin- doktrinnya yang berdimensi politik, agama, filsafat, dan
sosial. Serta para pengikutnya mengharapkan kemunculan al–Mahdy Ubaidillah
dengan dukungan kaum Barbar, pertama dapat mengalahkan Gubernur- Gubernur
Aghlabiyah di Ifriqia, Rustinia Khoriji di Tahar dan menjadikan Idrisiyah Fez
sebagai bawahannya, saat pemerintah pertama kali ialah di al-Mahdiyah sekitar
Qairawan yang kemudian Fatimiyah mengembangkan sayapnya ke daerah sekitarnya
serta menduduki Mesir yang kemudian mendirikan kota baru yang diberi nama Kairo
al-Qohirah “yang berjaya” atas prakarsa jenderal Jauhar Alsigili.
Dalam
bersaing dengan pemerintahan Abbasiyah, Fatimiyah memindahkan ibukotanya dari
al-Mahdi ke Kairo. Dan Juga memberi gelar kepada Khalifah-Khalifah Fatimiyah
sebagai Khalifah sejati. Begitu juga dia menyebarkan dai-dainya keluar Mesir yang
mereka itu lulusan dari Universitas al-Azhar. Pada masa pemerintahan Fatimiyah
timbul perang Salib dan muncul gerakan-gerakan Syi’ah yang ekstrim yang disebut
Druze yang dipimpin oleh Darazi (Bosworth, 1993: 71).
B.
Sejarah Munculnya Dinasti Fatimiyah
Mengungkap
tentang sejarah munculnya dinasti Fatimiyah yang beraliran Syi’ah Isma’iliyah,
tidak akan terlepas dari gerakan-gerakan Syi’ah yang muncul sebelumnya. Gerakan
Syi’ah Isma’iliyah ini muncul sejak berdirinya pemerintahan Abbasiyah dengan
menggunakan dua model gerakan:
1.
Gerakan militan (sembunyi-sembunyi)
Gerakan militan ini dipelopori oleh Abdullah ibn Syi’i
dengan berusaha mendekati jama’ah haji yang berasal dari Tunisia, khususnya
suku Kitamah dan berusaha memasukkan propaganda ajaran Isma’iliyah. Dia
kemudian berhasil mempengaruhi para jama’ah haji tersebut sehingga dia ikut
pulang ke Tunisia.
2.
Gerakan frontal (terang-terangan)
Sukses gemilang yang diraih oleh Abdullah al-Syi’i di wilayah Tunisia, mendorongnya
melakukan perlawanan terhadap dinasti Aghlabiah. Kemudian pada tahun 909 M.,
dia memproklamirkan Sa’id ibn al-Husain sebagai khalifah dengan gelar al-imam
Ubaidillah al-Mahdi dengan Raqadah sebagai pusat ibu kota.[1]
Dengan
demikian, Dinasti Fatimiyah berdiri di Tunisia (Afrika Utara) pada tahun 909 M
dibawah pimpin Sa’id ibn al-Husain setelah mengalahkan
dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Terbentuknya dinasti Fatimiyah pada saat itu
menyebabkan Islam di bawah tiga penguasa yaitu: khalifah Abbasiyah di Bagdad,
khalifah Umayyah di Cordova dan khalifah Fatimiyah di al-Mahdiah.[2]
Selama
berkuasa dari tahun 909 M. hingga tahun 934 M, Ubaidillah membuktikan dirinya
sebagai penguasa yang mampu dan berbakat. Dua tahun pasca menjadi penguasa
tertinggi, dia membunuh panglima dakwahnya yaitu Abdullah al-Syi’i. Setelah
itu, dia memperluas kekuasannya sampai hampir
meliputi seluruh wilayah Afrika, mulai dari Maroko yang dikuasai Idrisiyah
hingga perbatasan Mesir. Pada tahun 914, dia berhasil menguasai Iskandariyah,
dua tahun berikutnya Delta berada dalam kekuasaannya. Kemudian dia mengirimkan
seorang gubernur Baru dari suku Kitamah ke Sisilia dan menjalin pertemanan
dengan pemberontak Ibn Hafshun di Spanyol. Malta, Sardinia, Corsica, Balearic
dan pulau-pulau lainnya pernah merasakan kedahsyatan armada yang diwarisi dari
dinasti Aghlabiah.[3]
Pasca
wafatnya Ubaidillah, pemerintahan diambil alih oleh puteranya yaitu Abu
al-Qasim Muhammad al-Qaim yang berkuasa dari tahun 934 M. hingga 946 M.
kebijakannya lebih difokuskan pada upaya penyerbuan dan perluasan wilayah
kekuasaan. Oleh karena itu, pada tahun 935, dia mengirim armada untuk menyerbu pantai utara Prancis, menguasai
Genoa dan sepanjang pesisir Calabria dan berusaha menaklukkan Mesir akan tetapi
tidak berhasil.[4]
Kemudian dilanjutkan oleh puteranya al-Manshur pada tahun 946-952
M.
Penaklukkan
Mesir berhasil dilakukan oleh cucu al-Qaim yaitu Abu Tamim Ma’ad al-Mu’iz yang berkuasa pada tahun 952-975 M. Penyerbuan
ke Mesir itu dilakukan dengan dalih untuk melindungi kaum Syi’ah yang di sana
dengan mengirimkan seorang panglima Jendaral Jawhar al-S}iqilli>
berkebangsaan Sisilia atau Yunani, sekaligus untuk merebut kekuasaan dari
tangan gubernur Abbasiyah Abu> al-Khawa>rij pada tahun 969 M.[5]
Sejak
kemenangannya atas ibu kota Fusthat pada tahun 969, Jawhar kemudian mendirikan
Masjid Agung al-Azhar yang dikemudian
hari berkembang menjadi universitas dan membuat markas baru dengan nama
al-Qahirah. Sejak 973 M., kota ini kemudian menjadi pusat kota dinasti
Fatimiyah. Pada tahun yang sama (969 M.), setelah merasa kedudukannya di Mesir
kokoh, Jawhar melirik negara tetangganya Suriah dan berhasil menaklukkan kota
Damaskus.
Untuk mengetahui sekilas
tentang dinasti Fatimiyah, berikut adalah para khalifah
dinasti Fatimiyah:
1.
Khalifah Ubaidilah Al-Mahdi (909-934), pendiri Dinasti Fatimiyah.
2.
Abdul al-Qasim Muhammad al-Qa'im bi Amr Allah bin al-Mahdi Ubaidillah
(934-946).
3.
Isma'il al-Mansur bi-llah (946-952).
4.
Abu Tamim Ma'add al-Mu'iz li-Din Allah (952 M - 975) M. Mesir ditaklukkan
semasa pemerintahannya.
5.
Abu Mansur Nizar al-'Aziz bi-llah (975 M - 996 M).
6.
Abu 'Ali al-Mansur
al-Hakim bi-Amr Allah (996M - 1021 M).
7. Abu'l-Hasan 'Ali al-Zahir
li-I'zaz Din Allah (1021 M - 1036 M).
8. Abu Tamim Ma'add al-Mustanshir
bi-llah (1036 M - 1094 M).
9. Al-Musta'li bi-Allah (1094
M-1101 M). Pertikaian atas suksesinya menimbulkan perpecahan Nizari.
10. Al-Amir bi Ahkam Allah
(1101 M - 1130 M). Penguasa Fatimiyah di Mesir setelah tak diakui sebagai Imam
oleh tokoh Ismailiyah Mustaali Taiyabi.
11. Abd al-Majid (1130 M -
1149 M).
12. Al-Wafir (1149 M - 1154
M).
13. Al-Fa'iz (1154 M - 1160
M).
14. Al-'Adid (1160 M - 1171
M). Setelah jatuhnya Al-`Adid, kekuasaan Dinasti Fatimiyah selama 200 tahun
lebih berakhir.[6]
C. Kejayaan Dinasti Fatimiyah
Kejayaan dinasti Fatimiyah
dimulai saat al-Muiz pindah dari ibu kota al-Mahdiyah ke al-Qahirah
(Kairo). Dan puncak kejayaannya dicapai pada masa pemerintahan Abu al-Manshur
Nizar al-Aziz (975-996) di mana kerajaan diliputi dengan kedamaian dan nama
al-Aziz diagungkan dalam setiap khutbah jum’at sepanjang wilayah kekuasaannya.[7]
Al-Aziz
berhasil menempatkan dinasti Fatimiyah sebagai negara Islam terbesar di kawasan
Mediterania Timur, bahkan berhasil menenggelamkan famor penguasa Bagdad.
Al-Aziz rela menghabiskan dua juta dinar untuk membangun istana yang tidak
kalah megah dari istana Abbasiyah, Al-Aziz menjadi penguasa Fatimiyah yang
bijaksana dan paling murah hati.[8]
Salah
satu bukti kemakmuran dan kejayaan dinasti Fatimiyah adalah pekerja istana
kerajaan pada saat itu berjumlah 12.000 orang pelayan, 10.000 pengurus kuda dan
8.000 pengurus yang lain. Kedamaian pada saat itu tergambar dengan tidak
terkuncinya toko perhiasan dan toko money changer . bahkan khalifah
al-Aziz memiliki 20.000 rumah di ibu kota yang dibangun menggunakan batu bata
dengan ketinggian lima atau enam lantai.
Untuk
melihat dan mengukur kejayaan dinasti Fatimiyah yang telah berkuasa selama 262
tahun, berikut adalah beberapa kontribusi mereka terhadap dunia Islam secara
khusus dan seluruh dunia secara umum:
1.
Agama
Dalam bidang
agama, dinasti Fatimiyah memberlakukan ajaran-ajaran Syiah dengan menganggap
bahwa para imam itu bersih dari dosa dan kesalahan, memberikan toleransi yang
tak terbatas kepada umat Kristen yang tidak pernah dirasakan oleh mereka
sebelumnya.[9]
2.
Pendidikan
Pada masa khalifah al-Aziz (976-996 M.), masjid al-Azhar ditingkatkan fungsinya dari
tempat ibadah semata menjadi universitas. Dan pada masa khalifah al-Hakim bi
Amrillah (996-1021 M.), didirikanlah sebuah akademi yang diberi nama dar
al-hikmah (kampung kebijaksanaan) yang sederajat dengan lembaga-lembaga
ilmu pengetahuan di Cordova, Baghdad dan lain-lain.
Di samping itu,
dinasti Fatimiyah juga mendirikan observatorium di bukit al-Mukattam untuk
mempelajari astronomi, astrologi, kedokteran, kimia dan sejenisnya.[10]
Ilmuan-ilmuan yang terkenal pada masa itu antara lain Ali ibn Yunus, salah
seorang astronom yang memperbaharui kalender, Abu Ali al-Hasan ibn al-Hasyim
yang telah menulis 100 buah buku dimana salah satu karya monumentalnya adalah al-Manaz.[11]
1.
Politik
Sistem
pemerintahan Fatimiyah bernadakan teokrasi karena menganggap jabatan khalifah
ditentukan oleh nash atau wasiat Nabi kepada Ali di Gadir Khummah. Hal itu
diperkuat dengan penamaan-penamaan
khalifahnya seperti al-Muiz lidillah, al-Mustansir billah dll. Namun jika
melihat bahwa khalifah merupakan penunjukkan langsung maka disebut juga monarki
bahkan bisa disebut monarki absolut.[12]
Khalifah kemudian membawahi beberapa menteri yang direkrut dari orang yang
mampu dan memiliki kecakapan tanpa memandang sekte, suku bahkan agama.
2.
Militer
Peninggalan
dinasti Fatimiyah dalam peradaban Islam keberadaan tentara bayaran sebagai penopang utama sebuah pemerintahan. Hal itu
terjadi karena dinasti Fatimiyah penganut Syiah Ismailiyah yang pada saat itu
merupakan kelompok minoritas. Tentara bayaran tersebut direkrut dari resimen
kulit hitam atau Zawila yang dibeli dari pasar budak di Afrika dan dari orang
Eropa Sakalaba atau yang kerap dipanggil dengan sebutan Bangsa Slav yang
menjadi bangsa termiskin di Eropa Timur.[13]
3.
Ekonomi
Untuk
meningkatkan ekonomi, dinasti Fatimiyah membuat jalan terusan, jembatan sebagai
lintas hasil pertanian agar pendapatan negara dari sektor pajak bisa
ditingkatkan, menambah aturan baru tentang perindustrian dengan membatasi para
industriawan dari hidup bermewah-mewahan. Satuan uang di Mesir digunakan dinar
dengan kurs dirham yang ditentukan. Hal itu dilakukan untuk melindungi para
pedagang kecil dari kesewenang-wenangan pedagang besar yang menggunakan dinar
sebagai kurs.[14]
Sementara
pendapatan Negara diperoleh dari pertanian, perdagangan dan bea cukai karena
Mesir pada saat menjadi jalur penghubung antara Afrika Asia dan Eropa dan
menjadi tempat pertukaran berbagai komoditas antara Eropa dan Asia.[15]
4.
Kebudayaan dan Peradaban
Salah satu
warisan dinasti Fatimiyah yang eksis hingga saat ini adalah kota Cairo yang
dibangun oleh Panglima Jawhar al-Katib As-Siqilli pada tahun 969. Pada tahun
975-1075 M, Fustat merupakan ibu kota Mesir dan menjadi pusat produksi keramik
dan karya seni Islami - sekaligus salah satu kota terkaya di dunia. Ketika
Dinasti Umayyah digulingkan dinasti Abbasiyah pada 750 M, pusat pemerintahan
Islam di Mesir dipindahkan ke Al-Askar - basis pendukung Abbasiyah dan bertahan
hingga tahun 868 M.
5.
Seni
Periode
Fatimiyah juga dikenal dengan keindahan produk tekstilnya, sedangkan produk
tenunan yang berkembang saat itu produk khas bangsa yang bergaya koptik Mesir,
kemudian dipengaruhi oleh gaya Iran dan Sasaniyah, seni keramik mengikuti
pola-pola Iran dan seni penjilidan buku yang begitu indah dan menjadi
penjilidan paling pertama dalam dunia Islam.[16]
6.
Arsitektur
Salah satu
bukti yang paling kuat adalah berdirinya Masjid al-Azhar yang dibangun oleh
Jendral Jawhar pada 972 M. Gaya arsitektur masjid al-Azhar merupakan
penggabungan gaya masjid Ibnu Tulun di Mesir dan gaya Persia dengan menara yang
menjadi ciri khas Irak Utara.
D.
Kemunduran Dinasti Fatimiyah
Setelah hampir 50 tahun
menapaki sejarah keemasannya sejak masa pemerintahan Al-Mu’iz, dinasti ini
mulai menurun setelah berakhirnya masa pemerintahan Al-Aziz. Tindakan-tindakan
kejam dari al-Hakim (996-1021) yang sangat belia (11 tahun) menjadi titik awal
kegoncangan dalam dinasti Fatimiyah. Toleransi yang dijunjung sebelumnya
dinafikan oleh al-Hakim, aturan-aturan yang merugikan non-Islam diberlakukan
sehingga mulailah timbul ketidaksenangan. Namun pada saat al-Zhahir (1021-1035)
naik tahta, dia membangun kembali kuburan suci sehingga namanya disebutkan di
Masjid-masjid kekuasaan Konstantin VIII.[17]
Pada masa pemerintahan
al-Mustanshir (1035-1094), penguasa terlama dalam dunia Islam yang diangkat
pada usia 11 tahun, wilayah yang berada di bawah kekuasaan Fatimiyah mulai
melepaskan diri seperti Suriah, Palestina dan kota-kota di Afrika. Banu Saljuk
dari Turki membayang-bayangi kekuasaannya, Banu Hilal dan Banu Sulaim dari
Nejed memberontak dan bangsa Normandia meronrong di pedalaman Afrika.[18]
Pasca al-Mustanshir,
dinasti Fatimiyah terus-menerus dirundung pertikaian, baik eksternal maupun
internal, kehidupan masyarakat yang sangat sulit, sumber kehidupan tinggal
aliran sunagi Nil, kelaparan dan wabah penyakit yang sering terjadi, akhirnya
berimplikasi pada pajak yang tinggi dan pemerasan. Puncaknya terjadi pada saat
terjadi perang salib dan Shalahuddin al-Ayyubi merebut
dinasti tersebut. Dia tidak lagi mengangkat khalifah dari Fatimiyah, tapi
menjadikan wilayah Mesir kembali sebagai bagian dari wilayah kekuasaan
Abbasiyah Baghdad dengan status keamiran. Adapun dinasti keamirannya kemudian
dikenal dengan dinasti al-Ayyubiyah.[19]
Ada beberapa faktor yang
menjadi penyebabnya. Antara lain:
1.
Perilaku al-Hakim (pengganti al-Aziz) yang kejam menjadi awal kemunduran
dinasti Fatimiyah. Al-Hakim membunuh beberapa wazir, menghancurkan beberapa
gereja, menghancurkan kuburan suci umat Kristen (1009 M.), menetapkan aturan
ketat terhadap non-Islam dengan menjadikan Islam eksklusif dari agama lain
seperti pakaian dan identitas agama.[20]
2.
Konflik internal antar para elitnya yang cukup dahsyat dan berkepanjangan.
Koflik internal dalam pemerintahan Fatimiyah muncul dikarenakan hampir semua
khalifahnya, setelah wafatnya Al-Aziz, naik tahta ketika masih dalam usia
sangat mudah bahkan kanak-kanak, misalnya, Al-Hakim naik
tahta pada usia 11 tahun, al-Zhahir berusia 16 tahun, Al-Mustansir naik tahta
usia 11 tahun, Al-Amir usia 5 tahun, Al-Faiz usia 4 tahun, dan Al-Adid usia 9
tahun. Akhirnya, jabatan wazir yang mulai dibentuk pada masa khalifah Al-Aziz
bertindak sebagai pelaksana pemerintahan. Kedudukan al-wazir menjadi begitu
penting, berpengaruh dan menjadi ajang perebutan serta ladang konflik.[21]
3. Keberadaan tiga bangsa
besar yang sama-sama mempunyai pengaruh dan menjadi pendukung utama kekuasaan
Fatimiyah, yaitu bangsa Arab, bangsa Barbar dari Afrika Utara dan bangsa Turki.
Di saat khalifah mempunyai pengaruh kuat, ketiga bangsa itu dapat
diintegrasikan menjadi kekuatan yang dahsyat. Akan tetapi, ketika khalifahnya
lemah, maka konflik ketiga bangsa itupun menjadi dahsyat untuk saling berebut
pengaruh dan kekuasaan. Kondisi terakhir itulah yang terjadi pasca berakhirnya
masa pemerintahan Al-Aziz.
4. Faktor eksternal juga ikut
mempercepat kehancuran dinasti Fatimiyah seperti ronrongan bangsa Normandia,
Banu Saljuk dari Turki dan Banu Hilal dan Banu Sulaim
dari Nejed yang menguasai sedikit demi sedikit terhadap wilayah kekuasan
Fatimiyah.
5. Realita bahwa meski
dinasti Fatimiyah telah berkuasa di Mesir hampir 200 tahun, ternyata secara
ideologis belum berhasil membumikan doktrin ideologi Syi’ah Ismailiyah.
Masyarakat Muslim di Mesir teryata masih tetap setia kepada ideologi Sunni.
Oleh karena itu, ketika dinasti Fatimiyah berada di ambang kehancurannya,
masyarakat Muslim Mesir bukannya berusaha membantu, tapi justru berusaha
mempercepat kehancurannya.
6. Pukulan menentukan dari
kehancuran Fatimiyah terjadi pada masa pemerintahan khalifah Al-Adid
Lidinillah. Pada saat itu, wilayah kekuasaan dinasti Fatimiyah menjadi ajang
perebutan antara Nuruddin Zinki sebagai wakil dinasti Abbasiyah yang ada di
Syiria dan pasukan Salib yang ada di Yerusalem pimpinan Raja Almeric. Pada
tahun 1169 M, pasukan Nuruddin Zinki yang dipimpin panglima besar Shalahuddin
al-Ayyubi dapat mengusir pasukan Salib dari Mesir dan menaklukkan kekuasaan
wazir dari khalifah al-‘Adid. Setelah khalifah al-‘Adid wafat pada tahun 1171.
E.
Kesimpulan
Berdasarkan
pemaparan-pemaparan sebelumnya dalam pembahasan, dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut:
1.
Sejarah kemunculan dinasti Fatimiyah tidak
terlepas dari gerakan-gerakan militan dan prontal yang dilakukan
oleh Syi’ah Ismailiyah yang dipimpin oleh Abdullah ibn Syi’i dengan terampil
dan terorganisir. Pada tahun 909, gerakan tersebut berhasil mendirikan dinasti
Fatimiyah di Tunisia (Afrika Utara) dibawah pimpinan Sa’id ibn al-Husain
setelah mengalahkan dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dinasti Fatimiyah merasakan
tiga ibu kota yaitu Raqadah, al-Mahdiyah dan Kairo dibawah 14 khalifah
selama 262 tahun yaitu sejak tahun 909 hingga 1171.
2.
Kejayaan dinasti Fatimiyah dimulai sejak
pindahnya pemerintahan dari Abu Tamim Ma'add al-Mu'iz
li-Din Allah (952 M - 975) M. dan mencapai puncaknya pada masa pemerintahan
Abu al-Manshur Nizar al-Aziz (975-996). Kejayaan itu dapat dilihat dalam bidang
agama dengan toleransi yang tinggi, pendidikan dengan pembangunan universitas
dan perpustakaan, politik dengan system teokrasi dan monarki akan tetapi
demokrasi di bawah level khalifah, militer dengan pasukan bayaran, ekonomi
dengan infrastruktur, aturan yang adil dan menjadi jalur internasional,
kebudayaan dan peradaban dengan kota Kairo sebagai bukti, arsitektur dengan
masjid al-Azhar dan kesenian dengan produk tekstil, tenunan, keramik dan
penjilidan.
3.
Kemunduran dinasti Fatimiyah dimulai dari masa
pemerintahan al-Hakim ((996-1021) yang membuat
kebijakan kontroversial dalam bidang agama dan terus merosot pasca pemerintahan
al-Zhahir ((1021-1035) dan musnah pada
masa al-Adid (1160 M - 1171 M), kemunduran itu
karena faktor eksternal berupa rongrongan dari penguasa luar dan rongrongan
internal, perilaku al-Hakim yang kontroversi, khalifah yang masih belia, dan
ajaran Syi’ah Ismailiyah yang belum sepenuhnya diterima masyarakat Mesir yang
ditandai dengan kembalinya masyarakat Mesir ke ajaran sunnah bersamaan ketika
Shalahuddin al-Ayyubi bersama pasukannya mengendalikan Mesir setelah
mengalahkan pasukan salib.
F.
Bibiografi
Adawi, Ibrahim
Ahmad. Tarikh al-‘Alam al-Islmi. Diktat al-Ma’had al-Dirasah
al-Islamiyah, 1998.
Al-Dimasyqi,
Abu al-Fada’ Isma’il ibn Kasir. al-Bidayah wa al-Nihayah. Cet. I;
Bairut: Dar Ihya al-Turas al-‘Arabi, 1408 H./1988 M.
Hitti, Philip
K. History of the Arabs; From the Earliest Times to the Present. diter.
R. Cecep Lukman Yasin dkk, History of the Arabs. Cet. I; Jakarta: Serambi
Ilmu Semesta IKAPI, 1429 ./2008.
Karim, M.
Abdul. Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam. (Cet. I; Yogyakarta;
Pustaka Book Publisher, 2007).
Newsroom,
Republika. al-Azhar, Simbol Intelektual Islam Sepanjang Masa. http://www.republikaonline.com. (10-12-2010
M.).
Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam II. Cet.II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994.
Islamiyah,1998M.)
hal. 259.
[2] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam II, (Cet.II;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), hal. 76.
R.Cecep Lukman Yasin dkk, History of the
Arabs, Cet. I, ( Jakarta: Serambi Ilmu Semesta IKAPI), 1429H./2008 M.) hal.
789.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon