Menjelaskan
Ilmu H{ud{u>ri
Ilmu H{ud{u>ri karya Mehdi
Hairi Yazdi, oleh Sayyed Hossein Nasr dinyatakan sebagai salah satu karya
pertama berbahasa inggris yang yang berasal dari tradisi filsafat Islam yang
terus hidup dan ditulis oleh seorang yang terlatih dalam metode kajian
tradisional Islam. Dengan latar belakangnya, ia tumbuh menjadi ahli filsafat
Timur dan Barat, dimana ia menguasai secara sangat baik, khazanah dan pemikiran
filsafat Islam tradisi ishra>qiyah
yang berkembang di Persia tanah airnya dan juga filsafat Barat. Metode yang dipakai Hairi adalah metodologi filsafat analitik (analytical
phylosophy) sehingga ia menunjukkan keabsahan suatu pengetahuan yang dalam
filsafat ishra>qiyah (filsafat
pencerahan mistis Islam) disebut al-‘ilm al-h}ud{u>ri al-ishra>qi>,
yang
dalam bahasa Inggris disebut dengan knowledge by presence (pengetahuan
dengan kehadiran) yang selanjutnya istilah ini akan lebih banyak dipakai
daripada al-‘ilm al-h}ud{u>ri untuk
melihat kontras-kontrasnya dengan pengetahuan lain.
Pengetahuan dengan kehadiran adalah
pengetahuan nyata bagi subjek yang mengetahui secara langsung tanpa perantara
representasi mental dan simbolisme kebahasaan apapun. Sebagaimana yang
dijelaskan oleh pemakalah “dimensi empiris ilmu huduri” bahwa subjek yang
terlihat dalam pengetahuan ini oleh Hairi disebut “aku performatif” yang pada
tingkat tertinggi akan membawa kepada pengalaman mistis, dan mempercepat proses
titik puncak kesadaran kesatuan diri: yakni kesatuan eksistensial muthlak
dengan Tuhan, wah}dat al-wuju>d. Adapun tujuan
Hairi sangat jelas yakni hendak memperkenalkan gagasan “pengetahuan dengan
kehadiran” (knowledge by presence) sebagai kesadaran manusiawi non-fenomenal—yang
menurut Hairi sendiri—sama dengan wujud fithrah manusia secara epistimologis.
Kesimpulan Hairi dari tinjauan
sejarah epistimologi Islam mengenai “pengetahuan dengan kehadiran” ini adalah
munculnya suatu kesadaran bahwa kebenaran eksistensial subjek yang mengetahui
dan “kesadaran kesatuannya” serta objek yang diketahui, menjadi satu. Inilah
dasar dari filsafat Islam tentang diri, seperti dikatakan Suhrawardi yang
menjadi dasar uraian dalam ilmu hud{u>ri harus: (1) bersifat
pengetahuan dengan kehadiran, (2) kesadaran swa-objektif, (3) mempunyai teori
swa-objektif, (4) mempunyai teori pengetahuan dengan kehadiran, (5) mempunyai
pengetahuan swa-objektif, (6) bersifat pengetahuan non-intensional, (7)
bersifat pengetahuan non-fenomenal, (8) bersifat pengetahuan
non-representational, (9) ada keidentikan antara “menjadi” dan mengatahui”.[1]
Arti Pengalaman
Mistik
Menurut
Wittgenstein bahwa semua persoalan epistimologi kehadiran—yang menjadi tujuan
utama Hairi Yazdi dalam ilmu h}ud}u>ri—muncul karena keinginan unntuk
mengatakan apa yang sebenarnya tidak dapat dikatakan. Siapapun, kata
Wittgenstein, tidak dapat keluar dari bahasa, dan juga tidak dapat keluar dari dunia. Satu-satunya yang ada yang
dapat diutarakan dalam bahasa adalah “apa yang ada di dunia ini”. Karenanya,
seluruh persoalan epistimologi kehadirannya yang oleh Hairi Yazdi dimaksudkan
sebagai epistimologi Islam bersifat “tak bermakna” alias non-sense. Karena,
epistimologi ini, lebih-lebih epistimilogi mistik, emanasi dan wah{dat al-wuju>d, ingin
mengatakan apa yang sebenarnya tidak bisa dikatakan melalui bahsannnya.
Lantas, bagaimana nasib realitas
pengalaman kehadiran seperti pengalaman mistik, yang oleh Hairi dan seluruh
filusuf agama, sebenarnya ingin dikatakan sebagai inti dari pengalaman keberagamaan?.
Tentang pengalaman mistik ini, kata Wittgeinstein dalam kenyataannya tidak
pernah bisa ditunjuk secara langsung, karena ia bukan pengalaman indrawi.
Apalagi, bahasa mempunyai keterbatasan yaitu hanya dapat mengungkapkan apa yang
menjadi relitas imdrawi. Jadi ada realitas yang bisa diungkapkan dengan kata-kata
dan ada realitas yang tidak dapat diungkpakan. Terhadap wilayah yang tak dapat
diungkapkan (the unutterable), kata Wittgeinsten “perlulah diberikan
perlindungan”. Maksudnya, wilayah yang tak dapat diungkapkan dengan bahasa
yakni wilayah pengalaman kehadiran dan perngalaman mistik adalah wilayah yang
sangat penting untuk dimengerti, tetapi paradoksnya adalah hal itu, sekali lagi
tidak bisa dikatakan dengan bahasa. Bila dipaksakan hanya akan berakibat
non-sense saja.[2]
Oleh karena itu, pengalaman mistik
adalah pengalaman yang hanya bisa “ditunjuk” dan “dialami”, tetapi kita tidak
bisa berbicara tentangnya. Karena bahasa kita sendiri terbatas. “Memang ada hal-hal
yang tidak dapat dikatakan, hal-hal itu menunjukkan diri, Itulah yang mistis” (the
mistical) kata Wittgeinsten.
Makna Rangkap
Tentang Kehadiran
Kita telah
sampai pada pemahaman bahwa apapun yang benar bagi emanasi juga benar bagi
penyerapan, dan apapun yang berpaku pada penyerapan juga berlaku pada emanasi.
Kita juga telah tahu bahwa Tuhan
mengetahui melalui kehadiran apa yang telah beremanasi dari Diri-Nya. Artinya,
suatu wujud emanatif semisal diri, yang keluar dari Tuhan dan terserap dalam
cahaya yang melimpah dari Wujud-Nya, adalah hadir di dalam Tuhan. Karena itu,
Dia mengetahui diri tidak melalui semacam kehadiran identitas diri seperti Dia
mengetahui Diri-Nya sendiri, melainkan identitas diri seperti Dia mengetahui
Diri-Nya sendiri, melainkan dengan kehadiran supremasi-Nya atas emanasi yang
melimpah sebagai tindak imanen-Nya. Dengan cara ini pulalah diri mengetahui
tubuh, imajinasi, dan fantasinya melalui kehadiran dengan supremasi kausal.
Jadi, suatu emanasi hadir dalam supremasi eksistensial sumbernya sendiri; dan
begitu juga dengan ekuivalensi antara emanasi dan penyerapan, yang terserap
hadir dalam yang menyerap, yaitu Tuhan.[3]
Ada
satu entitas, tapi digambarkan dalam dua cara: emanasi dan penyerapan. Hal ini
juga berlaku pada pengertian kehadiran. Kenyataannya, hanya ada satu disposisi
kehadiran, tapi bisa digambarkan pertama-tama sebagai kehadiran dengan
“pencerahan” atau “emanasi”, jika mau memerinci jenis kehadiran yang dimiliki
sumber tersebut melalui supremasinya atas wujud emanasinya. Dalam aspek ini dikatakan
bahwa sebab atau sumber hadir dalam efek atau tindak imanennya dengan cara
emanasi atau pencerahan.[4] Kedua, keadaan
kehadiran yang sama disebut kehadiran dengan penyerapan jika penjelasan kita
mendekatinya dari arah yang sebaliknya. Kita boleh jadi berada dalam posisi
untuk merinci cara penyerapan dan derajat ketergantungan serta penyerapan yang
cocok dengan suatu entitas emanatif. Dalam keadaan ini kita harus mengganti
ungkapan yang dipakai karena kita telah mengganti perspektifnya. Akan tetapi,
kehadiran dengan pencerahan adalah yang sama dengan kehadiran yang diungkapkan
sebagai kehadiran dengan penyerapan dan peleburan dalam bahasa mistik.[5]
Setelah
mengukuhkan kedua pengertian kehadiran ini, maka “diri” adalah sebagai contoh emanasi, memiliki pengetahuan
tentang Tuhan melalui kehadiran dengan penyerapan. Kita bisa, dengan alasan
yang sama, mengatakan bahwa diri diketahui oleh Tuhan melalui ilmu hudhuri
dalam pemikiran pencerahan. Karena keidentikan kedua pengertian kehadiran ini
dalam kenyataannya, keduanya juga identik dalam serajat kehadiran
proporsionalnya. Artinya, derajat kehadiran Tuhan melalui pencerahan dalam
realitas diri dengan derajat kehadiran diri dalam Tuhan dengan pengertian
penyerapan. Dengan demikian, pada tahap wujud partikular tersebut, Tuhan dan
diri adalah identik.[6]
Kesimpulannya,
dalam kasus emanasi hanya ada satu keadaan nyata kehadiran, tapi bisa dipandang
dari dua perspektif yang berbeda, dan digambarkan dengan dua ungkapan yang
berbeda pula. Ia bisa dinyatakan sebagai “kehadiran dengan iluminasi”, jika
yang diperhitungkan adalah kehadiran Tuhan di dalam diri sebagai emanasi-Nya;
dan kehadiran Tuhan disebut “kehadiran dengan penyerapan” jika yang dibicarakan
adalah hubungan diri dengan Tuhan sebagai sumber realitasnya. Tetapi, seperti
telah kita pahami, rujukan obyektif dari ungkapan-ungkapan ini adalah satu
entitas emanatif yang sederhana yang tak lain adalah realitas diri. Kebenaran
diri karenanya adalah kesatuan kehadiran Tuhan di dalam diri dan kehadiran diri
di dalam Tuhan.
Arti Kesadaran
Kesatuan Mistik
Sekarang
marilah kita palingkan perhatian kepada hubungan emanasi dengan prinsip
ultimanya. Dalam filsafat pencerahan hubungan ini, seperti telah dikatakan
sebelumnya, disebut “tangga menaik” eksistensi (al-silsilah al-shu’u>diyah). Seorang
mistikus naik ke kesadaran uniter dan bersatu dengan Tuhan dalam pengertian
terserap.[7]
Masalah
besar yang dihadapi ketika sebagai filosof, berhadapan dengan teori mistisisme
adalah masalah kesadaran “kesatuan” dengan Tuhan. Apa yang sebenarnya dimaksud
dengan kata “kesatuan” atau “persatuan” dengan Tuhan, atau dengan diri
Universal, yang secara sepakat digunakan oleh otoritas-otoritas mistisisme,
menjadi masalah utama dalam filsafat mistisisme. Menurut berbagai metode
penafsiran yang diberikan kepada kata “kesatuan”, terdapat berbagai jawaban
bagi pertanyaan ini. Jawaban-jawaban ini bersifat linguistik, filosofis, religius,
psikologis, dan lain-lain.[8]
Menurut
Suhrawardi, Meskipun dengan adanya semua ragam penafsiran ini, kita bisa
mengetahui dengan pasti bahwa tak satupun di antaranya yang memadai secara
sistematis. Pertama-tama, bentuk kesadaran uniter ini, yang menurut kesatuan
dalam keragaman dan keragaman dalam kesatuan, masih tetap paradoks secara
mutlak. Tak satupun dari penafsiran-penafsiran tersebut sejauh ini telah
memberikan solusi yang memuaskan, karena tak satupun di antaranya yang
memungkinkan untuk menyelesaikan masalah jenis kesatuan khusus ini dan kemudian
menjawab persoalan-persoalan paradoks utama yang terlibat dalam masalah tersebut.
Yang dilakukan dalam menghadapi masalah besar ini adalah mengambangkan,
berdasarkan teori ilmu hudhuri, suatu perluasan teori yang didasarkan pada
penafsiran pencerahan tentang hipotesis kesatuan mistik.[9]
Penglihatan
Intelektual Plato Tidak Bersifat Mistik
Suhrawardi
menyatakan bahwa kebenaran menurut ilmu cahaya diturunkan pertama kali dari
intuisi mistis. Plato misalnya, mengetahui bahwa dasar dari semua realitas
adalah cahaya sebab dia melihat hal ini memang demikian. Ini tidak menjelaskan
apa-apa kepada kita sampai kita tahu apa makna cahaya disini. Dalm buku
filsafat Illuminasi Suhrawardi mencatat bahwa
cahaya immaterial hanyalah analogi untuk cahaya fisik. Dari sudut
pandang cahaya immaterial, cahaya fisik hanyalah cahaya akdsidental. Selain itu
Suhrawardi tidak melihat intuisi mistik secara terpisah menjadi sebuah garansi
bagi faliditas interpretasi nyang rasional atas intuisi itu. Seorang pembuat
peta tidak bisa hanya pergi ke atas gunung lalu melihat hamparan dratan, kita
harus turun ke daratan dan dengan membawa alat-alat untuk melakukan survei,
membuat arah, jarakm dan ketinggian. Orang-orang di darat tidak bisa hanya
menerima begitu saja otoritas sang pembuat peta, mereka juga harus mengerti
bagaimana simbol-simbol peta mengekspresikan objek-objek yang mereka kenal.
Filsafat Illuminasi adalah filsafat, bukan mistisisme. Suhrawardi membangun
bukti-bukti yang rasional atas intuisinya baik untuk meyakinkan dirinya sendiri
maupun untuk mengoreksi interpretasi atas intuisi-intuisi ini serta untuk
petunjuk bagi mereka yang tidak memiliki pengalaman tentang hal ini.[10]
Pemikiran
Plato tentang “penglihatan intelektual”. Untuk mengetahui apakah ada kaitannya
dengan kesadaran mistik. Telah dipahami bahwa dalam filsafat Plato konsep yang
diperluas tentang penglihatan telah digunakan dalam arti kesadaran intelektual
manusia dengan kesadaran indriawi empiris. Dalam hal ini doktrin Plato dalam
intelektual digantikan oleh teori Aristotelen tentang pengetahuan abstrak,
sungguh harus dicatat bahwa penglihatan intelektual Plato seperti halnya pengetahuan
intelektual kitam pada dasarnya dicirikan oleh dualism hubungan subjek-objek
dan karena alasan ini tidak identik
dengan kesadaran mistik. Marilah kita sekarang merujuk kepada Plato untuk
melihat apakah penglihatan intelektualnya benar-benar berkaitan dengan kesadaran
mistik.[11]
Diantara
banyak rujukan diberbagai tempat, ada dua pernyataan yang relatif jelas di
dalam The Republic mengenai doktrin penglihatan intelektual.
a.
Dalam dunia pengetahuan, hal terbaik
yang bisa dipersepsi dan hanya didapat dengan upaya keras adalah Bentuk
Esensial Kebaikan. Tanpa memiliki penglihatan bentuk ini, tak seorangpun bisa
bertindak bijaksana baik dalam kehidupannya sendiri ataupun dalam masalah
kenegaraan.
b.
Mereka harus disuruh mendaki menuju
penglihatan Kebaikan (Vision of Goodness), yang kita sebut objek
pengetahuan tertinggi, dan apabila mereka telah melihatnya cukup lama, mereka
tidak boleh, seperti halnya sekarang, tetap berada di ketinggian tersebut dan
menolak turun kembali kepada para tawanan[12] atau bagian
manapun dalam pekerjaan dan ganjaran mereka, betapapun banyak atau sedikitnya
nilai pekerjaan dan ganjaran itu.
Dalam
kedua kutipan diatas, terindikasi jelas bahwa sistem penglihatan Plato terutama
memperhatikan hal yang dipersepsi sebagai objek pengetahuan tertinggi. Penglihatan
intelektual mengenai objek ini karena merupakan sifat esensial yang menjadi
sasaran pencarian kebijaksanaan bagi subjek yang mengetahui. Karena alasan
tersebut, jelaslah bahwa upaya apapun yang untuk mendorong doktrin Platonik ini
ke arah pengertian kesadaran mistik akan
berakhir dengan kegagalan. Akan tetapi, tidak dengan sendirinya berarti bahwa
penafsiran dan konseptualisasi pengalaman-pengalaman mistik juga tak konsisten
dengan penglihatan Platonik. Dengan merenungi pengalaman mistiknya, seorang
mistikus bisa memberi kesaksian kebenaran objektif teori filosofis ini dengan
sangat positif, tetapi tidak berarti bahwa kesadaran mistik dan penglihatan
intelektual itu identik.[13]
Apakah Arti
Fana?
Berdasarkan
analisis atas kesadaran kesatuan mistik yang baru saja kita suguhkan, kita
berhak mengajukan pertanyaan ini: Jika benar diri, dengan realitas ontologisnya
sendiri, selalu hadir di dalam Tuhan dan Tuhan selalu hadir di dalam diri, maka
apakah arti proses “peniadaan” mistik, atau dalam bahasa sufinya fana’?
Sebagaimana yang diyakini oleh kaum mistikus melalui jenis pengalaman inilah
mereka bisa mencapai tahap kesadaran kesatuan. Seandainya kesatuan adalah
realitas itu sendiri, niscaya akan benarlah jika dikatakan bahwa bagi setiap
manusia “ada” berarti “menjadi seorang mistikus”. Seandainya Tuhan selalu hadir
di dalam diri manusia dan manusia selalu hadir di dalam Tuhan, maka pengalaman
mistik akan menjadi kemubaziran.
Menurut
prinsip ilmu hudhuri, bahwa realitas “keakuan” dalam hidup ini terikat dengan
“kediaan”, yakni keadaan berkonflik dengan obyek-obyek material, meskipun tidak
identik dengannya. Akan tetapi, “keakuan” dicirikan oleh obyek-obyek yang
diproyeksikannya. Ciri obyektivikasi inilah yang menyebabkan “keakuan” melangkah
begitu jauh hingga menobyektifkan dirinya sendiri dalam pengertian “yang lain”
untuk melakukan penilaian dan pernyataan tentang dirinya sendiri. Tentu,
obyektivikasilah yang menyebabkan kesederhanaan “keakuan” bercampur dengan dan
terbungkus dalam kesamaran kemajemukan “kediaan”, dan mendorong perspektifnya
menjauh dari posisi awal ini ke arah dunia majemuk. Tetapi, karena dorongan
alamiah dan materialistik ini tidak dan tidak bisa mempunyai dampak terhadap kebenaran
eksistensial “keakuan”, maka ia dihapus dan dilepaskan melalui sebarang jenis
pengalaman dan antikemajemukan. Karenanya, pengalaman-pengalaman diperlukan
untuk menyingkirkan semua obyektivikasi yang dangkal ini dan membantu diri
berkonsentrasi lebih lanjut pada dirinya sendiri dan menemukan kembali realitas
“keakuan” murninya, yang tak lain adalah kehadiran di dalam Sumbernya.[14]
Mistisisme sebagai Satu Bentuk Ilmu Hud{u>ri
Sejauh ini kami telah membahas hipotesis
mistisisme dari sisi negatif, yakni dari apa yang bukan merupakan hakikat
mistisisme. Sebaliknya kami ingin membahas pertanyaan: Jenis pengetahuan apakah
kesadaran mistik itu, jika ada, kalau ia bukan pengetahuan representasional
(ilmu h{us{u>li)? Karena
kami telah menyuguhkan pembedaan antara pengetahuan h{ud{u>ri dan pengetahuan h}us}u>li, maka tidak terlalu mengherankan jika kita
menjawab pertanyaan di atas secara intuitif, dengan mengatakan bahwa mistisisme
adalah satu bentuk ilmu h{ud{u>ri.[15]
Setelah
melakukan renungan singkat atas kerangka mistisisme, kami merasa memperoleh
pembenaran untuk memperlakukannya sebagai satu bentuk kesadaran neotik manusia
dalam pengertian bahwa suasana hati dan pengalaman mistik bersifat tegas dan
sangat informatif. Mistisisme seluruhnya dicirikan oleh kesadaran yang teratur
akan dunia realitas. Ia menghadirkan sesuatu di hadapan kita sebagai kebenaran
dunia ini. Karenanya, adalah sah untuk menyebut mistisisme sebagai satu bentuk
pengetahuan, sebab telah banyak filosof sepakat bahwa mistisisme adalah suatu
kesadaran manusia yang bercorak neotik. Maka akan ada kekurangan intelektual
yang substansial jika kita tidak bisa menspesifikasikan dengan suatu penjelasan
yang bisa dipahami, pengertian kehadiran apa yang mungkin dimiliki oleh
kesadaran mistik. Kami ingin menyatakan bahwa kehadiran mistik adalah kehadiran
dengan “penyerapan”, yang merupakan sifat esensial pemahaman mistik. Akan
tetapi, pertama-tama arti penyerapan haruslah dikaji dengan akurat. Menurut
pendapat kami penyerapan adalah gagasan derivatif dari “emanasi”.[16]
[1] Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya
Tuhan: Epistimologi Illuminasionis dalam Filsafat Islam, edisi revisi,
diterjemah oleh Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 2003), 165
[2] Rachman, Budhy Munawar. Islam Pluralis:
Wacana Kesetaraan Kaum Beriman, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004.
[3] A.J. Arberry, Sufism (London: 1961),
hal. 54
[4] “Pencerahan”, “emanasi”, “sepremasi”,dan
“penyerapan”, semuanya berfungsi menunjukkan hubungan uniter kausa efisien
dengan efek-efek imanennya. Seperti telah kita bahas dalam bab-bab terdahulu,
kepada hubungan khusus inilah “relasi iluminatif” merujuk.
[5] John Walbridge, Mistisisme Filsafat Islam, cet-1, diterjemah
oleh Hadi Purwanto, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2008), 152
[6] Kesadaran uniter ini adalah pembenaran logis
bagi semua pernyataan mistik yang pada lahirnya tempak paradoks (syathathat)
dimana terkadang mendengar ucapan semisal “Hiasilah daku dalam Kesatuan-Mu, dan
pakaikanlah aku pada kedirian-Mu, serta naikkanlah aku ke Keesaan-Mu …” dari
Abu Yazid Al-Bistami. Lihat A.J. Arberry, 55.
[7] Shadr Al-Din Syirazi, Kitab Al-Asfar,
Perjalanan I, bagian 1, 1-3.
[8] W. T. Stace, Mysticism and a Philosophy,
(Philadelphia: 1960), 28.
[9] Ibid, 34.
[10] Walbridge, 53-54
[11] Mehdi Hairi Yazdi, Menghadirkan Cahaya
Tuhan: Epistimologi Illuminasionis dalam Filsafat Islam, edisi revisi, diterjemah
oleh Ahsin Muhammad, (Bandung: Mizan, 2003), 197
[12] Yang dimaksud dengan “para tawanan” disini adalah kebanyakan manusia yang belum
mengetahui hakikat realitas, kecuali baying-bayang belaka, sebagaimana yang
dikisahkan Plato dalam mitenya yang terkenal tentang gua.
[13] Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan,
197-198
[14] Hanya dalam pengertian
diri-berada-dalam-Tuhan dan Tuhan-berada-dalam-diri inilah pernyataan Abu Yazid
mesti ditafsirkan ketika dia mengucapkan: Maha Suci aku, betapa agungnya
diriku”, R. C. Zaehner, Hindu and Muslim Mysticism (Oxford: 1961), 765.
[15] Yazdi, Menghadirkan Cahaya Tuhan, 204
[16] Ibid, 205
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon