Madhhab Filsafat
Isfahan
Pada Masa Dinasti Safawiyah di Persia
Oleh: Burhanuddin Sudrajat
Madhhab
Filsafat Isfahan Pada Dinasti Safawiyah
Para tokoh filsafat
Iran yang terkenal banyak bermunculan, ini dikarenakan banyaknya
sekolah-sekolah Syi’ah (untuk mendalami berbagai bidang ilmu pengetahuan
khususnya filsafat) yang didirikan oleh dinasti Safawi. Bahkan, Iran menjadi
pusat utama ilmu-ilmu intelektual, khususnya filsafat bagi dunia Islam yang
didatangi oleh orang Islam dari seluruh penjuru dunia. Perkembangan pemikiran
filsafat pada zaman dinasti Safawi mempunyai karakteristik yang khas sebagai
madhhab Isfahan. Madhhab Isfahan menampung perkembangan pemikiran filsafat madhhab
Peripatetik (Masya’i), Iluminasi (Ishraqi), Gnosis (Irfani)
dan Teologi (Kalam).[1]
Madzhab Masya’i
(peripatetik) yang didirikan oleh Ibn Sina sangat berpengaruh di Iran.
Karya-karya Ibn Sina mendapat kritikan dan serangan tajam dari kaum sufi dan
teolog. Aliran ini akhirnya mati di dunia Islam. Baru pada abad ke enam, Nashir
al-Din al-Thusi menghidupkan kembali mazhab peripatetik Ibn Sina. Sementara
itu, dari abad delapan dan seterusnya, Shiraz, Isfahan dan sekitarnya menjadi
pusat filsafat.
Mazhab Ishraqi
didirikan oleh Syihab al-Din Suhrawardi, walaupun hanya hidup selama 38 tahun,
dia telah menegakkan perspektif intelektual baru dan berpengaruh pada dunia
Islam Iran. Suhrawardi menciptakan teosofi berdasarkan iluminasi dan intuisi
mistik.
Mazhab Irfani
dan Kalam pada abad ke tujuh juga mencapai masa keemasan. Mazhab irfan
telah berkembang dalam dunia Syi’ah, demikian pula pemikiran kalam. Pada
zaman inilah keempat pemikiran tersebut di atas (Masya’i, Isyraqi, Irfani
dan Kalam) merasuki pemikiran Syi’ah, yang meratakan jalan bagi kebangkitan
Safawi dengan warna khas pemikiran madhhab Isfahan.
Tokoh-Tokoh
Madhhab Filsafat Isfahan (Awal-Akhir Dinasti Safawi)
Perkembangan filsafat
pada dinasti Safawi di Persia sangat pesat, dan madhhab filsafat yang berkembang
di masa ini adalah madhhab isfahan. Madhhab ini memiliki beberapa tokoh,
tepatnya pada masa pra dinasti Safawi-awal dinasti Safawi, madhhab ini
kembangkan oleh Jalaluddin Davani, namun belum secara resmi madhhab Isfahan
dipublikasikan, karena pada masa ini adalah masa yang kurang kondusif dengan
adanya peralihan kekuasaan.[2]
Pada masa setelah
dinasti Safawi berdiri, madhhab isfahan mulai berkembang yang ditokohi
oleh Mir Damad (yang mendirikan School of Isfahan, dan nantinya menjadi
pusat perkembangan madhhab isfahan),[3]
kemudian dilanjutkan oleh muridnya yaitu Mulla Sadra. Pada masa Mulla Sadra
inilah, madhhab ini berkembang dengan pesat.
Untuk lebih jelasnya,
penulis akan memaparkan lebih mendalam, siapa saja tokoh-tokoh filsuf madhhab isfahan
yang memiliki peran penting, beserta spesifikasi dalam bidang keilmuan dari
tokoh-tokoh filsuf madhhab isfahan.
1. Jalaluddin
Muhammad bin As’ad Kazeruni Siddiqi
Jalaluddin Muhammad bin As’ad Kazeruni Siddiqi
(1426-1502 M), dia lebih terkenal dengan nama Jalaluddin Davani atau Allamah
Davani. Dia adalah seorang filsuf terkemuka, teolog, ahli hukum dan penyair
Iran. Davani menghabiskan sebagian besar hidupnya di Kazerun dan dia memiliki
hubungan kuat dengan Qara Qoyunlu, Aq Qoyunlu, Timurid dan Penguasa Ottoman, Davani
menerima sejumlah jabatan penting dari mereka.
Davani tidak hanya berkecimpung dalam pemerintahan
saja, namun dalam kesibukannya mengurus masalah pemerintahan, dia juga banyak
menulis karya tentang teologi, filsafat, dan hukum. Dia meninggal tak lama setelah
berdirinya dinasti Safawi, tetapi sebelum Shah Isma’il merebut propinsi Fars.
Davani mulai belajar dengan ayahnya yang pernah
belajar kepada Mir Sayyid Sarif Ali bin Gorgani (w. 1413 M), kemudian-setelah
dia tumbuh dewasa-Davani pindah ke Shiraz, di Shiraz dia belajar teologi,
filsafat, logika, kaidah hukum-hukum Islam (ushul fiqh), dan hadis
kepada Homam al-Din Golbari, dan Safi al-Din Iji (w. 1450 M).
Pada kerajaan Qara Qoyunlu tepatnya pada Sultan
Jahanshah, Davani diangkat sebagai religious supervisior (Menteri Agama).
Namun dia tidak lama dalam memangku jabatan sebagai menteri pada Qara Qoyunlu,
dan kemudian dia lebih memilih untuk mengajar di Madrasah Begum atau disebut
juga Dar al-Aytam, dan di sana dia menulis Akhlaqi Jalali atau dikenal
juga dengan Lawamy al-Israqy Makarim al-Akhlaq.[4]
Davani juga merumuskan undang-undang dalam pemerintahan Aq Qoyunlu, dan
kemudian Davani menerima posisi hakim ketua di Propinsi Fars pada masa Sulatan
Ya’qub.[5]
Dia juga memiliki hubungan baik dengan Sultan Rostam, serta memiliki koneksi
yang kuat dengan pengusa-pengusa Turkmenistan, Davani juga memiliki peran
penting dalam pengadilan di Timurid. Pada Sultan Mahmud I di Gujarat, Davani
juga memiliki hubungan, dengan cara menulis buku-buku tentang Filsafat Ishraqi yang
didedikasikan untuk Sultan Mahmud I, Sulatn Ottoman, dan Bayazid II.
Karangan:
a)
Akhlaqi Jalali
(gambaran tentang Imam: Sultan sebagai bayangan Allah, wakil Nabi, dan wakil
Khalifah).
b)
Arz-Nama
(gambaran tentang Imam: Sultan sebagai bayangan Allah, wakil Nabi, dan wakil
Khalifah).
c)
Risalat
al-Zawra’ (puisi tentang memuji imam dan mengingkari tiga
khalifah pertama Abu Bakar, Umar, dan Ustman).
d)
Sawakhil al-Khur
fi Sarh Hayakil al-Nur (mensarahi filsafat Suhrawardi).
e)
Sarh al-Aqa’id
al-‘Azodiya (secara terbuka Davani menyatakan anti
Imamiyah).
Dilihat dari karangan-karangan Jalaluddin Davani,
terlihat sangat jelas adanya perbedaan pendapat dari segi ideoliginya. Dia
memang dikenal sebagai orang yang melakukan praktek penyamaran ideologi
(disguise of one’s religion). Sikap seperti ini memang diambil oleh Davani
karena situasi Persia pada saat itu memang sangat kacau, karena peralihan
kekuasaan.
Jalalluddin Davani meninggal pada 1502 M, satu tahun
setelah kerajaan Safawiyah muncul yang dipimpin oleh Shah Isma’il I.[6]
Dia dimakamkan di Davan dalam makam Boq’ayi Saykh ‘Ali.
2. Amir
Sayyid Giat al-Din
Amir Sayyid Giat al-Din bin Muhammad Sirazi Husain
(1462-1541 M), adalah seorang cendekiawan, filsuf, dan teolog dari periode awal
dinasti Safawi, tepatnya pada akhir dari Timurid.
Giat al-Din berasal dari Shiraz,
kemudian dia dipanggil oleh Shah Isma’il I dan pindah ke Isfahan. Karena Shah
Isma’il I mengetahui kepandaian Giat al-Din terutama pada keilmuan bidang
matematika dan astronomi. Dia juga pernah menjabat sebagai perdana menteri pada
masa Timurid tiga tahun sebelum Shah Isma’il menjadi pemimpin dinasti Safawi.
Giat al-Din juga masih hidup saat Safawi dipimpin
oleh Shah Tahmasb I, pada masa inilah dia dipercaya untuk menjabat sebagai
kepala peangawas para cendekiawan (chief clerical overseers).[7]
Giat al-Din dan keluarganya secara
terbuka mengaku menganut paham imamiyah Syi’isme, ini dikarenakan banyak
dipengaruhi dalam afiliasi keagamaan oleh perubahan iklim politik di Persia.
Giat al-Din pernah mengkritik Jalaluddin
Davani yang pernah berpendapat, bahwa Davani mengikuti faham anti imamiyah
seperti yang tercantum dalam Sarh al-Aqa’id
al-‘Azodiya. Dan secara tidak langsung pendapat
Davani menolak klaim bahwa Shah Isma’il I adalah sebagai (imam of the age),[8]
selain sebagai penguasa pertama dari Dinasti Safawi.
Pada tahun 1526 M, Giat al-Din diangkat sebagai
hakim di pengadilan Safawi dengan Sayyid Ni’matullah Hilli (w. 1533 M), namun
pada tahun 1532 M, Giat al-Din dan Hilli diberhentikan oleh Shah Tahmasb I,
dikarenakan kekalahan mereka dalam perselisihan pendapat dengan Karaki dalam
permasalahan pendapat tentang penerapan shalat ghaib yang ditujukan
kepada dua belas imam dalam kepercayaan Syi’ah taqiyya[9].
Kemudian Giat al-Din kembali ke Shiraz, dan mengajar di Madrasah Mansyuriyah
yang didirikan oleh ayahnya. Hingga dia meninggal, dan dia dimakamkan di dekat
Madrasah Mansyuriyah.[10]
3. Baha’
al-Din Muhammad bin Husayn al-‘Amali
Baha’ al-Din Muhammad bin Husayn al-‘Amali, dia
adalah seorang alim, filsuf, arsitek, matematikawan, astronom (salah satu
astronom paling awal di dunia Islam untuk menunjukkan kemungkinan gerakan bumi
sebelum penyebaran Copernican theory),
dan penyair Persia, dia juga salah satu guru filsafat
dari Shadr al-Din al-Syirazy (Mulla Sadra).
Dia lahir di Baalbek, Lebanon 18 Februari 1547 M.
Kemudian dia berimigrasi dengan seluruh keluarganya di masa kecilnya ke
Isfahan. Ayahnya diangkat oleh Shah Tahmasb I sebagai penyebar doktrin Imamiyah
Shi’isme di kalangan masyarakat Dinasti Safawi, Baha’ juga sering menemani
ayahnya dalam penyebaran Imamiyah Shi’isme selama bertahun-tahun. Selain
menemani ayahnya, Baha’ juga menuntut ilmu di daerah Qazvin.
Baha’ kemudian pergi ke Makkah untuk menemani
ayahnya menunaikan ibadah haji, setelah ayahnya melepaskan jabatan dari Safawi.
Setelah perjalanan haji dari Makkah, Baha’ dan ayahnya pergi ke Bahrain sampai
ayahnya meninggal dunia pada tahun 1576 M. Kemudian dia kembali ke Iran dan
menerima mandat dari Shah Tahmasb I, untuk menyebarkan faham Imamiyah Shi’isme
di wilayah Herat.[11]
Pada masa Shah Abbas I, Baha’ aktif dalam pelayanan
negara Safawi dan menganjurkan kepada Shah Abbas I untuk memperluas kekuatan
ulama’.[12]
Namun dia tidak lama mengabdikan dirinya kepada Shah Abbas I, dia memilih
mengundurkan diri dari jabatannya karena faktor persaingan dari para ulama’
lainnya. Di Isfahan dia lebih dikenal karena perbuatan sosialnya, menjadikan
rumahnya untuk anak-anak yatim, janda, dan orang-orang miskin.
Baha’ al-Din adalah penulis yang produktif, dia
memberikan kontribusi dalam banyak bidang keilmuan, diantaranya dalam bidang
filsafat, astronomi, dan matematika. Karangannya lebih dari seratus artikel,
surat-surat, buku, dan juga syair dalam bahasa Arab dan bahasa Persia.
Dikalangan faham Imamiyah, Baha’ dianggap salah satu
ulama’ yang terkemuka. Selain itu dia memiliki kecenderungan Sufi, seperti yang
dia tuangkan dalam karyanya Rasail fi al-Wahdah al-Wujud (Kairo 1910).
Dalam karanganya ini dia berbicara tentang Sufi adalah manusia sejati, semua
itu mengacu dari pengalaman mistis pribadinya.[13]
Baha’ menghabiskan beberapa tahun bepergian ke luar
Iran, pergi ke Makkah untuk haji, setelah selesai dari haji dia melanjutkan
perjalanan ke Mesir (1584 M), kemudia ke Yerusalem dan Suriah. Dan melanjutkan
perjalanan ke Tabriz (1585 M), Qazvin (1592 M), Mashad (1598 M), Azerbaijan
(1606 M), kemudian kembali ke Isfahan hingga dia meninggal dunia pada 30
Agustus 1621 M dan dimakamkan di Tus.
4. Mir
Burhan al-Din Muhammad Baqir Damad
Mir Burhan al-Din Muhammad Baqir Damad, atau lebih
dikenal dengan nama Mir Damad. Sering juga disebut oleh kalangan ilmuan sebagai
guru ketiga setelah Aristoteles dan al-Farabi. Mir Damad juga dikenal dengan
sebutan Sayyid al-Fadil atau bangsawan yang terpelajar, dilahirkan di Astrabad
tahun 1543 M, namun kemudian dia besar di Mashhad yang merupakan pusat
pengajaran agama di Iran. Di kota inilah Mir Damad menekuni beragam pemikiran,
termasuk mengkaji secara dalam tentang pemikiran Ibn Sina.
Kemudian Mir Damad melanjutkan perjalanannya ke
Isfahan pada saat wilayah itu dikuasai oleh dinasti Safawi yang dipimpin oleh
Shah Abbas I. Qazvin dan Kashan pun juga menjadi kota yang disinggahinya untuk
menimba ilmu, hingga Mir Damad bersinggungan dengan filsafat Yunani.
Tidak heran, jika kemudian Mir Damad membawa beragam
tradisi ini ke dalam ranah filsafat Islam. Mir Damad membawa filsafat
Aristoteles, kemudian menggabungkannya dengan aliran Neo-Platonik, Peripatetik yang dipelopori oleh
Ibn Sina,[14]
serta mistisisme Islam (Suhrawardi). Mengenai
mistisisme, Mir Damad memang pernah dikenal sebagai filsuf gnosis (kalangan
yang sering mengasingkan diri).
Dia pun selalu berpendapat bahwa aktifitas pikiran
akan membawa seseorang merasakan perjalanan spiritual, pengalaman yang
dirasakan seseorang akan berdampak positif bagi tingginya rasionalitas, maka
dari itu filsafat dan mistisisme merupakan kajian yang serius.
Mir Damad tidak hanya mendalami filsafat dan
mistisisme, dia juga banyak menulis tentang karya-karya yang besar, dan banyak
ilmuan pada masa sesudahnya mengakui bahwa banyak dari tulisan-tulisannya yang
begitu komprehensif. Salah satu karyanya yang terkenal adalah al-Muqabasar,
yang membahas tentang penciptaan dunia dan eksistensi dunia sebagai kekuasaan Tuhan.
Dalam al-Muqabasar, dia juga memaparkan
mengenai waktu dan dunia. Dia mengembangkan konsep tersebut berdasarkan
pendapat para filsuf terdahulu, seperti Ibn Sina, dan Nasir al-Tusi yang
menjelaskan tentang waktu dan dunia dalam pembagian dhati, dhahri,
dan zamani.
Dari konsepsi waktu dan dunia, Mir Damad akhirnya
mencapai pemahaman yang unik mengenai penciptaan, dia memilah menjadi tiga,
yaitu al-‘Alam al-Sarmadi (dunia yang tinggi) yang merupakan ruang bagi
Pencipta, al-‘Alam al-Dhahri (dunia yang kekal), dan al-‘Alam
al-Zamani (dunia yang fana) tempat yang merupakan ruang bagi terjadinya
kejadian keseharian.
Pemikiran Mir Damad tentang penciptaan merupakan
pencapaian yang luar biasa pada zamannya, sebab pemikirannya itu tidak lepas
dari penggabungan pemikiran teologi dan filsafat. Dari karyanya yang besar
inilah, hingga Mir Damad mendapat julukan pendamai antara teologi dan filsafat.
Kepandaian Mir Damad dalam filsafat Islam tidak
diragukan lagi di Isfahan, hingga memiliki banyak murid salah satunya adalah Mulla sadra, dan kemudian dia mendirikan School of Isfahan.[15]
Mir Damad meninggal dunia pada tahun 1631 kerana
sakit, saat sedang perjalanan menuju Karbala. Kemudian dikebumikan di Najaf
al-Asyraf, kota suci bagi pengikut ajaran Ahlul Bayt.
5. Mir
Abul Qosim Astrabadi
Mir Abul Qosim Astrabadi, terkenal dengan nama Mir
Fendereski lahir di Mashad 1562 M. Dia adalah seorang filsuf asal Iran,
penyair, dan Mistikus di masa dinasti Safawi. Mir Fendereski tinggal di Isfahan
dalam waktu yang sama dengan Mir Damad, dan keduanya mengabdi di kerajaan
Safawi.
Mir Fendereski banyak mempelajari karya-karya dari
Ibn Sina, dalam pemikiran filsafat dan medis, terutama mengkaji kitab al-Qanun
dan asy-Syifa di Isfahan. Selain mendalami pemikiran Ibn Sina di
Isfahan, dia juga mengajar tentang filsafat, dan dikenal seabagai guru filsafat
Peripatetik. Menurut pendapat Corbin, dia juga termasuk salah satu pendiri dan
menjadi figur utama di School of Isfahan.[16]
Selain mendalami pemikiran Ibn Sina, dia juga
mendalami pemikiran Aristoteles. Hal ini terbukti bahwa Mir Fendereski
menjabarkan tentang gerak dalam fi al-Harakah yang dibagi menjadi lima
bab. Di dalamnya membahas bukti Aristotelian tentang keberadaan Tuhan yang
menggerakkan makhluk. Bab I: membahas sifat dan esensi gerak, Bab II:
menegaskan aturan bahwa setiap hal yang bergerak memiliki penyebab, Bab III dan
IV: menggambarkan rantai sebuah gerak yang nantinya akan berujung pada Tuhan,
dan pada Bab V: berisi tentang bantahan dari Peripatetik kepada gagasan
Platonism dalam hal bentuk.[17]
Mir Fenderski juga mempunyai karya dari hasil
menterjemah dari bahasa India ke bahasa Persia, seperti karya besar Mahabarata
yang pernah dia terjemahkan ke dalam bahasa Persia menjadi Razm, dan
teks-teks filsafat dari Yoga Vaishata (India), menjadi Resale Sanaie, Resaleh
dar Kimiya, dan Sahre Ketabe Maharat (dalam bahasa Persia). Dia bisa
menterjemahkan bahasa Sangsekerta, dikarenakan Mir Fendereski pernah belajar di
India. Dan kembali lagi ke Isfahan dan mengabdikan dirinya dalam keilmuan,
hingga meninggal dunia di Isfahan pada tahun 1640 M.
Tentang kehidupannya, tidak banyak diketahui dan
sulit mengukur signifikasi Mir Fendereski dalam sejarah intelektual dari
periode Safawi. Hal ini tampak ketika dia memulai tradisi filsafat dan ketika
dia menulis karya, tidak seperti Mir Damad yang sezaman dengannya, Mir Damad
menulis karyanya dengan lebih sistematis dan lebih mudah untuk dilacak dalam
sejarah. Meskipun demikian, Mir Fendereski adalah sosok yang berperan penting
dalam pemikiran filsafat Islam pada abad pertengahan, pemikirannya juga
berpengaruh kepada filsuf Persia yang terkenal, yaitu Mulla Sadra yang pernah
menjadi murid dari Mir Fendereski.
6. Mulla Sadra
Mulla
Sadra dilahirkan di Syiraz pada tahun 1572 M. Nama lengkapnya Muhammad ibn
Ibrahim Yahya Qawani Syirazi, atau sering disebut Sadr al-Din al-Syirazi atau
Mulla Sadra. Dikalangan murid-muridnya dikenal dengan Sadr al-Muta’allihin.
Ayahnya pernah menjadi gubernur wilayah Fars. Status sosialnya sebagai keluarga
yang terpandang, dan dia sebagai anak tunggal, dia berkesempatan memperoleh
pendidikan yang baik dan penjagaan yang sempurna di kota kelahiranya.
Sebagai
anak yang cerdas, dia mampu dengan cepat menguasai berbagai ilmu pelajaran yang
diajarkan kepadanya. Dalam usia muda, Mulla Sadra melanjutkan studi ke Isfahan,
sebuah pusat budaya yang penting untuk dunia Timur Islam pada saat itu, dia
berguru kepada teolog Baha’ al-Din Muhammad bin Husayn
al-‘Amali, kemudian
kepada filsuf Peripatetik Mir Fendereski. Tetapi gurunya yang paling utama
adalah seorang filsuf dan teolog bernama Mir Damad, yang merupakan seorang
penggagas berdirinya pusat kajian filsafat dan teolog yang kini dikenal dengan
aliran Isfahan. Guru inilah yang merasa bangga mempunyai murid seperti Mulla Sadra,
Bangga karena mempunyai murid yang cerdas, dan menyadari bahwa tulisan-tulisan
Mulla Sadra mudah dipahami dari pada tulisan Mir Damad sendiri.
Teman-teman
seperguruan Mulla Sadra kalah bersaing sehingga kurang dikenal, akan tetapi
setelah Mulla Sadra meninggalkan Isfahan menuju Kahak, teman-teman
seperguruanya mulai dikenal. Kahak adalah sebuah desa dipedalaman dekat Qum. Di
Kahak dia menjalani hidup zuhud dan pembersihan hati dengan melakukan
latihan-latihan rohani untuk mencapai hikmat illahi (rahasia ilahi) atau
teosofi (theo = Tuhan, Sophia = cinta). Dia menjalani hidup zuzhud selama 7
tahun, tapi ada riwayat yang menyebutkan selama 11 tahun. Jalan ini dikritik
oleh ulama Zahir dan bahkan ada yang menuduhnya kafir. Padahal, dia orang
shalih yang tidak mengabaikan kewajibannya terhadap agamanya. Hal ini diutarakan
dalam kata pengantar kitabnya, Asfar dan Sih Ashl (semacam
authobiografi).
Sumbangan
filsafat Mulla Sadra sangatlah banyak, diantaranya karya filsafat yang paling
berpengaruh adalah al-Masya’ir (Keprihatinan), Kasr Asnam al-Jahiliyah
(Menghancurkan Arca-arca Paganisme), dan al-Asfar al-Arba’ah (Empat
Pengembaraan). Lambat laun, dia mulai sadar terikat kewajiban untuk memberikan
kepada orang lain apa yang telah dia terima sebagai hadiah dari Tuhan.
Atas
desakan masyarakat dan permintaan Syah Abbas I dari dinasti Safawi. Mulla Sadra
diminta menjadi guru di madrasah Allah Wirdi Khan yang didirikan oleh gubernur
provinsi Fars di Shiraz. Di sini pulalah dia
banyak mengahsilkan karya. Hal ini di akui oleh Thomas Herbert, pengembara abad
17 M yang pernah melawati Shiraz selama masa hidup Sadra. Herbert menulis bahwa
di Shiraz terdapat perguruan yang mengajarkan filsafat, astrologi, fisika,
kimia, dan matematika yang menyebabkan Mulla Sadra termasyhur di seluruh
Persia. Kesibukan dalam mengajar dan menulis tidak menghalanginya untuk
menunaikan ibadah haji. Bahkan tujuh di antaranya, dilakukan dengan berjalan
kaki. Namun dalam perjalanan pulang hajinya yang ke-7 dia jatuh sakit dan
meninggal dunia di Basrah pada tahun 1641 M. Makamnya sangat termasyhur di kota
itu.
Tampkanya,
Mulla Sadra ini muncul dan banyak mengajarkan filsafat yang ada, dan yang
umumnya diajarkan, adalah tradisi neoplatonik-peripatetik Ibn Sina dan para
pengikutnya, dan juga illuminasionis Suhrawardi. Suhrawardi telah melakukan kritik
terhadap beberapa ajaran dasar parepatetisme. Dialah yang meletakkan
dasar-dasar bagi filsafat Illuminasionis yang bersifat mistis (Hikmat
al-Isyraq) yang kemudian memperoleh sejumlah pengikut. Dalam latar belakang
yang demikian itulah sistem pemikiran Mulla Sadra yang khas tumbuh.[18]
Dalam
mazhab Isfahan, Mulla Sadra tercatat sebagai tokoh utama, dan filosof yang
sangat tersohor kepopulerannya, ditandai oleh kepiawaiannya dalam menguasai
ringkasan pemikiran filsafat Islam yang berkembang dalam rentang waktu 900
tahun dengan pendekatan sintesis berbagai mazhab filsafat dan teologi Islam.[19]
Bertumpu pada ajaran al-Qur’an dan al-Sunnah, ucapaan-ucapan para penguasa
sebelumnya, termasuk filsafat peripatetik, iluminatif, kalam sunni dan syi’i
serta mazhab gnosis, Mulla Sadra membuat
penjabaran secara menyeluruh yang selanjutnya dikenal dengan teosofi
transedenden (al-hikmah al-muta’aliyah). Mulla Sadra merasa yakin bahwa
ada tiga jalan terbuka bagi manusia untuk memperoleh pengetahuan; wahyu, akal
dan intelektual (‘Aql) dan visi batin atau pencerahan (kasyf).
Dia berusaha merumuskan sebuah kebijaksanaan sehingga manusia mampu mengambil
manfaat dari ketiga sumber tersebut.
7. Muhsen
Muhammad Fayz
Muhsen Muhammad Fayz Kashani bin Sah Mortaza bin Sah
Mahmud lahir di Kashan pada tahun 1598 M, dari keluarga yang terkenal. Dia
memulai belajar kepada ayahnya sendiri, yang juga memiliki perpustakaan besar.
Pada usia dua puluh tahun dia pergi ke Isfahan, untuk melanjutkan belajarnya.
Kemudian setelah satu tahun di Isfahan, dia pindah ke Shiraz untuk belajar
Hadis dan ilmu hokum peradilan kepada Majid Bahrani. Namun ketika Bahrani
meninggal beberapa bulan setelah kedatangannya, dia kembali lagi ke Isfahan,
dan bergabung dengan lingkaran cendekiawan Baha’ al-Din ‘Amali. Di Isfahan dia
juga tidak terlalu lama, karena dia melanjutkan perjalanan ke Makkah untuk
melakukan haji.
Setelah kepulangannya dari Makkah dia
melanjutkan belajarnya di Isfahan, untuk belajar kepada Mulla Sadra. Mulla
Sadra adalah guru yang berpengaruh penting terhadap segala disiplin ilmu yang
didapatkan oleh Fayz, khususnya dalam bidang keilmuan teosofi. Fayz
menceritakan bahwa pengaruh yang dia rasakan setelah delapan tahun menghabiskan
belajar dan terlibat dalam latihan zuhud dibawah pengawasan Mulla Sadra, dia
akhirnya mencapai makna terdalam dari semua ilmu pengetahuan. Pengaruh filsafat
Mulla Sadra israqi, sufisme Ibn al-‘Arabi, dan ajaran Ahl al-Bayt memang
sangat terlihat jelas dari berbagai karyanya seperti A’inayi
Sahi.[20]
Pada tahun 1632 M, Fayz beserta Mulla Sadra pergi ke
Shiraz, dan kemudian setelah tiga tahun dia kembali ke kota asal kelahirannya
Kashan. Pada tahun 1642 M dia dipanggil oleh Shah Abbas II ke Isfahan, dan
diperintah untuk mengajar di Madrasah Mulla Abdullah, selain menjadi guru dia
menjadi pemimpin do’a pada hari jum’at. Posisi ini diberikan Shah Abbas II,
untuk menghormati dedikasi yang telah diberikan oleh Fayz terhadap dinasti
Safawi.
Shah Abbas II memiliki hubungan yang baik dengan
Fayz, hingga Fayz memberikan sebuah gambaran pemerintahan Safawi terhadap
rajanya sebagai penguasa yang dihiasi dengan kesempurnaan luar dan dalam. Hal
tentang pemerintahan juga disinggu dalam karyanya yang berjudul A’inayi Sahi,
sebuah risalah singkat yang mengurai tentang esensi dari pemerintahan dalam hal
filsafat.
Fayz adalah sosok yang produktif dan memiliki
loyalitas tinggi pada kerajaan Safawi, selain loyalitasnya terhadap pemerintah,
dia juga mengabdikan dirinya dalam dunia sufi.
Setelah Shah Abbas II meninggal, Fayz tetap di Isfahan
hingga beberapa tahun, dan kemudian dia kembali ke Kashan, di sanalah dia
menghabiskan sisa hidupnya hingga meninggal pada tahun 1679 M.
[1] Peter Jackson, Lawrence Ockhart,
The Cambridge History of Iran: The Timurid and Safavid Periods,
Vol.VI, (New York: Cambridge University Press, 1986) hlm. 658
[2] Andrew J. Newman, Safavid
Iran: Rebirth of a Persian Empire, (New York: I.B. Tauris & Co Ltd,
2006) hlm. 132-133
[3] Henry Corbin, L’homme de
Lumiere Dans Le Soufisme Iranien, edisi terjemah Bahasa Inggris, The
Man of Light in Iranian Sufism, (Colorado: Shambhala Publications, Inc.,
1978) hlm. 21-22
[4] F. Rosenthal, Political
Thought in Medieval Islam, (Cambridge, 1958) hlm. 210
[5] Woods, The
Aqquyunlu Clan, Confederation, Empire. A Study in 15th/9th Century
Turko-Iranian Politics, (Minneapolis, 1976) hlm. 157.
[6] Marshall G. S. Hodgson, The
Venture of Islam: The Expansion of Islam in The Middle Periods, (Chicago:
University of Chicago Press, 1974) hlm. 472-473
[7] Newman, Safavid Iran,
hlm. 100
[8] Marshall G. S. Hodgson, The
Venture of Islam, hlm. 472-473
[9] Todd Lawson, Reason and
Inspiration in Islam, (New York: I.B. Tauris & Co.Ltd, 2005) hlm. 46
[10] Newman, Safavid Iran,
hlm. 101-102
[11] Rula Jurdi abisaab, Converting
Persia “Religion and Power in the Safavid Empire”, (New York: I.B. Tauris
& Co Ltd, 2004) hlm. 58
[12] Roger Savory, Iran Under the Safavids,
(New York: Cambridge University Press, 2007) hlm. 154-155
[13] Peter Jackson, Lawrence Ockhart,
The Cambridge History of Iran, Vol.VI, hlm. 657
[14] Lawson, Reason and
Inspiration in Islam, hlm. 94-95
[15] Peter Jackson, Lawrence Ockhart,
The Cambridge History of Iran, Vol.VI, hlm. 659
[16] Henry Corbin, En Islam
iranien, dalam buku: Seyyed Hossein Nasr, dan Oliver Leaman, History of
Islamic Philosophy, Jilid I, (New York: Routledge, 2002) hlm. 621
[17] Terdapat dalam artikel Sajjad H.
Rizvi, Mir Fendereski, (yang dipublikasikan di Encylopedia Iranica, 20
Juli 2005).
[18] Ahmad Tafsir, Filsafat Umum.
Akal & hati Sejak Thales Dan James, cet. III (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 1993) hlm.192
[19] Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s
Transcendent Philosophy, (UK: Ashgate Publishing, 2006) hlm. 16-18
[20] Muhammad Kamal, Mulla Sadra’s
Transcendent Philosophy, hlm. 22-23
2 comments
Click here for commentsthanks, cukup membantu.. kalau bisa tokoh mazhab isfahannya disertakan bersama pemikirannya.. :)
Balasthanks, cukup membantu.. kalau bisa tokoh mazhab isfahannya disertakan bersama pemikirannya.. :)
BalasOut Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon