Oleh: Intan Sari
Iftitah Dewi
FILSAFAT ISLAM DI DUNIA
TIMUR
AL-FARABI
A. Filsafat Emanasi
Abu Nasir al-Farabi (870 – 950 M) yang juga dikenal sebagai "guru
kedua" (muallim ats-tsani) setelah Aristoteles "guru
pertama" (muallim al-awwal) mengintrodusir apa yang dikenal dengan
teori emanasi sebagai basis kosmologi.
Artinya bahwa alam
semesta ini tercipta sebagai hasil proses emanasi yang tersusun dalam
hierarki-hierarki. Mulai dari Tuhan yang tertinggi, bahkan melampaui batas apa
pun sampai melewati wujud immaterial murni di bawahnya, hingga wujud paling
rendah dari bagian material alam semesta.
Menurut teori emanasi
ini, wujud Tuhan sebagai suatu wujud intelegensi (akal) mutlak yang berpikir
tentang dirinya, "sebelum" adanya wujud-wujud selain-Nya, secara
otomatis menghasilkan (memancarkan). Dan akal pertama sebagai hasil pertama
proses berpikirnya. Menurut hadits qudsi, Allah Swt, berfirman: Yang pertama
kali aku ciptakan adalah Sang Akal (pertama).[1]
Pada gilirannya, Sang
Akal sebagai akal untuk berpikir tentang Allah dan, sebagai hasilnya,
terpancarlah Akal kedua. Proses ini berjalan terus hingga berturut-turut
terciptalah Akal Ketiga, Akal Keempat, Akal Kelima, dan seterusnya hingga Akal
Sepuluh. Akal Sepuluh ini adalah akal terakhir dan terendah dalam tingkatan
wujud di alam imaterial. Inilah gambaran sederhana tentang terbentuknya
intelegensi dari akal ke III hingga ke X:
Akal III menghasilkan Akal IV dan Saturnus.
Akal IV menghasilkan Akal V dan Yupiter.
Akal V menghasilkan Akal VI dan Mars.
Akal VI menghasilkan Akal VII dan Matahari.
Akal VII menghasilkan Akal VIII dan Venus.
Ak al VIII menghasilkan Akal IX dan Merkuri.
Akal IX menghasilkan Akal X dan Bulan.[2]
Pertanyaannya, mengapa
proses emanasi berhenti pada akal kesepuluh? Hal ini terkait dengan
perkembangan astronomi pada era filosof Muslim masa itu – yang diwarnai oleh
pandangan Ptolemeus. Dalam astronomi Ptolemeus, planet-planet dipercayai
berjumlah sepuluh.
Dalam proses emanasi
ini, di samping terciptanya akal-akal tersebut, tercipta juga jiwa dan wadak
planet-planet.
Untuk menjelaskan
masalah ini, marilah kita kembali kepada berbagai tingkatan akal tersebut.
Selain berpikir tentang Allah sebagai Sumber Penciptaannya, Akal Kedua juga
berpikir tentang dirinya sendiri. Namun, dari proses ini terpancarlah
(terciptalah) jiwa dan wadak planet tertinggi – yang pertama dalam tingkatan
planet – yang disebut sebagai planet atau langit pertama. Selanjutnya, proses berpikir
tentang diri sendiri ini dilakukan oleh Akal Ketiga hingga Akal Kesepuluh
dengan hasil terciptanya, secara berturut-turut, jiwa dan wadak bintang-bintang
tetap, Saturnus dan seterusnya, hingga terciptanya bulan sebagai planet
kesembilan dan bumi sebagai planet kesepuluh.
Yang perlu diperhatikan
adalah bahwa -berbeda dengan planet-planet lain- planet bumi tak lagi bersifat
immaterial murni. Tetapi merupakan campuran antara yang immaterial dengan yang
material. Dengan kata lain, semua wujud di bumi merupakan gabungan antara
materi (matter) dan forma (form) – yang bersifat immaterial. Sebagai ilustrasi
yang paling jelas adalah bahwa manusia yang merupakan gabungan antara badan
atau wadak yang bersifat materi dengan akal atau ruh yang bersifat materi. Pada
dasarnya, seluruh ciptaan – termasuk apa yang selama ini kita anggap benda mati
– merupakan gabungan dari materi dan ruh seperti yang disinggung di atas. Di
bumi ini tidak ada materi mutlak ataupun akal atau ruh mutlak. Untuk benda
mati, forma itulah akal atau ruhnya.[3]
Aspek materi ciptaan
atau wujud di bumi terbentuk di bawah pengaruh planet bulan. Sementara itu,
forma diberikan oleh Akal Sepuluh. Ini sebabnya Akal Kesepuluh disebut sebagai
Pemberi Forma (Dator Formarum) yang acapkali diidentikan dengan Malaikat
Jibril.
B. Filsafat Kenabian
Filsafat kenabian Al-Farabi erat keitannya antara Nabi dan filosof dalm
kesanggupannya mengadakan komunikasi dengan akal fa’al(Jibril). Mofiv
yang menyebabkan lahirnya filsafat Al-Farabi ini desebabkan adangya pengikkaran
terhadap eksitensi kenabian oleh Ahmad ibn Ishaq Al-Ruwandi dan Abu Bakar
Al-Razi.[4]
Ibn Al-Rawandi dalam bukunya Az-Zamarudah menjelaskan pengingkaran kenabian pad
umumnya dan Nabi Muhammad pd Khususnya, dia mengatakan bahwa Nabi tidak
diperlukan manusia, karena tuhan telah memberikan akal pada manusia agar dapat
membedakan baik dan buruk dan petunjuk akal semata sudah mencukupi. Al-Razi
juga tidak kalah bahayanya, karena ia menulis dua buku, yaitu “mukhariq ul
anbiya’ au hijal Al-mutanabbiin” dan “naqli adDyan au fi an Nubuwwah”.
Dalam suasana yang demikian, Al-Farabi merasa terpanggil unutk menawab
tantangan tersebut, apalagi segenerasi dengan Ibn Al-Ruwandi dan Al-Razi.
Karena kenabian adalah asas sentral agama, Al-Farabi adalah filosof muslim
pertama yang mengemukakan filsafat kenabian secara lengkap. Menurut Al-Farabi,
manusia dapat berhunungan degan akal fa’al(jibril) dengan melalui dua
cara yakni: penalaran (pemikiran)dan imajinasi (ilham). Cara penalaranhanya
dapat dilakukan oleh para filosof yang dapat menembus alam materi dan cahaya
ketuhanan, sedangkan cara ilham hanya dapat dilakukan oleh Nabi.[5]
Ilham kenabiana ada kalanya terjadi waktu tidur dan waktu bangun, dengan
kata lain, dalam bentuk impian yang benar atas wahyu. Menurut Al-Farabi, bila
kekuatan imajinasi seorang kuat ia dapat berhunungan dengan akal fa’al.
apabila kekuatan imajinasinya telah mencapai taraf kesempurnaan, tidak ada
halanyan baginya menerima visi dan kebenaran-kebenaran dalam bentuk wahyu
melalui akal fa’al.
Sampai disini terkesan bahwa kenabian telah menjadi suatu hal yang dapat
diusahakan, akan tetapi tidak demikian hal ini disebabkan nabi adalah orang
pilihan Allah. Seorang Nabi dianugrahi akal yang mempunyai daya tangkap yang
luar biasa sehingga dapat berkomunikasi dengan akal fa’al. akal ini mempunyai
kekuatan suci (hads). Sementara seorang filosof dapat berhubungan dengan akal
faal melalui usaha sendiri melalui pemikiran atau akal perolehan (mustapad).
Oleh karena itu, setiap nabi adalah filosof dan tidak setiap filosof itu nabi.
Akan tetapi, filosof tidak bisa menjadi nabi, karena nabi adalah tetap manusia
pilihan Allah.[6]
Al farabi menekankan bahwa kebenaran wahyu tidak bertentangan dengan
pengetahuan fisafat, sebab antara keudanya sama-sama dari suber yang sama,
yakni akal fa’al. demikian pula tentang mukjizat sebagai bukti kenabian,
menurut al-farabi, dapat terjadi dan tidak bertentangan dengan hukum alam
karena suber hukum alam dan mukjizat sama-sama berasal dari akal fa’al.[7]
C. Filsafat Politk
Al farabi hidup pada daerah otonomi di bawah pemerintahan Sultan saif
Al-Daulah. Al-Farabi peling banyak disibukkan dengan masalah-masalah sosial.
Meskipun dia tidak pernah memangku jabatan resmi dalam pemerintahan, pemikiran
filsafatnya tidak bersifat khayalan semata. Al-Farabi menuangkan pemikiran
filsafatnya tentang politik dalam berbagai karangannya, dan dua karangannya
yang funda mental adalah al-siyasah al madinah (politik negeri) dan Aro’
Ahl al-Madinah al-Fadilah (Beberapa Pemikiran Tentang Negeri Utama).
Melalui buku itu cukuplah jika Al-farabi ditempatkan dalam klasifikasi
orang-orang yang berfikir secara sistematis tentang teori-teori politik.[8]
Menurut al-farabi manusia adaalah makhluk yang bersifat sosial yaitu mahluk
yang hidupnya berkelompok dan bermasyarakat. Karena, kehidupannya selalu
bergantung satusama lain sehinggal\ tidak meungkin untuk hidup individualistis.[9]
Kehidupan bermasyarakat ini dimaksudkan untuk kepentingan bersama dalam
mencapai tujuan hidup, yakni kebahagiaan.[10]
Kemudian, alfarabi membagi masyarakat menjadi dua macam yaitu:
1. Masyarakat Sempurna
Yaitu masyarakat dalam
kelompok besar seperti masyarakat kota. Bisa juga masyarakat yang terdiri dari
beberapa bangsa yang bersatu dan bekerja sama dalam hubungan internasional.
2. Masyarakat tidak Sempurna
Yaitu kelompok
masyarakat yang hidup dalam jumlah kecil, sperti masyarakat dalam satu
keluarga, atau dalam satu desa.
Dalam kitab Aro’ Ahl al-Madinah al-Fadilah (Beberapa Pemikiran
Tentang Negeri Utama). Al-Farabi membagi negara atau pemerintahan menjadi lima.[11]
1. Negara Utama (al-Madinah al-Fadhilah)
2. Negara Jahil (al-Madinah al-Jahilah)
3. Negara Sesat (al-Madinah al-Dhalah)
4. Negara Fasik (al-Madinah al-Fasiqoh)
5. Negara Berubah (al-Madinah al-Mustabadilah)
Akan tetapi pembahasan hanya terfokus pada masalah yang pertama yaitu
Negara Utama. Masyarakat negara utama adalah masyarakat sempurna yang
bagian-bagian pemerintahannya sudah lengkap dan pusat dari segalanya adalah
kepala negara yaitu subagai pengatur danpenggerak dalam setiap bagian dalam
pemerintahan.[12]
Oleh karena itu syarat yang diberikan al-Farabi untuk menjadi kepala negara
isa dibilang cukup tinggi yaitu: bertubuh sehat, berani, kuat, cerdas, pecinta
pengetahuan, serta keadilan dan memiliki akal mustafid yang dapat berkomunikasi
dkengan aksi kesepuluh, pengatur bumi dan penyampai wahyu. Sehingga orang yang
paling cocok untuk menjadi kepala negara yang sesuai syarat diatas adalah nabi
atau rasul.[13]
Sehingga, apabila syarat untuk menjadi kepala negara yang diajukan alFarabi
tidak dimiliki oleh seseorang tetapi dimiliki oleh beberapa orang, maka mereka
secara bersama harus bersatu dalam memimpin dan mengatur negara sebagai kepala
negara.[14]
Meskipun kepala negara adalah pusat dari pemerintahan tetapi diantara
pelaksanaan pemerintahan antara negara dan warganya harus saling membantu dan
bekerja samaserta rela berkorban untuk kepentingan bersama dan kepentingan
negara. Dilihat dari sisi ini berarti al-Farabi menepiskan bentuk negara
kapitalisme dan sosialisme komunis.[15]
Sebenarnya dalam penetapan kriteria sifat kepala negara al-Farabi
terpengaruh oleh pemikiran plato. Tetapi ada perbedaan yang mendasar antara
pemikiran keduanya dari sisi kejasmanian saja, sedangkan al-Farabi dalam
pemikirannyamenekankan kejasmanian dan spiritualm dan dia juga menambahkanbahwa
kepala pemerintahan harus bisa berhubungan dengan akal kesepuluh. Sehingga,
bisa disebut bahwa Al-Farabi adalah plato dalam mantel Nabi Muhammad.[16]
D. Filsafat Pendidikan
Dalam waktu
yang tak terlalu lama, kecemerlangan pemikiran Al-Farabi mampu mengatasi
reputasi gurunya dalam bidang logika. Sedangkan tata bahasa Arab di pelajarinya
dari seorang pakar tata bahasa dan linguistik kondang bernama Abu Bakr ibn
Saraj. Selain menguasai filsafat dan bahasa, Al-Farabi juga dikenal sebagai
ilmuwan yang berjasa dan memberi kontribusi dalam berbagai bidang ilmu seperti,
aritmatika, fisika, kimia, medis, astronomi, dan musik.[17]
Gelar guru
kedua,muallimu all-Tasni bagi al-farabi,menurut Hasan hanafi tidak hanya
berkaitan dengan keahliannya dalam bidangg logika dan komentar-komentarnya
dalam bidang karya-karya Aristoteles saja, tetapi karena kualitas karya-karya
al-farabi sebanding dengan karya karya Aristoteles.Dalam memberikan
komentar-komentarnya atas logika Aristoteles misalnya, paling tidak
setengah atau dua pertiga komentar-komentar tersebut dapat dianggap
sebagaikarya asli Al_farabi. Sebab sangat mustahil bagi al-Farabi untuk mellacak kembali sejarah Yunani
pada abad-abad permualan. Melalaui kemampuannya yang luar biasa di bidang
filsafat itulah al-farabi menguraikan konsep-konsep politik dan kenegaraan,
terutama yang terkait lansung dengan kepemimpinan Negara secara terkenal.[18]
Selama hidupnya al-farabi telah mengabdikan hidupnya dalam dunia ilmu
pengetahuan dan filsafat. Karya-karyanyha sangat banyak dan sebagian besar
ditulisketika dia berada di lingkungan istana Saif al-dawlah al-Hamdaniyah.
Al-qifthi dan ibn abi Usaibiah menyatakan bahwa sebenarnya karya-karya al
farabi adalah tidak kurang dari 70 buah. Buku-buku tersebut memuat berbagai
cabang ilmu pengetahuan dan filsafat. Sebagian karya-karya itu masih ada dan
sampai pada kita dan sebagian yang lain hilang. Karya-karya al-Farabi yang
masih ada bias kita dapatkan baik dalam bahsa aslinya (bahasa arab) maupun
dalam bentuk terjemahan dalam bahasa asing seperti bahasa inggris, Perancis,
Melayu,maupun dalam bahasa Indonesia.
Al-Farabi termasuk salah satu filsuf yang sangat besar perhatiannya
terhadap masalah-masalah social. Hal itu terlihat dari berbagai karya tulisnya.
Diantara karya-karya itu adalah,dua buku utama yang membahas masalah social dan
politik ,di samping itu dia juga memiliki ringkasan tentang undang-undang Plato
yang di tulis tangan dan masih tersimpan baik di perpustakan Laiden.[19]
Dalam pandangan al-Farabi, sebagaimana di sebut dalam al-Siyasah
al-Madaniyah dan Ara ahl Madinah al Fadhilah-secara natural manusia itu tidak
mungkin dapat memenuhi kebutuhan (pokok)-nya tanpa bantuan orang lain. Dia
tidak mungkin dapat hidup normal kecuali dengan cara berkumpul, berinterraksi
dan meleburkan diri dalam sebuah komonitas. Komonitas manusia itu ada yang
besar, sedang, dan kecil. Komonitas besar lterdiri dari umat dengan berbagi
karakteristik, namun mereka dapat menjadi suatu kesatuan. Dengan adanya sikap
saling pengertian diantara mereka,terjadilah sikap saling tolong menolong.
Komonitas sedang, hanya terrdiri dari satu ummat sedangkan komonitas yang kecil
adalah penduduk kota. Ketiga komonitas ini merupakan yang sempurna dan kota
merupakan bentuk komonitas pertama yang sempurna itu. Adapun
komonitas-komonitas lain adalah komonitas yang tinngal di desa-desa,
kampung-kampung,kompleks-kompleks, rumah-rumah. Komonitas-komonitas ini adalah
komonitas yang kurang sempurna, dan dan komonitas yang paling kurang
sempurna,adalah komonitas ada dalam keluarga yaitu suatu komonitas yang hanya
merupakan bagian dari kompleks, sedangkan kompleks adalah sebagian dari
kampung. Meskipun demikian, komonitas-komonitas yang kurang sempurna itupun
menurut al-Farabi telah memiliki peradaban tersendiri. Kemudian secara hirarkis
komonitas-komonitas kampung dan desa itu tunduk (pada peraturan)dan berada di
bawah (kepemimpinan) pemerintah kota. Kota merupakan persekutuan (yang telah
memiliki peradaban) adalah bagian dari ummat(manusia). Kota-kota itu tersebar
dalam berbagai tempat (wilayah).[20]
Pandangan sosiologis
yang demikian itu ditegaskan dalam karya al-farabi yang lain yaitu,Ara’
ahl-Madinah al-Fadhilla , menyatakan bahwa komonitas itu dibedakan atas tiga
jenis, yang menyatakan bahwa komonitas itu di bedakan atas tiga jenis,yaitu
besar, sedang, kecil. Bagi Plato, sebagai dinyatkan oleh Kess Bartens, tujuan
manusia adalah eudaimonia,’’well being’’ atau hidup yang baik.Tetapi hidup yang
baik tidak mungkin kecuali dalam polis saja.Plato tetap memihak pada cita-cita
yunani yang tua,yakni hahwa hidup manusia sebagai serentak juga berarti hidup
dalam polos.Ia menolak pendapat ‘’modren’’dalam arti menyeleweng dari tradisi
Yunani) yang sudah timbul pada kaum sofis, bahwa Negara hanya berasaskan nomos
(adat kebiasaan) saja dan bukan phisis(kodrat). Plato dan muridnya Aristoteles
tidak pernah ragu-ragu dalam kenyakinannya bahwa manusianya menurut kodratnya
merupakannya makhluk social,atau lebih tepat lagi,bahwa manusia menurut
kodratnya hidup dalam polis atau Negara.
Sebagai makhluk yang
berakal setiap orang yang tergabung dalam sebuah komonitas dan saling
berinteraksi dalam suatu komonitas, baik komonitas kecil, menengah maupun besar
(ummat), dan komonitas itu menjadi besar dan membentuk organisasi Negara dan
mereka sebagai warganya,setelah saling memenuhi kebutuhan pokoknyapara warga
memiliki tujuan utama yang ingin di capainya. Tujuan utama mereka itu merupakann
cerminan dari tujuan hidup yang ingin di raihnya.Setelah tujuan awal diraih
akan muncul dalam jiwa mereka perasaan-perasaan seperti puas, merasa
bermanfaat, terhormat dan lainsebagainya.Namun setelah itu ada yang belum
diperoleh dan dirasakan sebagi factor yang menyebabkan ketidaktentraman dalam
jiwanya. Itulah yang mereka ingin raih selanjutnya. Keadaan semacam itu membuat
mereka pada akhirnya berpaling kepada dari tujuan yang pertama ke tujuan
lain,setelah keperluan pokoknya teratasi.Tujuan yang ingin diraih itu adalah
suatu tujuan yang dinyakini lebih baik dari tujuan pertama, dapat membawanya
kepada ketentraman dan menjadikan hidup mereka berbahagi adalam arti yang
sebenarnya.
Keadaan sepertu itu yang digambarkan al-Farabi ketika membahas tentang
proses terjadinya perralihan tujuan hidup masyarakat di berbagai kota untuk
menuju kesempurnaan. Kota, sebagai miniature Negara, sebelum menemukan bentuk
idealnya yaitu kota utama/ideal dalam Negara ideal utama mengalami proses yang
sangat panjang hingga berliku hingga sampai kepada tujuan idealnya.
Dalam pembentukan kota utama ini kepemimpinan menjadi perhatian utama
al-farabi. Dalam hal ini dia merumuskan beberapa hal yang harus dimiliki oleh
pimpinan Negara apabila menghendaki terciptanya kesejahteraan dalam Negara
utama. Dia menyatakan bahwa pimpinan Negara haruslah memiliki ilmu-ilmu
teoritis yang dapat merelisasikan dalam kepemimpinanya sehingga aseptasi
masyarakat terhadap dirinya semakin kuat. Dia tidak hanya pandai tebar pesona
tetapi dapat mewujudkan gagasan-gagasannya secara nyata. Hal demikian tidak
akan dimiliki kecuaali orang-orang yang memahasi filsafat secara baik,dia
adalah filsuf sejati,bukan filsuf palsu atau filsuf pendusta yaitu para filsuf
yang mempelajari ilmu pengetahuan (toeritis) dan (kebenaran dan kebijaksanaan)
tetapi tidak mempraktekkannya.[21]
[1]. Yulian Wahyudi Asmin,
Seluk Beluk Filsafat Islam, PT. Remaja Rosdakarya,
Bandung, 1991, hal: 13
[5].
Taufiq Abdullah (et al), Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Pemikiran dan
Peradaban jilid IV, (Jakarta:PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 2002), h.
192
[8]. Amroeni Drajat, “Filsafat Islam Buat Yang
Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006, Hal. 73
[9].
Ensiklopedi Tematis Dunia Islam. Pemikiran
dan Peradaban. Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve. hlm 185. Vol 4.
[11].
Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1996, Cet. VI,
Hal. 82
[12].
Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet.
III, Hal. 32
15. Amroeni Drajat, “Filsafat
Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara Pratama, 2006, hal, 44
[15].
Abu Bakar Aceh, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, 1982. Cet 2. Hal
51
[16].
Amroeni Drajat, “Filsafat Islam Buat Yang Pingin Tahu,”, Jakarta: Gelora Aksara
Pratama, 2006, Hal. 48
[17]. Thawil Akhyar Dasoeki. Sebuah Kompilasi Filsafat
Islam, (Semarang : CV. Toha Putra, 1993), hlm. 27.
[18].
Abu Bakar Aceh, “Sejarah Filsafat Islam”, Sala: CV. Ramadhani, 1982. Cet 2. Hal
51
[19].
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
bintang, 1992), h.29
[20].
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme dalam Islam, (Jakarta: Bulan
bintang, 1992), h 32
[21].
Hasyimsyah Nasution, “Filsafat Islam”, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002, Cet.
III, Hal, 56.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon