iklan banner

Kedudukan Sunnah (Hadist) Sebagai Ajaran Islam



H{adi>th merupakan sumber kedua setelah Al-Qur’an yang keberadaannya selalu terkait dan sinergi serta tidak dapat terpisahkan[1]. H{adi>th secara substansi selalu merujuk pada Al-Qur’an, baik itu sebagai penjelas (bayan), merinci dari yang mujmal atau mentaqyid dari yang mutlak, taukid, (penguat) terhadap penjelasan Al-Qur’an maupun dalam penetapan hukum[2].
Kedudukan h{adi>th yang menempati posisi signifikan, membuat sebuah opini, bahwa apakah seluruh h{adi>th Nabi menduduki tempat yang istimewa tanpa memandang derajat sebuah h{adi>th. Ulama h{adi>th menetapkan beberapa kriteria yang yang dapat menempatkan posisi h{adi>th sebagaimana mestinya. Mereka menetapkan kriteria (kaedah) baik itu berhubungan dengan sanad dan matan.[3]
H{adi>th atau Sunnah merupakan kajian dan bidang keilmuan yang sangat berperan baik dalam tataran aqidah maupun dalam perkembangan agama Islam.   Al-Qur’an merupakan rujukan penting dalam menetapkan hukum Islam, namun di satu sisi ia diturunkan dengan memakai lafal global dan tidak mudah untuk dipahami, hal ini membutuhkan satu  keilmuan yang solutif untuk menerapkan apa-apa yang diserukan oleh Al-Qur’an.
H{adi>th merupakan bagian yang tak dapat dipisahkan dalam memahami Al-Qur’an. Maka dari itu sudah seyogyanya bahkan merupakan keharusan untuk mengerti dan memahami posisi h{adi>th dalam hukum Islam.
Selanjutnya ... Download


[1] Ada beberapa golongan besar yang berbicara tentang keberadaan Sunah atau Hadith. Imam Syafi’I (W. 757-820 M) dalam kitabnya Al-Umm menjelaskan ke dalam tiga point penting, yaitu: 1) Golongan yang menolak seluruh sunah; 2) Golongan yang menolak sunah, kecuali sunah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk Al Qur’an; dan 3) Golongan yang menolak sunah yang berstatus ahad, golongan ini hanya menerima hadith dengan status mutawatir. Penjelasan ini ditampilkan untuk mengantisipasi terhadap pertanyaan apakah benar bahwa sunah itu sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an.
[2] Muhammad ‘Ajjaj Al-Qur’an-Khatib, Us{ul Al-h{adi>th Ulumuh wa Mustalahuh (Beirut: Dar Al-Fikr, 1989), 46. Untuk penjelasan bahwa Nabi menetapkan hukum sendiri terhadap hukum yang tidak terdapat dalam Al-Qur’an yang di kalangan ulama terjadi terjadi kontroversi. Alasan yang sangat dominan adalah bahwa Al-Qur’an adalah kitab sempurna dan tidak ada yang alpa dalam Al-Qur’an, semuanya tercantum di sana.
[3] Imam al-Hakim Abi Abdillah Muhammad Ibnu Abdillah, Kitab Ma’rifah ‘Ulu>m al h{adi>th (Kairo: Maktabah al-Mutanabi, t.th.), 58. Abu> ‘Abd. Alloh Muhammad ibn Idris as-Syafi’I, ar Risalah, naskah diteliti dan disyarh oleh Ahmad Muhammad Syakir (Kairo: Maktabah Dar at Turas, 1979), Juz. II, 369-371.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment