PENDAHULUAN
Ilmu
Hudhuri adalah sumbangsih nyata epistemologi Islam yang mendasarkan pengetahuan dengan
kehadiran (al-Ilmu al-Hudhuri) yang mempunyai pengertian berbeda dengan pengetahuan melalui
konsep atau konseptualisasi (al-Ilmu al-Hushuli).
Dengan teori ini, para filosof Islam berusaha mengkritisi para filosof yang mengembangkan teori epistemologi
seperti Russel, Kant, Wittgenstein, dan lain sebagainya, tanpa adanya sebuah
kesadaran tentang realitas
makna “pengetahuan dengan kehadiran” atau yang sering disebut dengan Ilmu Hudhuri, hal ini karena menurut filosof Islam, pada hakikatnya
manusia mempunyai kesadaran dan pengetahuan yang tidak diperoleh melalui representasi atau data indra tetapi
melalui pikiran yang mengetahui semua hal tanpa representasi (data indrawi).[1]
Di sisi lain tasawuf juga menawarkan
sebuah konsep yang mirip dan hampir sama dengan Ilmu Hudhuri, tasawuf merupakan tahapan
yang harus dilalui seseorang untuk mencapai derajat ma’rifat bi allah.
Konsep tasawuf ini dikemukakan oleh para shufi (sebutan bagi orang yang
sedang menempuh konsep ini) untuk dapat “bersatu” dengan tuhan.
Kedua konsep ini sangat menarik
untuk dibahas dan dikaji dalam rangka mencapai derajat tertinggi yaitu ma’rifat
bi allah, karena keduanya mencoba untuk mengenal lebih dekat dengan “sosok”
tuhan.
Dalam pembahasan ini penulis mencoba
memaparkan komparasi antara Ilmu hudhuri dan tasawuf sebagai dua konsep
yang hampir sama, walaupun demikian, tidak menutup kemungkinan bila antara
kedua konsep tersebut terdapat beberapa perbedaan yang menjadi ciri khas tiap
satu dari keduanya.
PERBANDINGAN ANTARA ILMU HUDURI DAN
TASAWUF
Mehdi mengatakan bahwa ma’rifat
adalah sejenis pengetahuan melalui kehadiran atau yang lebih populer disebut
dengan ilmu hudhuri.[2]
Namun dalam keterangan lain Sayyed Hossein Nasr mengatakan bahwa untuk
mendapatkan sebuah tingakatan tertinggi yaitu haqiqat seseorang harus
melewati beberapa tingkatan yang tidak bisa ditinggalkannya.[3]
Tasawwuf adalah jembatan menuju haqiqat
untuk mencapai ma’rifat, bukan tanpa alasan apabila tasawuf ini
dinamakan sebagai jembatan, karena tasawuflah yang menghubungkan antara syariat
menuju haqiqat. Apabila digambarkan maka syariat adalah garis tepi
sebuah lingkaran sedangkan jari-jarinya adalah thariqat dan poros tengahnya
adalah haqiqat, thariqah inilah yang kemudian disebut dengan tasawuf.[4]
Syari’at
Thariqat/tasawuf
Haqiqat/ma’rifat
Ilustrasi kedudukan tasawuf/tariqat
diantara shari’ah dan haqiqat
menurut Sayyed Hossein Nasr
Shihabuddin Mahmud
secara tegas menyatakan tentang pentingnya peran thariqat sebagai langkah lanjutan
bagi orang yang sudah menjalankan shariah. Beliau menyatakan:
Tasawuf
sendiri muncul di Timur Tengah pada abad ke-8,[6]
tetapi para penganutnya
kini terdapat di seluruh dunia. Para ahli berselisih pendapat tentang asal kata
tasawuf, beberapa dari
mereka berpendapat bahwa kata tasawuf berasal dari kata صوف yang berarti mantel sederhana yang
biasa dipakai para sufi. Ada pula yang berpendapat bahwa kata
tasawuf berasal dari kata صفا
yang berarti bersih/suci. Ada pula yang berpendapat bahwa kata
tasawuf berasal dari kata أصحاب الصف (orang-orang serambi) yang
merupakan penganut islam pada masa nabi.[7]
Tasawuf cenderung dimaknai dengan usaha untuk lebih mendekatkan
diri kepada Allah sedekat mungkin melalui metode pensucian rohani atau dengan
memperbanyak amal dan ibadah. Metode pensucian diri yang dilakukan dengan
dzikir dan amalan itulah yang diistilahkan dengan thariqah atau yang biasa
disebut tarekat yang dilaksanakan oleh para murid tasawuf melalui bimbingan seorang mursyid.
Dalam hal ketuhanan, tujuan
Ilmu hudhuri dan tasawuf relatif sama yaitu ma’rifat bi allah. Ilmu
hudhuri berusaha “menghadirkan” tuhan sehingga ia bisa mencapai derajat
ma’rifat karena antara diri dan tuhannya seoalah tidak
terdapat tabir pemisah. Sedangkan tasawuf menghantarkan sang sufi sampai
kepada inti dan tujuan dari segala perjalanan hidup yaitu haqiqat.
Namun
demikian, dalam tasawuf terdapat beberapa istilah menarik yang bisa
digunakan sebagai sebuah cara untuk ma’rifat bi Allah,
diantaranya, al-Fana, al-Ittihad, al-hulul, al-Wahdat as Syuhud,
al-Isyraqiyah, Insan Kamil, dan Wahdat al-Wujud. Yang menjadi serangkaian
cara untuk mengenal Allah.[8]
Al-Fana adalah hilangnya
sebuah kesadaran diri dari
hal-hal yang bersifat inderawi karena adanya sesuatu agung yang
dilihatnya, seseorang yang mencapai maqam fana’ ini seolah tidak melihat
sesuatupun di sekelilingnya melainkan sesuatu yang agung itu, hal ini
karena ia sudah hilang kesadaran dirinya disebabkan ia telah melihat sesuatu
yang dapat menenggelamkan kesadarannya.
Selanjutnya pengertian al-Ittihad adalah bersatu dengan Tuhan, sehingga wujudnya kekal.
Didalam perpaduan itulah ia menemukan hakikat dan jati dirinya sebagai manusia yang
berasal dari Tuhan.
Dari paham al-Ittihad berkembang menjadi pengertian al-hulul. Dalam paham ini Tuhan mengambil tempat
dalam tubuh manusia tertentu, yaitu dia yang telah mampu membersihakan dirinya dari sifat kemanusiaannya. Hal ini dikarenakan
manusia mempunyai sifat dasar yang
ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau yang bisa
disebut lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut.
Apabila seseorang telah dapat mengendalikan sifat-sifat kemanusiaannya dan
mengembangkan sifat-sifat Ilahiyahnya, maka Tuhan akan mengambil tempat
dalam dirinya dan terjadilah satu kesatuan manusia dengan Tuhan.
Al-Wahdat as Syuhud berbeda dari
pengertian di atas, yaitu, menemukan sebuah keadaan mistis Cinta Illahi,
dengan latihan dan konsentrasi batin yang teratur, maka cintanya kepada Allah
semakin mendalam dan menguasai seluruh ruang hatinya sehingga dapat merasakan
getaran cahaya Tuhan dan akhirnya yang dirasakan dan dilihatnya hanyalah satu yaitu Tuhan yang Esa. Kesatuan
dalam hal ini bukanlah penyatuan dari dua wujud, tetapi penyatuan dalam arti
yang disaksikan hanya satu saja, yaitu Wujud Tuhan Yang Maha Esa.
al-Isyraqiyah lebih tepat
diartikan sebagai penyinaran atau iluminasi, dalam arti mampu mengidentifikasi
eksistensi manusia dengan Nur al-Anwar (Cahaya Suci). Menggabungkan
antara rasio dan rasa dalam mengidentifikasi eksistensi.
Selanjutnya adalah al insan al kamil,
Sebagai manusia sempurna tentunya memiliki wujud yang positif. Sesuatu itu bisa
dikatakan sempurna atau tidak, tergantung pada proporsi wujud positif dan
negatif yang dimilikinya, atau dalam proporsi terhadap jumlah atribut Tuhan
yang dimiliki melalui tajalliyat. Wujud yang paling lengkap dalam menerima atribut Tuhan adalah Insan
Kamil (manusia
sempurna).
Di dalamnya terdapat prinsip-prinsip
Realitas Mutlak, sehingga manusia diibaratkan sebagai cermin yang memantulkan
semua kesempurnaan nama dan
Sifat Tuhan.
Sedangkan pengertian Wahdat al-Wujud
yaitu bersatunya manusia dengan tuhannya. Hal ini dapat diibaratkan sebagaimana orang yang melihat bayangannya dalam
beberapa cermin. Betapapun banyak bayangan itu, tetapi orangnya hanyalah satu, dan bayangan itu tidaklah mempunyai substansi.
Menurut Harun Nasution, perjalanan sufi
dimulai dari beberapa tingkatan samai seorang ‘abid bisa mencapai
derajat tertinggi yaitu ma’rifat bi allah. Beberapa tingkatan itu
diantaranya: wara’ faqr, tawakkal dan ridla.[9]
PANDANGAN ILMU
HUDURI DAN TASAWUF TENTANG MANUSIA DAN TUHAN
“Barang
siapa yang mengenal dirinya maka ia akan mengenal tuhannya”. Kutipan ini sering
digunakan sebagai dalil dalam membahas pengetahuan dengan kehadiran, betapa tidak,
seseorang yang telah mengetahui posisi dan keadaan dirinya maka ia seolah telah
menemukan kedudukan dirinya dihadapan tuhannnya. Secara tidak langsung pula
berarti ia telah mengenal siapa dan bagaimana tuhannya.
Menurut
hemat penulis, Ilmu hudhuri dan tasawuf cenderung berbeda dalam menilai
kedudukan manusia dan tuhan, hal ini karena disebabkan beberapa faktor yang
melatar belakangi kedua disiplin ilmu tersebut, selain itu juga adanya
tingkatan-tingkatan dalam tasawuf yang tidak dimiliki oleh ilmu hudhuri.
Tasawuf
memandang manusia sebagai seorang budak yang diwajibkan untuk selalu mengabdi
kepada tuhannya, ia dituntut untuk mengetahui dengan baik apa dan bagaimana
yang dikehendaki tuhannya. Ketika ia telah berusaha dengan mengenal lebih dekat
siapa dan apa yang dikehendaki tuhannya, maka ia akan tahu betapa tuhannya
sangatlah sayang kepadanya sehingga ia akan hormat melebihi hormatnya kepada
siapapun.
Sesorang
yang menempuh jalan tasawuf ini akan memandang tuhannya sebagai sosok yang
sangat ia dambakan, sehingga tak jarang bila ia merelakan dirinya menjadi
penebus dari apa yang diehendaki tuhannya, ia dengan senang hati mengorbankan
dirinya tanpa ada perasaan berat sedikitpun. Hal ini dikarenakan harapannya
yang teramat sangat besar untuk mendapat cinta dari tuhannya.
Dalam
beberapa literatur banyak sekali yang menyebutkan sebuah keadaan jadzab
(gilanya) seorang sufi karena dimabuk cinta kepada tuhannya, hal ini karena ia seolah
menemukan sebuah kenikmatan yang teramat sangat ketika ia teringat kepada
tuhannya. Disisi lain, ilmu hudhuri tidak tidak membicarakan sebuah keadaan
tertentu ketika seseorang telah benar-benar bisa “menghadirkan” tuhan kedalam
kehidupannya.
Agus Mustofa
dalam bukunya menyatakan bahwa manusia terdiri dari 3 lapisan, yaitu: badan,
jiwa dan ruh.[10]
Posisi tasawuf dan ilmu hudhuri hanya tertumpu pada jiwa saja, tidak pada badan
ataupun ruh, ketika seseorang berusaha menghadirkan tuhan, maka yang dimaksud
adalah menghadirkan tuhan dalam jiwanya, karena jiwa inilah yang ditulari
sifat-sifat Allah lewat keberadaan ruh dalam badan.
Tasawuf
berusaha mendapatkan cinta dari Allah dari bawah menuju atas, dalam arti
seorang sufi mendekatkan diri sedikit demi sedikit melalui fase dan
tingkatannya sehingga ia mendapatkan apa yang didambakan. Hal ini tak ubahnya
menaiki tangga untuk sampai pada lantai berikutnya.
Ketika
ia telah sampai pada tujuannya, yaitu maqam ma’rifat, maka satu sisi ia seolah
telah bersatu dengan tuhannya, hingga akhirnya ia akan menemukan bahwa tuhan
seperti kesatuan bayang-bayang dengan benda yang memancarkan bayang-bayang itu
sendiri.[11]
Sekali lagi konsep persatuan (wahdat al wujud) ini hanya pada tataran
jiwa, bukan ruh apalagi badan.
Tasawuf
mengetahui porsinya sebagai seorang hamba yang tidak akan mungkin menjadi tuhan
walaupun ia telah merasa teramat sangat dekat dengan tuhannya. Hal itu karena
para sufi menyadari kehambaan dihadapan tuhannya yang biasa disebut dengan ubudiyyah.[12]
Dari sini dapat disimpulkan bahwa seorang sufi tidak akan pernah meninggalkan kewajibannya
beribadah kepada tuhannya.
Dalam
ilmu hudhuri, suhrawardi yakin bahwa seseorang tidak akan dapat melakukan
penyelidikan mendalam terhadap tuhan, kecuali ia telah masuk secara mendalam
kepada pengetahuan tentnag dirinya sendiri. Hal ini diilhami oleh perkataan
aristoteles, “berpikirlah tentang dirimu sendiri sebelum engkau berpikir tentang yang lain. Jika itu engkau lakukan,
engkau akan menemukan bahwa kedirian dirimu sendiri yang membantumu
menyelesaikan masalahmu”.[13]
Selain
itu, karakteristik ilmu hudhuri mempunya dimensi yang sedikit berbeda dengan
filsafat. Hal ini karena ilmu hudhuri tidak membutuhkan data inderawi dan objek
transitif eksternal. Dalam epistemologi sadra, ada lima ciri khas ilmu hudhuri,
diantaranya:
- Ilmu hudhuri tidak berperantara.
- Pengetahuan terbebas dari konsepsi (korespondensi) dan bebas dari assensi (verivikasi).
- Pengetahuan ini tidak dapat dideskripsikan dan dipindahkan kepada orang lain.
- Pengetahuan ini tidak memiliki kekeliruan dan kesalahan
- Pengetahuan ini bergantung pada pengalaman spiritual subyek.[14]
[1] Mehdi Hairi Yazdi. Menghadirkan
Cahaya Tuhan. (Mizan Media Utama. Bandung. Cet. I. 2003) 28-29
[2] Mulyadhi Kartanegara. Menyelami
Lubuk Tasawuf. (Erlangga, 2006) 131
[3] Sayyed Hossein Nasr. Mereguk
Sari Tasawuf (Mizan Media Utama. Bandung. Cet. I. 2010) 16
[5] Shihabuddin Mahmud Ibn
Abdulllah, Tafsir Al Alusi, (Maktabah Shameelah Ishdar Thani, vol 5) 66
[6] http://ms.wikipedia.org/wiki/Kesufian,
di unduh pada 20 Desember 2012
[7] http://ms.wikipedia.org/wiki/Kesufian,
di unduh pada 20 Desember 2012
,http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=1319&cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&n=ac22031e'
border='0' alt='' /></a>, di posting 09
Juni
2012.
[14] http://pasaronlineforall.blogspot.com/2010/12/ilmu-hudhuri.html,
diposting 16 Desember 2010.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon