iklan banner

PENULISAN HADITH PADA MASA SAHABAT DAN TABI’IN


A.    Penulisan H{adi>th Pada Masa Sahabat dan Ta>bi’i>n
Sumber pembentukan shari>’ah pada masa Rasulullah adalah al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah SAW. Wahyu turun lalu Rasulullah menyampaikannya kepada seluruh manusia, menjelaskan maksudnya kemudian menerapkan hukumnya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga Rasulullah SAW menjadi rujukan utama dalam mengatasi segala persoalan umat, baik dalam bidang hukum, fatwa, peraturan keuangan maupun perpolitikan dan kemiliteran. Beliau menangani berbagai persoalan itu atas kesaksian para Sahabat. Tak berapa lama beliau kembali menghadap sang pencipta, dan terputuslah wahyu, sehingga umat Islam hanya memiliki al-Qur’an dan al-Sunnah (H}adi>th).
Pada masa Rasulullah masih hidup, al-H{adi>th belum mendapat pelayanan dan perhatian sepenuhnya seperti al-Qur’an. Para sahabat, terutama yang mempunyai tugas istimewa selalu mencurahkan tenaga dan waktunya untuk mengabadikan ayat-ayat al-Qur’an diatas alat-alat yang mungkin dapat dipergunakannya. Tetapi tidak demikian halnya terhadap al-H{adi>th, kendatipun para Sahabat sangat memerlukan petunjuk-petunjuk dan bimbingan Rasulullah dalam menafsirkan dan melaksanakan ketentuan-ketentuan di dalam al-Qur’an, namun mereka belum membayangkan bahaya yang dapat mengancam generasi mendatang selama al-H{adi>th belum diabadikan dalam tulisan.[1] Para sahabat menyampaikan sesuatu yang ditanggapi dengan panca inderanya dari Rasulullah dengan berita lisan belaka. Pendirian ini mempunyai pegangan yang kuat, yakni sabda Rasulullah SAW:
لا تكتبوا عني شيئا إلا القران، ومن كتب عني شئا غير القران، فليمحه وحدثوا عني ولا حرج، ومن كذب علي متعمدا فليتبوأ مقعده من النار.(رواه مسلم)
“Jangan kamu tulis sesuatu yang telah kamu terima dariku selain al-Qur’an, barangsiapa menuliskan yang ia terima dariku selain al-Qur’an hendaklah ia hapus, ceritakan saja yang kamu terima dariku, tidak mengapa. Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka hendaklah ia menduduki tempat duduknya di neraka”. (Riwayat Muslim)

H{adi>th tersebut menganjurkan agar meriwayatkan H{adi>th dengan lisan, juga memberi ultimatum kepada seseorang yang membuat riwayat palsu. Larangan penulisan H{adi>th tersebut ialah untuk menghindarkan adanya kemungkinan sebagian sahabat penulis wahyu memasukkan H{adi>th ke dalam lembaran-lembaran tulisan al-Qur’an, karena dianggapnya segala yang dikatakan Rasulullah SAW adalah wahyu semuanya. Lebih-lebih bagi generasi yang tidak menyaksikan zaman tanzi>l (turunnya wahyu), tidak mustahil adanya dugaan bahwa seluruh yang tertulis adalah wahyu semuanya, hingga bercampur aduk antara al-Qur’an dengan al-H{adi>th.[2]
Disamping Rasulullah SAW  melarang menulis al-H{adi>th beliau juga memerintahkan kepada beberapa orang sahabat tertentu untuk menulis al-H{adi>th. Misalnya H{adi>th yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah r.a. menerangkan bahwa sesaat ketika kota Mekkah telah dikuasai kembali oleh Rasulullah SAW, beliau berdiri berpidato di hadapan para manusia. Di waktu beliau berpidato, tiba-tiba seorang laki-laki yang berasal dari Yaman yang bernama Abu Shah berdiri dan bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Tulislah untukku! Rasulullah menjawab: “Tulislah oleh kamu sekalian untuknya”. Menurut Abu Abd al-Rahman bahwa tidak ada satupun riwayat tentang perintah menulis H{adi>th yang lebih sah selain H{adi>th ini. Sebab Rasulullah dengan tegas memerintahkannya.
Sejarah mencatat adanya beberapa naskah tulisan al-H{adi>th yang bersifat pribadi dari beberapa sahabat dan Ta>bi’i>n. Para sahabat yang mempunyai naskah H{adi>th, antara lain : ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash ( 7 sebelum hijriah – 65 H.), adalah salah seorang sahabat yang selalu menulis apa yang pernah didengarnya dari Rasulullah SAW. Rasulullah SAW mengizinkan kepada ‘Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash untuk menulis apa-apa yang didengarnya dari beliau, dikarenakan ia adalah salah seorang penulis yang baik. Naskah ‘Abdullah bin ‘Amr bin Ash dinamai dengan “al-Sahifah al-Sadiqah”, karena ditulisnya secara langsung dari Rasulullah SAW yang merupakan sebenar-benarnya atau yang diriwayatkan daripadanya.
Naskah H{adi>th al-Sadiqah berisikan H{adi>th sebanyak 1000 H{adi>th dan dihafal serta dipelihara oleh keluarganya sepeninggal penulisnya. Cucunya yang bernama ‘Amr bin Shu’aib meriwayatkan H{adi>th-H{adi>th tersebut sebanyak 500 H{adi>th. Bila naskah al-Sadiqah tidak sampai kepada kita menurut bentuk aslinya, maka dapatlah kita temukan secara kutipan pada kitab Musnad Ahmad, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Nasa’iy, Sunan al-Turmudhi dan Sunan Ibnu Majah.[3]
Diantara Ta>bi’i>n yang mempunyai naskah al-H{adi>th ialah Jabir bin ‘Abdullah al-Ansary (16 H – 73 H) Naskah Jabir bin ‘ Abdullah al-Ansary dinamai “ Sahifah Jabir “. Qatadah bin Da’amah al-Sudusy memuji naskah Jabir ini dengan katanya : “ sungguh sahifah ini lebih kuhafal daripada surat al-Baqarah”.[4] Kemudian Hamam bin Munabbih (40-131 H). Ia adalah seorang Ta>bi’i>n yang alim yang berguru kepada sahabat Abu Hurairah r.a dan mengutip H{adi>th dari Rasulullah SAW banyak sekali, H{adi>th-H{adi>th tersebut kemudian dikumpulkannya dalam satu naskah yang dinamai “al-Sahifah al-Sahihah”. Naskah al-Sahifah al-Sahihah tersebut berisikan H{adi>th sebanyak 138 H{adi>th.[5]
Imam Ahmad di dalam musnadnya menukil H{adi>th-H{adi>th Hamam bin Munabbih keseluruhannya. Dan imam Bukhary banyak sekali menukil H{adi>th-H{adi>th tersebut ke dalam kitab sahihnya. Ketiga buah naskah H{adi>th tersebut adalah diantara sekian banyak tulisan H{adi>th yang ditulis secara pribadi oleh para sahabat dan Ta>bi’i>n  yang muncul pada abad pertama.

 B.     Metode Sahabat dan Tabi’in dalam menjaga H{adi>th
Antusias Sahabat dan Ta>bi’i>n dalam memegang teguh Sunnah suci merupakan kebaikan peneladanan mereka kepada Rasulullah SAW. Sikap mereka mengikuti jejak-jejak beliau, kedisiplinan mereka menerapkan hukum-hukum beliau serta keteguhan mereka. Para Sahabat dan Ta>bi’i>n telah menempuh jalan lurus dalam menjaga H}adi>th Nabawi. Hal ini terlihat jelas dalam sikap hati-hati mereka ketika meriwayatkan H}adi>th dan kecermatan mereka menerima berbagai khabar. Ini tentu saja disamping apa yang telah dipaparkan berkenaan dengan keteguhan mereka memegang sunnah, antusias mereka meneladani dan mengikuti jejak Rasulullah SAW. Diantara metode Sahabat dan Ta>bi’i>n dalam menjaga H}adi>th adalah sebagai berikut:
1.      Kehati-hatian Sahabat dan Ta>bi’i>n dalam meriwayatkan H}adi>th
Para Sahabat sangat berhati-hati dalam meriwayatkan H{adi>th Rasulullah SAW . karena khawatir terjerumus pada kesalahan dan karena takut ada kesalahan masuk ke dalam Sunnah. Padahal Sunnah merupakan sumber hukum pertama sesudah al-Qur’an al-Karim. Dan karena itu, mereka selalu menempuh setiap jalur yang bisa menjaga H}adi>th tetap bercahaya. Kewira>’ian dan ketakwaan mereka mendorong mereka bersikap moderat dalam meriwayatkan H}adi>th dari Rasulullah SAW. Bahkan ada diantara mereka yang memilih membatasi diri dari periwayatan H}adi>th karena alasan menghormatinya, bukan karena enggan terhadapnya. Di kalangan Sahabat, Umar ibn al-Khat}t}a>b dikenal sangat membenci orang yang memperbanyak meriwayatkan H}adi>th.[6]
Ada juga Sahabat yang gemetar, dan berubah warna mukanya ketika meriwayatkan sesuatu dari Rasulullah SAW, karena sikap hati-hati dan menghormati H}adi>th Rasulullah SAW. Sebagai contoh yang diriwayatkan oleh A>mir Ibn Maimun, katanya : aku tak pernah luput menghadiri majlis Ibn Mas’ud yang diselenggarakan setiap kamis sore. Ibn Maimun berkata : tetapi aku tidak mendengar sesuatu pun dari beliau dari perkataan Rasulullah SAW. “ suatu sore, beliau mengatakan : “ Rasulullah SAW. Bersabda “. Lalu beliau tertunduk, lalu aku melihat beliau lebih dekat lagi. Kemudian beliau berdiri dalam keadaan bergerak-gerak ghamisnya, meleleh air matanya dan menggelembung urat lehernya. Ia berkata : atau dalam keadaan yang kurang dari itu, atau lebih dari itu, atau hampir seperti itu, ataupun yang serupa dengan hal itu.[7]
Dalam hal ini, metode Abu Bakar dan Umar dalam menyelesaikan ketentuan hukum sangat populer. Abu bakar, bila diajukan kepadanya suatu hukum, maka beliau akan memperhatikan Kitabullah. Para sahabat melihat metode Umar terdapat penjagaan Sunnah, penekanan pada masyarakat untuk cermat terhadap apa saja yang mereka dengarkan dan merasa cukup dengan apa yang mereka sampaikan. Mereka memenuhinya secara moderat tak lebih dan tak kurang. Bila para sahabat menghendaki mengurangi periwayatan, maka sebenarnya maksud mereka adalah sikap hati-hati menjaga H}adi>th dan memberikan rambu-rambu dalam meriwayatkannya. Juga agar bisa memahami yang diriwayatkan dan menjaga serta mengingatnya secara akurat.[8]
Ta>bi’i>n dan generasi sesudah mereka juga menempuh metode Sahabat tersebut. Sehingga mereka sangat berhati-hati dalam meriwayatkan H}adi>th dan mencela sikap memperbanyak periwayatan H}adi>th, karena khawatir mengurangi bahkan menghilangkan daya nalar dan pemahaman.
2.      Kecermatan Sahabat dan Ta>bi’i>n dalam menerima riwayat
Islam memerintahkan agar cermat dalam menerima berita, melarang dusta dan memerintahkan mengatakan yang benar. Wahyu ini dibawa dan disabdakan oleh Rasulullah SAW, Serta dipraktekkan oleh seluruh Sahabat dan ulama’, baik mutaqaddimi>n maupun muta’akhkhiri>n juga menempuh cara itu. Dalam hal ini, Allah SWT berfirman dalam Surah al-Hujura>t ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ (الحجرات:6)
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.

Demikianlah, kaum muslimin diperintahkan untuk jujur dalam segala hal, dapat dipercaya dan bersikap adil serta meneliti kebenaran dan menghindari kebatilan. Oleh karena itu, tokoh-tokoh H}adi>th dan para kritikus sangat berhati-hati dalam menerima H}adi>th. Mereka sangat teliti dan cermat terhadap H}adi>th. Mereka sangat teliti dan cermat terhadap H}adi>th yang diriwayatkan. Metode ini ditempuh oleh Sahabat dan Ta>bi’i>n serta dianut pula oleh generasi sesudah mereka. Mereka berusaha menempuh segala cara yang memberikan jaminan bagi mereka akan kes}ahihan yang diriwayatkan dan kapasitas pembawanya, dengan cara mencari H}adi>th dari perawi lain, memadukan jalur-jalurnya dan kadang-kadang merujuk pula kepada tokoh-tokoh yang kompeten dalam bidangnya.
Sungguh mutlak, kaum muslimin mencermati H}adi>th Rasulullah SAW dan menelitinya, karena ia merupakan sumber kedua setelah al-Qur’an. Seperti kecermatan yang dilakukan oleh Sahabat, Ta>bi’i>n dan generasi sesudah mereka dalam meriwayatkan H}adi>th, kaum muslimin juga berhati-hati dalam menerima khabar dari Rasulullah SAW.[9] Contoh kecermatan dan kehati-hatian Sahabat dan generasi sesudah mereka tak terhitung jumlahnya, contohnya sebagai berikut:
a.       Al-H}a>fiz} al-Dhahabi berkata: Abu Bakar adalah orang yang pertama mempraktekkan sikap hati-hati dalam menerima khabar. Ibn Shiha>b meriwayatkan dari Qubaisah ibn Dhu’aib, bahwa ada seorang nenek datang kepada Abu Bakar meminta fatwa tentang hak waris baginya. Beliau mengatakan: aku tidak menemukan bagianmu dalam Kitabullah, dan aku juga tidak mengetahui, Rasulullah SAW menyebutkan sesuatu untukmu.
b.      Diriwayatkan dari Bushr ibn Sa’id bahwa ia berkata: ‘Uthman datang ditempat wudhu’, lalu minta diambilkan air wudhu’. Kemudian beliau berkumur dan membersihkan bagian dalam hidung, kemudian membasuh muka tiga kali, dua tangan tiga kali, lalu mengusap sebagian kepala tiga kali dan membasuh kaki tiga kali pula. Kemudian beliau berkata:”saya melihat Rasulullah SAW seperti ini dalam berwudhu’.[10] 
Itulah beberapa H}adi>th yang menjelaskan metode Sahabat dalam mencermati dan memberi pengukuhan dalam menerima berbagai Khabar. Namun selamanya ini tidak berarti bahwa untuk menerima H}adi>th, Sahabat mempersyaratkan adanya dua periwayat atau lebih atau adanya kesaksian dari orang-orang selain periwayat ataupun periwayat harus diminta bersumpah terlebih dahulu, kemudian bila tidak ada hal-hal tersebut mereka akan menolaknya. Tetapi mereka bermaksud mempraktekkan sikap hati-hati dalam menerima berbagai H}adi>th.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
1.      Pada masa-masa awal Islam Rasulullah melarang untuk menulis Hadith untuk memelihara agar tidak bercampur dengan al-Qur’an, tetapi setelah jumlah kaum muslimin semakin banyak beliau memperbolehkan untuk menulisnya. Diantara Sahabat yang diperintahkan untuk menulis Hadith adalah ‘Abdullah bin ‘Amr bin Ash dan Jabir bin ‘Abdullah al-Ansary.
2.      Metode yang dipakai oleh para Sahabat dan Tabi’in dalam menjaga hadith adalah dengan bersikap hati-hati dalam meriwayatkan Hadith, serta kecermatan mereka dalam menerima riwayat.


DAFTAR PUSTAKA

Abbas, Hasjim. "Pembakuan  Redaksi (Matn) Hadis Pasca  Al-Kutub  Al-Sittah dalam Konteks Istinbat Hukum", Al-Tahrir: Jurnal Pemikiran Islam, Vol. 2/No. 1/Januari 2002.

Ibn Yazid, Muhammad. Sunan ibn Majah Juz 1. Mesir: t.p., 1963.
Khatib (al), Muhammad Ajaj. al-Sunnah Qabla al-Tadwin. Mesir: Maktabah Wahbah, 1963.

Khatib (al), Muhammad Ajaj. Ushul al-Hadits. Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998.

Rahman, Fatchur. Ikhtisar Musthalahul Hadits. Bandung: PT . al-Ma’arif, 1974.

Shaibani (al), Imam Ahmad ibn Hanbal. Musnad al-Imam Ahmad. Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.

Solahudin, M. Agus dan Suyadi, Agus. Ulumul Hadits. Bandung:  Pustaka Setia, 2009.


[1] Fatchur Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits (Bandung: PT. al-Ma’arif, 1974), 46.
[2] Ibid, 47.
[3] M. Agus Solahudin dan Agus Suyadi , Ulumul Hadits ( Bandung:  Pustaka Setia, 2009 ), 62.
[4] Rahman, Ikhtisar Musthalahul Hadits, 49
[5] Ibid, 50.
[6] Muhammad Ajaj al-Khatib, Ushul al-Hadits (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1998), 77.
[7] Muhammad ibn Yazid, Sunan ibn Majah Juz 1(Mesir: t.p., 1963), 8
[8] Muhammad Ajaj al-Khatib, al-Sunnah Qabla al-Tadwin (Mesir: Maktabah Wahbah, 1963), 56.
[9] Al-Khatib, Ushul al-Hadits, 82
[10] Imam Ahmad ibn Hanbal al-Shaibani, Musnad al-Imam Ahmad (Kairo: Dar al-Ma’arif, t.th.), 372.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment