Pada masa Nabi Mihammad s.a.w masih
hidup, hadits belum ditulis dan masih berupa hapalan yang ada dibenak para
sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan,
mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan
tentang segala sesuatu. Dengan demikian, pelaksanaan hadist dikalangan umat
Islam pada saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad
baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya, para sahabat tidak
mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut.
Setelah Nabi
Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M), pada awalnya belum menimbulkan masalah
mengenai hadits, karena sahabat sebagian besar masih hidup dan seakan-akan
menggantikan peran nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang
memerlukan pemecahan, baik mengenai hadist ataupun Al Quran.
Setelah
terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681
M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan para tabi’in yang melihat kondisi
seperti itu, kemudian mengambil sikap dengan tidak menerima lagi hadist baru,
yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki.
Umar bin Abdul
Aziz, seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 – 101 H / 717 – 720 M)
termasuk tabi’in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan hadist. Para
kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun hadist dari para tabi’in yang
terkenal memiliki banyak hadist. Seorang tabi’in yang terkemuka saat itu yakni
Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51
– 124 H / 671 – 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Dan
setelah itu dilanjutkan oleh generasi setelahnya ( attabi’ut tabi’in ).
Tabi’ut tabi’in
Tabi'ut tabi'in
atau Atbaut Tabi'in artinya pengikut Tabi'in, adalah orang islam teman
sepergaulan dengan para Tabi'in dan tidak mengalami masa hidup Sahabat Nabi. Tabi'ut tabi'in disebut juga murid Tabi'in. Tab'ut Tabi'in
adalah orang Islam dewasa yang pernah bertemu atau berguru pada Tabi'in dan
sampai wafatnya beragama Islam.
Mereka ini disebut angkatan /periode ketiga setelah Nabi Muhammad s.a.w
diantara mereka adalah: golongan imam-imam
umat islam dan ahli fiqih, seperti al-Imam As-Shadiq, Abu Hanifah, Imam Malik,
Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Syu’bah,
dan Ibnu Juraij,[1]
Senada dengan pendapat tentang siapa Atba’ut Tabi’in (tabi’ut tabi’in). Diantaranya adalah golongan imam-imam dan Fuqoha’ mesir seperti Malik bin
Anas al-Ishbahi, Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i Sufyan Bin Sa’id at-Tsauri,
Syu’bah bin Al-Hajjaj al- ‘Ataki dan
Ibnu Juraij.[2]
a)
Diantara
mereka yang dari Madinah:
1.
Abdullah
Ibnu Yazid ibnu Hurmuz.
2.
Muhammad
Ibnu Muslim Ibnu Syihab Az-Zuhri.
3.
Robi’ah
Ibnu Abi Abdirraman.
Abu Az-Zinad Abdillah IbnuDzakwan.
b)
Dan
setelah mereka adalah:
1.
Malik
Ibnu Anas.
2.
Abdul
Aziz bin Abi Salamah Al-Majisyun.
c)
Dari
Mesir:
1.
Muslim
bin Kolid Az-Zinji.
2.
Sa’id
bin Salim al-Qaddah.
Dan setelahnya diantaranya adalah Muhammad bin Idris
Asy-Syafi’i.
d)
Fuqoha’
Tabi’ut Tabi’in (dan setelahnya) dari Kufah diantaranya adalah:
1.
Ibrohim
An-Nakho’i.
2.
Amir
bin Syurohbil.
3.
Al-Hakam.
4.
Hammad
bin Abi Sulaiman.
5.
Manshur
bin Mu’tamaroh.
6.
Mughiroh
bin Miqsam.
Setelah mereka diantaranya, Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit).
Dan setelahnya lagi diantaranya, Sufyan Ats-Tsauri dan
sahabatnya diantaranny Abdulloh bin al-Mubarok.
e)
Fuqoha’
Basrah dari kalangan Tabi’ut Tabi’in dan setelahnya:
1.
Hasan
bin Hasan al- Basri.
2.
Muhammad
bin Sirin.
3.
Jabir
bin Zaid.
Dan setelahnya ada empat periode pengikut.
Tabi’ut Tabi’in yang dari Syam tidak di temukan.
f)
Fuqoha’
Khurosan dari kalangan Tabi’ut Tabi’in dan setelahnya diantaranya:
1.
Abu
Muslim al-Khurosani.
2.
Abdulloh
bin al-Mubarok.
Dan setelah itu diantaranya adalah Ahmad bin Hambal.[3]
Masa pembukuan
hadits secara resmi (akhir abad ke I - abad ke-II)
Proses
pembukuan hadits secara resmi atau yang lebih populer dengan istilah Tadwin baru
dilakukan atas instruksi Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101
H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara
perbendaraan Hadits. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh
wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan
membukukannya tanpa adanya seleksi supaya tidak ada Hadits yang akan hilang
pada masa sesudahnya. Beliau sendiri juga menulis sebagian hadits Nabi kemudian
beliau memberanikan diri meminta kepada para ulama’ karena ia ingin menjaga,
melestarikan dan mengumpulkan hadits nabi,ia khawatir hadits nabi akan musnah
Ulama
besar yang diperintah melakukan tugas adalah Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm (
117 H) di madianh untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada ‘Amrah binti
Abd al-Rahman bin Saad bin Zahrah al- Anshariyah (98 H) dan al-Qasim bin Muhammad
bin Abi Bakr al-Shiddiq (107 H).
Usaha
pengumpulan al-Hadits, khususnya yang terjadi di Madinah ini belum sempat
dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, dan akhirnya
usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (124 H)
yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah ahli Hadits yang
paling menonjol di zamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun
memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dan Az-Zuhri berkata: “
Tidak ada satu ilmu yang di bukukan sebelum pembukuanku ini”.[4]
Setelah
kedua tokoh ini maka mulailah banyak yang mengikuti mereka seperti Abdul Malik bin Abdul Aziz Ibnu Juraij Al
Bashri (150-H) di makkah; Imam Malik bin Anas (93-179H), Muhammad Ibnu Ishaq
(151-H) di Madinah, dan Muhammad bin Abdurrohman bin Abi Di’bu (pengarang Muwatha’
tandingan) di Madinah, Robi’ Ibnu Shohih (160 H), Sa’id Ibnu ‘Arubah (156 H),
dan Hamad bin Salmah (167-H) di Basrah, Sufyan ats-Tsauri (97-161-H) di Kufah, Khalid
bi Jamil al-Abd dan Ma'mar (95-153 H) di Yaman, Imam Abdurrahman Ibnu ‘Amr
Al-Auza'i (88-157-H) di Syam, Abu Arubah (156-H) Abdullah bin Mubarak
(118-181H) di Khurasan, Hasyaim bin Basyir (104-183-H) di Wasith, Jarir bin
abdul Hamid (110-188H) di Ray serta Abdullah bin Wahab (125-197 H) di Mesir.
Mereka tidak hanya menulis hadits-hadits nabi SAW saja, tetapi juga atsar para
sahabat dan tabi'in.[5]
Hal
serupa juga disebutkan oleh Muhammad Abu zahw : “Ibnu Juraij di Mekah(150 H),
Ibnu Ishaq (151-H) di Madinah, Malik (179H), Robi’ Ibnu Shohih (160 H), Sa’id
Ibnu ‘Arubah (156 H), dan Hamad bin Salmah (167-H) di Basrah, Sufyan ats-Tsauri
(97-161-H) di Kufah, Al-Auza'i (88-157-H) di Syam, Hasyaim bin Basyir
(104-183-H) di Wasith, Ma’mar (153 H) di Yaman, Jarir Ibnu Abdil Hamid (188 H) dan Ibnu Al- Mubarak (181H) di
Khurasan. Pada periode ini Kitab yang terkenal adalah kitab Muwatta’ Imam
Malik.[6]
Kitab-kitab
hadits yang masyhur di masa itu adalah :
1.
Mushannaf
oleh Syu'bah bin al-Hajjaj (160-H).
2.
Mushannaf
oleh Al-Laits bin Sa'ad (175-H).
3.
Al-Muwaththa'
oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul Hijrah (179-H).
4.
Mushannaf
oleh Sufyan bin Uyainah (198-H).
5.
Al-Musnad
oleh asy-Syafi'i (204-H).
6.
Jami
Al-Imam oleh Abdurrazzaq bin Hammam ash-Shan'ani (211-H).
Masa penyaringan dan seleksi ketat
(abad III H ) sampai selesai.
Pada awal abad ini penulisan hadits belum dibedakan antara yang sahih
dan Dhaif dan masih bercampur dengan fatwa para sahabat atau tabi’in,
kemudian pada pertengahan abad-III ini para ulama membuat kaidah-kaidah dan
syarat-syarat hadits shahih. Sehingga muncul ide-ide untuk mengumpulkan
yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail
bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us
Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim
al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim), sehingga abad ini merupakan era
keemasan bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits terkemuka dan disusunnya
kutubus-sittah (6 kumpulan hadits) yang memuat hampir seluruh
hadits-hadits yang shahih.
Diantara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu adalah :
1.
Mushannaf
Said bin Manshur (227-H).
2.
Mushannaf
Ibnu Abi Syaibah (156-239H).
3.
Musnad
Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H).
4.
Shahih
al-Bukhari (194-256-H).
5.
Shahih
Muslim (204-261-H).
6.
Sunan
Abu Daud (202-275-H).
7.
Sunan
Ibnu Majah (207-273-H).
8.
Sunan
At-Tirmidzi (215-H).
9.
Sunan
An-Nasa'i (215-303-H).
10. Al-Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307-H).
11. Tahdzibul Atsar Ibnu Jarir at-Thabari (310-H).
Periode
Penyempurnaan (Abad-IV H)
Pada periode ini para ulama berusaha menyempurnakan apa yang tidak
terdapat pada masa sebelumnya dan berusaha menambahkan, mengkritik dan men-syarah-nya
(memberikan ulasan tentang isi hadits-hadits tersebut), karena pada masa
sebelumnya seolah-olah kajian tentang hadits telah final.
Kitab-kitab hadits yang populer pada abad ini diantaranya adalah :
1.
Shahih
Ibnu Khuzaimah (311-H).
2.
Shahih
Abu Awwanah (316-H).
3.
Shahih
Ibnu Hibban (354-H).
4.
Al-Muntaqa
tulisan dari Qasim bin Ashbag salah satu ahli hadits berkebangsaan Andalusia
(Spanyol) (340-H).
5.
Sunan
Daraquthni (385-H).
6.
Mustadrak
Imam Abi Abdillah al Hakim (405-H).
Periode
Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab Hadits (Abad-V dan
seterusnya ).
Penulisan hadits pada periode ini mengacu kepada klasifikasi
hadits, mengumpulkan kandungan-kandungan dan tema-tema hadits yang sama.
Disamping itu juga men-syarahi (memberi semacam komentar atau ulasan)
kepada hal-hal yang gharib dan musykil, men-takhrij
hadits-hadits yang berada pada kitab-kitab fiqih atau tafsir dan meringkas
kitab-kitab hadits sebelumnya, sehingga muncullah berbagai kitab-kitab hadits
yang membahas hukum, seperti:
1.
Sunan
al-Kubra, al-Baihaqi (384-458 H).
2.
Muntaqal
Akhbar, Majduddin al-Harrani (652 H).
3.
Bulughul
Maram min Adillati al-Ahkam, Ibnu Hajar al-Asqalani (852-H).
Dan berbagai kitab targhib wa tarhib (kitab yang berisi berbagai hal untuk
menggemarkan dalam beribadah dan mengancam bagi yang lalai), seperti :
1.
At-Targhib
wa Tarhib, Imam al-Mundziri (656-H).
2.
Riyadhus
Shalihin, oleh Imam Nawawi (767-H).[7]
[1] Abu Faidh Muhammad Al-Farisi, Jawahir al-Ushul fi Ilmi Haditsir
Rosul (Beirut: Darul Maktab al ‘Ilmiyah, ), 140.
[2] Imam al-Hakim Abi Abdillah Muhammad An-Naisaburi, Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits (
Madinah: Maktabah Ilmiah, 1977 ), 46.
[4] Shubhi Ash-Shaleh, ‘Uluml Hadits wa
Mishtholahuhu (Beirut: Darul ‘Ilmi
Lil-Malayin), 46.
[5] Muhammad ‘Ajaj Al Khatib, Ushulul Hadits
–Ulumuhu wa Mushtholahuhu (Beirut:
Dar al Fikr), 183.
[6] Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadits wal
Muhadditsun (Beirut: Darul Kitabil
‘Arobi), 244.
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon