iklan banner

KODIFIKASI HADIS SECARA RESMI

Oleh : Endang Nurchamidah



Pada masa Nabi Mihammad s.a.w masih hidup, hadits belum ditulis dan masih berupa hapalan yang ada dibenak para sahabat. Para sahabat belum merasa ada urgensi untuk melakukan penulisan, mengingat Nabi masih mudah dihubungi untuk dimintai keterangan-keterangan tentang segala sesuatu. Dengan demikian, pelaksanaan hadist dikalangan umat Islam pada saat itu selalu berada dalam kendali dan pengawasan Nabi Muhammad baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karenanya, para sahabat tidak mudah berbuat kesalahan yang berlarut-larut.
Setelah Nabi Muhammad wafat (tahun 11 H / 632 M), pada awalnya belum menimbulkan masalah mengenai hadits, karena sahabat sebagian besar masih hidup dan seakan-akan menggantikan peran nabi sebagai tempat bertanya saat timbul masalah yang memerlukan pemecahan, baik mengenai hadist ataupun Al Quran.
Setelah terbunuhnya Khalifah Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala (tahun 61 H / 681 M). Para sahabat kecil yang masih hidup dan para tabi’in yang melihat kondisi seperti itu, kemudian mengambil sikap dengan tidak menerima lagi hadist baru, yaitu yang sebelumnya tidak mereka miliki.
Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah dari Bani Umayah (tahun 99 – 101 H / 717 – 720 M) termasuk tabi’in yang memiliki jasa yang besar dalam penghimpunan hadist. Para kepala daerah diperintahkannya untuk menghimpun hadist dari para tabi’in yang terkenal memiliki banyak hadist. Seorang tabi’in yang terkemuka saat itu yakni Muhammad bin Muslim bin ‘Ubaidillah bin ‘Abdullah bin Syihab Az Zuhri (tahun 51 – 124 H / 671 – 742 M) diperintahkan untuk melaksanakan tugas tersebut. Dan setelah itu dilanjutkan oleh generasi setelahnya ( attabi’ut tabi’in ).

Tabi’ut tabi’in
Tabi'ut tabi'in atau Atbaut Tabi'in artinya pengikut Tabi'in, adalah orang islam teman sepergaulan dengan para Tabi'in dan tidak mengalami masa hidup Sahabat Nabi. Tabi'ut tabi'in disebut juga murid Tabi'in. Tab'ut Tabi'in adalah orang Islam dewasa yang pernah bertemu atau berguru pada Tabi'in dan sampai wafatnya beragama Islam. Mereka ini disebut angkatan /periode ketiga setelah Nabi Muhammad s.a.w diantara mereka adalah: golongan imam-imam umat islam dan ahli fiqih, seperti al-Imam As-Shadiq, Abu Hanifah, Imam Malik, Al-Auza’i, Ats-Tsauri, Syu’bah, dan Ibnu Juraij,[1]
Senada dengan pendapat tentang siapa Atba’ut Tabi’in (tabi’ut tabi’in). Diantaranya adalah golongan imam-imam dan Fuqoha’ mesir seperti Malik bin Anas al-Ishbahi, Abdurrahman bin ‘Amr al-Auza’i Sufyan Bin Sa’id at-Tsauri, Syu’bah bin Al-Hajjaj al- ‘Ataki dan Ibnu Juraij.[2]
a)      Diantara mereka yang dari Madinah:
1.      Abdullah Ibnu Yazid ibnu Hurmuz.
2.      Muhammad Ibnu Muslim Ibnu Syihab Az-Zuhri.
3.      Robi’ah Ibnu Abi Abdirraman.
Abu Az-Zinad Abdillah IbnuDzakwan.
b)      Dan setelah mereka adalah:
1.      Malik Ibnu Anas.
2.      Abdul Aziz bin Abi Salamah Al-Majisyun.
c)      Dari Mesir:
1.      Muslim bin Kolid Az-Zinji.
2.      Sa’id bin Salim al-Qaddah.
Dan setelahnya diantaranya adalah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i.
d)     Fuqoha’ Tabi’ut Tabi’in (dan setelahnya) dari Kufah diantaranya adalah:
1.      Ibrohim An-Nakho’i.
2.      Amir bin Syurohbil.
3.      Al-Hakam.
4.      Hammad bin Abi Sulaiman.
5.      Manshur bin Mu’tamaroh.
6.      Mughiroh bin Miqsam.
Setelah mereka diantaranya, Abu Hanifah (Nu’man bin Tsabit).
Dan setelahnya lagi diantaranya, Sufyan Ats-Tsauri dan sahabatnya diantaranny Abdulloh bin al-Mubarok.
e)      Fuqoha’ Basrah dari kalangan Tabi’ut Tabi’in dan setelahnya:
1.      Hasan bin Hasan al- Basri.
2.      Muhammad bin Sirin.
3.      Jabir bin Zaid.
Dan setelahnya ada empat periode pengikut. 
Tabi’ut Tabi’in yang dari Syam tidak di temukan.
f)       Fuqoha’ Khurosan dari kalangan Tabi’ut Tabi’in dan setelahnya diantaranya:
1.      Abu Muslim al-Khurosani.
2.      Abdulloh bin al-Mubarok.
Dan setelah itu diantaranya adalah Ahmad bin Hambal.[3]

Masa pembukuan hadits secara resmi (akhir abad ke I - abad ke-II)
Proses pembukuan hadits secara resmi atau yang lebih populer dengan istilah Tadwin baru dilakukan atas instruksi Khalifah Umar bin Abd al-Aziz (memerintah tahun 99-101 H). Beliau merasakan adanya kebutuhan yang sangat mendesak untuk memelihara perbendaraan Hadits. Untuk itulah beliau mengeluarkan surat perintah ke seluruh wilayah kekuasaannya agar setiap orang yang hafal Hadits menuliskan dan membukukannya tanpa adanya seleksi supaya tidak ada Hadits yang akan hilang pada masa sesudahnya. Beliau sendiri juga menulis sebagian hadits Nabi kemudian beliau memberanikan diri meminta kepada para ulama’ karena ia ingin menjaga, melestarikan dan mengumpulkan hadits nabi,ia khawatir hadits nabi akan musnah
Ulama besar yang diperintah melakukan tugas adalah Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm ( 117 H) di madianh untuk mengumpulkan hadits-hadits yang ada pada ‘Amrah binti Abd al-Rahman bin Saad bin Zahrah al- Anshariyah (98 H) dan al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr al-Shiddiq (107 H).
 Usaha pengumpulan al-Hadits, khususnya yang terjadi di Madinah ini belum sempat dilakukan secara lengkap oleh Abu Bakar bin Muhammad bin Hazm, dan akhirnya usaha ini diteruskan oleh Imam Muhammad bin Muslim bin Syihab al-Zuhri (124 H) yang terkenal dengan sebutan Ibnu Syihab al-Zuhri. Beliaulah ahli Hadits yang paling menonjol di zamannya. Atas dasar ini Umar bin Abd al-Aziz pun memerintahkan kepada anak buahnya untuk menemui beliau. Dan Az-Zuhri berkata: “ Tidak ada satu ilmu yang di bukukan sebelum pembukuanku ini”.[4]
Setelah kedua tokoh ini maka mulailah banyak yang mengikuti mereka seperti  Abdul Malik bin Abdul Aziz Ibnu Juraij Al Bashri (150-H) di makkah; Imam Malik bin Anas (93-179H), Muhammad Ibnu Ishaq (151-H) di Madinah, dan Muhammad bin Abdurrohman bin Abi Di’bu (pengarang Muwatha’ tandingan) di Madinah, Robi’ Ibnu Shohih (160 H), Sa’id Ibnu ‘Arubah (156 H), dan Hamad bin Salmah (167-H) di Basrah, Sufyan ats-Tsauri (97-161-H) di Kufah, Khalid bi Jamil al-Abd dan Ma'mar (95-153 H) di Yaman, Imam Abdurrahman Ibnu ‘Amr Al-Auza'i (88-157-H) di Syam, Abu Arubah (156-H) Abdullah bin Mubarak (118-181H) di Khurasan, Hasyaim bin Basyir (104-183-H) di Wasith, Jarir bin abdul Hamid (110-188H) di Ray serta Abdullah bin Wahab (125-197 H) di Mesir. Mereka tidak hanya menulis hadits-hadits nabi SAW saja, tetapi juga atsar para sahabat dan tabi'in.[5]
Hal serupa juga disebutkan oleh Muhammad Abu zahw : “Ibnu Juraij di Mekah(150 H), Ibnu Ishaq (151-H) di Madinah, Malik (179H), Robi’ Ibnu Shohih (160 H), Sa’id Ibnu ‘Arubah (156 H), dan Hamad bin Salmah (167-H) di Basrah, Sufyan ats-Tsauri (97-161-H) di Kufah, Al-Auza'i (88-157-H) di Syam, Hasyaim bin Basyir (104-183-H) di Wasith, Ma’mar (153 H) di Yaman, Jarir Ibnu Abdil Hamid  (188 H) dan Ibnu Al- Mubarak (181H) di Khurasan. Pada periode ini Kitab yang terkenal adalah kitab Muwatta’ Imam Malik.[6]
Kitab-kitab hadits yang masyhur di masa itu adalah :
1.      Mushannaf oleh Syu'bah bin al-Hajjaj (160-H).
2.      Mushannaf oleh Al-Laits bin Sa'ad (175-H).
3.      Al-Muwaththa' oleh Malik bin Anas al-Madani, Imam Darul Hijrah (179-H).
4.      Mushannaf oleh Sufyan bin Uyainah (198-H).
5.      Al-Musnad oleh asy-Syafi'i (204-H).
6.      Jami Al-Imam oleh Abdurrazzaq bin Hammam ash-Shan'ani (211-H).
     
     
      Masa penyaringan dan seleksi ketat (abad III H ) sampai selesai.
Pada awal abad ini penulisan hadits belum dibedakan antara yang sahih dan Dhaif dan masih bercampur dengan fatwa para sahabat atau tabi’in, kemudian pada pertengahan abad-III ini para ulama membuat kaidah-kaidah dan syarat-syarat hadits shahih. Sehingga muncul ide-ide untuk mengumpulkan yang shahih-shahih saja yang dipelopori oleh Imam Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Bardizbah al-Bukhari (Imam Bukhari) dengan karyanya Jami'us Shahih dan disusul oleh muridnya Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim al-Qusyairi an-Naisaburi (Imam Muslim), sehingga abad ini merupakan era keemasan bagi hadits dengan munculnya para ahli hadits terkemuka dan disusunnya kutubus-sittah (6 kumpulan hadits) yang memuat hampir seluruh hadits-hadits yang shahih.
Diantara kitab-kitab hadits yang sudah tersusun waktu itu adalah :
1.      Mushannaf Said bin Manshur (227-H).
2.      Mushannaf Ibnu Abi Syaibah (156-239H).
3.      Musnad Imam Ahmad bin Hanbal (164-241H).
4.      Shahih al-Bukhari (194-256-H).
5.      Shahih Muslim (204-261-H).
6.      Sunan Abu Daud (202-275-H).
7.      Sunan Ibnu Majah (207-273-H).
8.      Sunan At-Tirmidzi (215-H).
9.      Sunan An-Nasa'i (215-303-H).
10.  Al-Muntaqa fil Ahkam Ibnu Jarud (307-H).
11.  Tahdzibul Atsar Ibnu Jarir at-Thabari (310-H).
    
       Periode Penyempurnaan (Abad-IV H)
Pada periode ini para ulama berusaha menyempurnakan apa yang tidak terdapat pada masa sebelumnya dan berusaha menambahkan, mengkritik dan men-syarah-nya (memberikan ulasan tentang isi hadits-hadits tersebut), karena pada masa sebelumnya seolah-olah kajian tentang hadits telah final.
Kitab-kitab hadits yang populer pada abad ini diantaranya adalah :
1.      Shahih Ibnu Khuzaimah (311-H).
2.      Shahih Abu Awwanah (316-H).
3.      Shahih Ibnu Hibban (354-H).
4.      Al-Muntaqa tulisan dari Qasim bin Ashbag salah satu ahli hadits berkebangsaan Andalusia (Spanyol) (340-H).
5.      Sunan Daraquthni (385-H).
6.      Mustadrak Imam Abi Abdillah al Hakim (405-H).

      Periode Klasifikasi dan Sistemisasi Penyusunan Kitab-kitab Hadits (Abad-V dan seterusnya ).
Penulisan hadits pada periode ini mengacu kepada klasifikasi hadits, mengumpulkan kandungan-kandungan dan tema-tema hadits yang sama. Disamping itu juga men-syarahi (memberi semacam komentar atau ulasan) kepada hal-hal yang gharib dan musykil, men-takhrij hadits-hadits yang berada pada kitab-kitab fiqih atau tafsir dan meringkas kitab-kitab hadits sebelumnya, sehingga muncullah berbagai kitab-kitab hadits yang membahas hukum, seperti:
1.      Sunan al-Kubra, al-Baihaqi (384-458 H).
2.      Muntaqal Akhbar, Majduddin al-Harrani (652 H).
3.      Bulughul Maram min Adillati al-Ahkam, Ibnu Hajar al-Asqalani (852-H).
      Dan berbagai kitab targhib wa tarhib (kitab yang berisi berbagai hal untuk menggemarkan dalam beribadah dan mengancam bagi yang lalai), seperti :
1.      At-Targhib wa Tarhib, Imam al-Mundziri (656-H).   
2.      Riyadhus Shalihin, oleh Imam Nawawi (767-H).[7]


[1]  Abu Faidh Muhammad Al-Farisi, Jawahir al-Ushul fi Ilmi Haditsir Rosul (Beirut: Darul Maktab al ‘Ilmiyah, ), 140.
[2]  Imam al-Hakim Abi Abdillah Muhammad  An-Naisaburi, Ma’rifatu ‘Ulumil Hadits ( Madinah: Maktabah Ilmiah, 1977 ), 46. 
[3]   Nasr Abu Athoya,  Majmu’atu Rosail, (Beirut: Darul Kutubil ‘Ilmiah, 1993), 42.
[4]  Shubhi Ash-Shaleh, ‘Uluml Hadits wa Mishtholahuhu  (Beirut: Darul ‘Ilmi Lil-Malayin), 46.
[5]  Muhammad ‘Ajaj Al Khatib, Ushulul Hadits –Ulumuhu wa Mushtholahuhu  (Beirut: Dar al Fikr), 183.
[6]  Muhammad Muhammad Abu Zahwu, Al-Hadits wal Muhadditsun  (Beirut: Darul Kitabil ‘Arobi), 244.
[7]  http://aam-ezaam.blogspot.com/2011/02/tadwin-al-hadits.html.



Previous
Next Post »
Thanks for your comment