iklan banner

Metode Takhrij al-Hadits

Oleh : Burhanuddin Sudrajat
PENDAHULUAN
Seiring dengan berjalanya waktu perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat baik dalam ilmu-ilmu logika maupun ilmu-ilmu agama. Tidak terkecuali hadits sendiri, sejak zaman Islam klasik, pertengahan, maupun modern perkembangan ilmu yang mengkaji hadits semakin terlihat, pada masa sekarang ini cenderung terdapat kritik atas hadits yang berkembang luas di masyarakat dengan kedudukan hadits tersebut.
Keadaan seperti ini diperparah dengan ketersulitan penelusuran hadits, hal ini bukan saja diakibatkan oleh begitu banyaknya jumlah hadits yang diriwayatkan dari Nabi melalui para Sahabat dan Tabi’in yang terdapat dalam kitab-kitab sumber, melaikan juga terutama disebabkan oleh banyaknya kitab-kitab sumber yang tersedia, menyadari keadaan seperti ini para Ulama’ hadits berusaha memberikan kemudahan kepada para pencari hadits dalam sumber-sumber aslinya dengan menggunakan metode Takhrijul Hadits.

PEMBAHASAN
A.    Pengertian Takhrij
Secara etimologis, kata takhrij adalah bentuk imbuhan dari kata khuruj. Dari kata ini dapat dibentuk kata kharaja yang berarti keluar. Dan dari kata kharaja dapat dibentuk kata ahraja (mengeluarkan), kharraja (mendidik, melatih, memberikan dua warna atau lebih, dan lain-lain), dan istakhraja (mengeluarkan).[1]
Sedang menurut istilah Tahrij memeliki beberapa pengertian diantaranya:
1.      Menyampaikan hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan para perawinya dalam mata rantai sanad yang telah menyampaikan hadits itu dengan menggunakan metode periwayatan yang telah mereka tempuh.
2.      Ahli hadits yang menyampaikan beberapa hadits yang telah disampaikan oleh para gurunya.
3.      Menunjukkan asal-usul hadits dan mengungkapkan sumber pengambilanya dalam beberapa kitab.
4.      Mengemukakan hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber dengan mengikutsertakan metode periwayatan dan matarantai sanad masing-masing dengan dijelaskan oleh para perawinya serta kuwalitas haditsnya.
5.      Mengemukakan letak asal hadits pada sumbernya yang asli secara lengkap dengan matarantai sanadnya masing-masing dan dijelaskan kuwalitas hadits yang bersangkutan.
6.      Usaha mencari sanad hadits yang terdapat dalam kitab hadits karya orang lain, yang tidak sama dengan sanad yang terdapat dalam kitab tersebut. Usaha semacam ini dinamakan juga istikhraj. Misalnya seseorang mengambil sebuah hadits dari kitab Jamius Sahih Muslim. kemudian ia mencari sanad hadits tersebut yang berbeda dengan sanad yang telah ditetapkan oleh lmam Muslim.
7.      Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan ke dalam kitab susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama penyusunnya. Misalnya, penyusun hadits mengakhiri penulisan haditsnya dengan kata-kata: "Akhrajahul Bukhari", artinya bahwa hadits yang dinukil itu terdapat kitab Jamius Sahih Bukhari. Bila ia mengakhirinya dengan kata Akhrajahul Muslim berarti hadits tersebut terdapat dalam kitab Sahih Muslim.
8.      Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi hadits yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab Misalnya:
a.       Takhrij Ahaditsil Kasysyaaf, karyanya Jamaluddin al-Hanafi adalah suatu kitab yang mengusahakan dan menerangkan derajat hadits yang terdapat dalam kitab Tafsir AI-Kasysyaaf yang oleh pengarangya tidak diterangkan derajat haditsnya, apakah sahih, hasan, atau lainnya.
b.      Al Mugny an-Hamlil Asfal, karya Abdurrahim al-Iraqy, adalah kitab yang menjelaskan derajat-derajat hadits yang terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali.
Dengan berbagai arti tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa takhrij berkaitan dengan kegiatan penelitian hadits, sedangkan makna takhrij dapat disimpulkan bahwa takhrij berarti penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai kitab-kitab koleksi hadits sebagai sumber asli, dari hadits yang bersangkutan, yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan matarantai sanad yang bersangkutan.[2] Atau dengan kata lain Takhrijul Hadits berarti memberikan informasi tempat sebuah hadits berada, yakni pada kitab-kitab sumber asli yang telah meriwayatkan hadits itu dengan sanadnya, kemudian menjelaskan hukum dari sebuah hadits.

B.     Sejarah Perkembangan Takhrij
Prof. Hasbi Ash-Shidiqy mengatakan bahwa kegiatan Takhrij hadits telah muncul sejak abad ke-8 H. Namun pembukuan ilmu ini sebagai ilmu baru yang terkodifikasi baru pada akhir abad ke-14 H atau pada abad 20 M.[3]
Para ahli dan peneliti keislaman generasi pertama umat Islam pada mulanya tidak berpikir perlu membuat prinsip-prinsip dasar dan tata aturan mengenai takhrij al-hadits (transfering and transforming of hadith). Argumentasi yang mengalasi pendapat demikian, sebagaimana yang dikemukakan Mahmud al-Thahhan, adalah faktor pengetahuan yang ekstensif dan intensif (ithila` wasi`) yang dimiliki oleh para ahli tersebut terhadap sumber-sumber al-Sunnah. Kemampuan dan pengetahuan yang demikian luas itu memudahkan mereka dalam merujukkan setiap pendapat atau sikap keagamaan tertentu yang membutuhkan alasan syar`i kepada kitab-kitab hadits yang ada ketika itu, bahkan sampai pada tingkat yang paling partikular (juz’iy) dan detil.
Kondisi sebagaimana tersebut di atas, berlangsung hingga beberapa kurun waktu. Tetapi seiring perluasan wilayah teritorial umat Islam dengan segala asesoris persoalan yang mengihiasinya, para ahli dan peneliti keislaman pada masa berikutnya merasakan bahwa tingkat pengetahuan dan kemampuan mereka mengenai al-Sunnah demikan tertelikung oleh rupa-rupa keterbatasan. Mencari sebuah hadits yang berasal atau diduga dari Nabi saw – pada masa berikutnya – merupakan pekerjaan yang tidak mudah, bahkan melelahkan!. Sementara itu, kebutuhan terhadap keputusan syariah mengenai suatu persoalan begitu sangat mendesak, di samping terdapat banyak sekali karya ilmiah yang menjadikan hadis sebagai asas argumentasinya – seperti: tafsir, sejarah, tasawuf, kalam, dan fikih – tidak menjelaskan aspek otentisitas, orisinalitas dan kualitas hadis yang dimaksud. Keadaan inilah yang akhirnya mendorong sebagian ulama hadis mulai memikirkan sekaligus melakukan aneka tindakan ilmiah yang dipandang perlu agar dapat segera lepas dari jerat situasi tersebut.
Usaha para ulama hadits pada akhirnya menghasilkan aneka rumusan tentang prinsip-prinsip dan tata aturan takhrij, yang secara generatif melahirkan berbagai macam karya tulis yang kelak dinamai “Kutub al-Takhrij”, kitab-kitab yang tidak hanya berhasil mengembalikan matan pada transmisinya, tetapi menjelaskan aspek orisinalitas dan kualitas redaksional, bahkan bila dianggap diperlukan menerangkan pula kualitas transmisinya.
Kitab-kitab Takhrij generasi pertama, seperti yang dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan[4], adalah kitab-kitab al-Khatib al-Baghdadiy (w. 463 H), di antaranya – yang paling populer – yaitu: “Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah wa al-Ghara’ib, al-Syarif  Abu al-Qasim al-Husayniy; “Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah wa al-Ghara’ib” buah karya Abu al-Qasim al-Mahrawaniy; dan karya Muhammad Ibn Musa al-Hazimiy al-Syafi`iy “Takhrij Ahadits al-Muhadzdzab(w. 584 H). Kitab “al-Muhadzdzab” sendiri adalah kitab fikih berhaluan Syafi`iyyah yang ditulis oleh salah seorang ulama besar syafi`iyyah, yakni Abu Ishaq al-Syayraziy. Setelah itu, penulisan kitab-kitab “takhrij” semakin banyak dilakukan oleh para ulama yang jumlahnya mencapai puluhan, diantaranya:
1.      Takhrij Ahaadits al-Muhadzdzab; karya Muhammad bin Musa al-Hazimi asy-Syafi'I (wafat 548 H). Dan kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqih madzhab Asy-Syafi'I karya Abu Ishaq asy-Syairazi.
2.      Takhrij Ahaadits al-Mukhtashar al-Kabir li Ibni al-Hajib; karya Muhammad bin Ahmad Abdul Hadi al-Maqdisi (wafat 744 H).
3.      Nashbur-Rayah li Ahaadits al-Hidyah li al-Marghinani; karya Abdullah bin Yusuf az-Zaila'i (wafat 762 H).
4.      Takhrij Ahaadits al-Kasyaf li az-Zamakhsyari; karya al-Hafidh az-Zaila'i juga. (Ibnu Hajar juga menulis takhrij untuk kitab ini dengan judul al-Kafi asy-Syaafi fii Takhrij Ahaadits asy-Syaafi).
5.      Al-Badrul-Munir fii Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar al-Waqi'ah fisy-Syarhil-Kabir li Ar-Rafi'I; karya Umar bin 'Ali bin Mulaqqin (wafat 804 H).
6.      Al-Mughni 'an Hamlil-Asfaar fil-Asfaar fii Takhriji maa fil-Ihyaa' minal-Akhbar; karya Abdurrahman bin al-Husain al-'Iraqi (wafat tahun 806 H).
7.      Takhrij al-Ahaadits allati Yusyiiru ilaihat-Tirmidzi fii Kulli Baab; karya al-Hafidh al-'Iraqi juga.
8.      At-Talkhiisul-Habiir fii Takhriji Ahaaditsi Syarh al-Wajiz al-Kabir li ar-Rafi'i; karya Ahmad bin Ali bin Hajar al-'Asqalani (wafat 852 H).
9.      Ad-Dirayah fii Takhriji Ahaaditsil-Hidayah; karya al-Hafidh Ibnu Hajar juga.
10.  Tuhfatur-Rawi fii Takhriji Ahaaditsil-Baidlawi; karya 'Abdurrauf Ali al-Manawi (wafat 1031 H).
Al-Mubarakfuriy[5], selain menyebutkan beberapa karya lainnya dalam bidang takhrij yang ditulis oleh para ulama-ulama di atas, juga mencatat beberapa nama lain yang melakukan kerja takhrij ini, mereka antara lain ialah:
  1. Ali Ibn Utsman Ibn Ibrahim al-Maradiniy `Ala’u al-Din al-Turkamaniy (w. 705 H tanggal 10 Muharram), yang merupakan guru dari al-Zayla`iy. Al-Turkamaniy adalah imam dalam kajian fikih, usul fikih dan hadis yang memiliki banyak karya tulis, dua di antaranya “al-Muntakhab fi al-Hadits” dan “Takhrij Ahadits al-Hidayah”;
  2. Ali Ibn Hasan Ibn Shadqah al-Mishriy al-Yamaniy, karyanya “Idrak al-Haqiqah fi Takhrij Ahadits al-Thariqah” yang berhasil diselesaikannya pada bulan  Ramadhan tahun 1050 H; dan
  3. Al-Syaykh Jala al-Din al-Suyuthiy, karyanya adalah kitab-kitab “Takhrij Ahadits Syarh `Aqa’id al-Nasafiy”, “Manahil al-Shafa fi Takhrij Ahadits al-Syafa”, dan “Nasyr al-`Abir fi Takhrij Ahadits al-Syarh al-Kabir”.

C.    Tujuan dan Manfaat Takhrij
1.      Tujuan Takhrij
a.       Mencari tahu siapa perawi hadits.
b.      Mengetahui bagaimana hukum hadits.
c.       Apakah hadits yang akan digunakan boleh dijadikan dalil atau tidak.

2.      Manfaat Takhrij
Bayak sekali manfaat Takhrijul hadits, diantara manfaat Takhrijul hadits yaitu:
a.       Takhrij memperkenalkan sumber-sumber Hadits atau kitab-kitab asal hadits.
b.      Menambah perbendaharaan sanad hadits-hadits melalui kitab-kitab asal.
c.       Memperjelas keadaan sanad.
d.      Memperjelas hukum hadits dengan banyaknya riwayat dalam kitab-kitab asal.
e.       Dapat mengetahui pendapat-pendapat Ulama’ sekitar hukum hadits.
f.       Dapat memperjelas perawi hadits yang samar.
g.      Dapat memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya melalui perbandingan diantara sanad-sanad.
h.      Dapat menghilagkan kemungkinan terjadi percampuran riwayat.
i.        Dapat membatasi nama perawi yang sebenarnya, karena ada kemungkinan perawi-perawi yang memiliki kesamaan gelar.
j.        Dapat memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
k.      Memperjelas arti kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad, dan lain-lain.
Namun pada dasarnya manfaat takhrij terdapat dua hal pokok meliputi:
a.       Mengumpulkan berbagai sanad dari suatu hadits.
b.      Mengumpulkan berbagai redaksi dari sebuah matan hadits.[6]

D.    Faktor Penyebab Takhrij al-Hadits
Adapun faktor utama yang menyebabkan kegiatan penelitian terhadap hadits (takhrij al-hadits) dilakukan oleh seorang peneliti hadits adlah sebagai berikut:
1.      Mengetahui asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti
Maksudnya adalah untuk mengetahui status dan kualitas hadits dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian, langkah awal yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adlah mengetahui asal-usul periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab taanpa mengetahui asal-usulnya sanad dan matan hadits yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk diketahui matarantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga tanpa diketahui secara benar tentang matarantai sanad dan matan, maka seorang peneliti peengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara baik dan cermat. Makanya dari faktor ini, kegiatan penelitian hadits (takhrij) dilakukan.

2.      Mengetahui dan mencatat seluruh periwayatan hadits bagi hadits yang akan diteliti
Maksudnya adalah mengingat redaksi hadits yang akan diteliti itu bervariasi antara satu dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap semua periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad haadits tersebut berkualitas dha’if dan yang lainnya berkualitas shahih.

3.      Mengetahui ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada mata rantai sanad
Mengingat salah satu sanad hadits yang redaksinya bervariasi itu dimungkinkan ada perawi lain yang sanadnya mendukung pada sanad hadits yang sedang diteliti, maka sanad hadits yang sedang diteliti tersebut mungkin kualitasnya dapat dinaikkan tingkatannya oleh sanad perawi yang mendukungnya.
Dari dukungan tersebut, jika terdapat pada bagian perawi tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini dikenal dengan syahid. Jika dukungan itu terdapat pada bagian perawi tingkat kedua atau ketiga (seperti pada tingkatan tabi’I atau tabi’it tabi’in), maka disebut sebagai mutabi’ .
Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij) terhadap hadits dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti dapat mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan matannya dari sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana yang ada syahid dan mutabi’nya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat dengan mudah dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode pentakhrijannya.

E.     Kitab-Kitab Yang Diperlukan
Setelah  mengetahui betul faktor-faktor yang menyebabkan penelitian hadits (takhrij al-hadits) di atas, maka langkah awal yang harus dilakukan seorang peneliti dalam melakukan kegiatan penelitian hadits (takhrij al-hadits) adalah, menyiapkan kitab-kitab pendukung yang diperlukan untuk melakukan (takhrij al-hadits). Adapun kitab-kitab tersebut antara lain:
1.      Hidayatul bari ila tartibi ahaditsil Bukhari
هداية البارى الى ترتيب احاديث البخارى
Penyusun kitab ini adalah Abdur Rahman Ambar AI-Misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadits-hadits yang termuat dalam Sahih AI-Bukhari. Lafal-lafal hadits disusun menurut aturan urutan huruf abjad Arab. Namun hadits-hadits yang dikemukakan secara berulang dalam Sahih Bukhari tidak dimuat secara berulang dalam kamus di atas. Dengan demikian perbedaan lafal dalam matan hadits riwayat AI-Bukhari tidak dapat diketahui lewat kamus tersebut.

2.      Mu jam Al-Fazi wala siyyama al-garibu minha atau fihris litartibi ahaditsi sahihi Muslim
معجم الالفاظ ولا سيما الغربي منها
فهرس لترتيب احاديث صحيح مسلم
Kitab tersebut merupakan salah satu juz, yakni juz ke- V dari Kitab Sahih Muslim yang disunting oleh Muhammad Abdul Baqi. Jus V ini merupakan kamus terhadap Jus ke-I -IV yang berisi:
a.       Daftar urutan judul kitab serta nomor hadits dan juz yang memuatnya.
b.      Daftar nama para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits yang termuat dalam Sahih Muslim.
c.       Daftar awal matan hadits dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta diterangkan nomor-nomor hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, bila kebetulan hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari.

3.      Miftahus Sahihain
مفتاح الصحيحين
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif bin Mustafa Al-Tauqiah. Kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Muslim. Akan tetapi hadits-hadits yang dimuat dalam kitab ini hanyalah hadits-hadits yang berupa sabda (qauliyah) saja. Hadits tersebut disusun menurut abjad dari awal lafal hadits lafal matan hadits.

4.      AI-Bugyatu fi tartibi ahadasi al-hilyah
البغية في ترتيب احاديث الحلية
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq AI-Qammari. Kitab hadits tersebut memuat dan menerangkan hadits-hadits yang tercantum dalam kitab yang disusun Abu Nuaim AI-Asabuni (w. 430 H) yang berjudul: Hilyatul auliyai wababaqatul asfiyai. Sejenis dengan kitab tersebut di atas adalah kitab Miftahut tartibi li ahaditsi tarikhil khatib.
مفتاح الترتيب لاحاديث تاريخ الخطيب
yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Siddiq AI-Qammari yang memuat dan menerangkan hadits-hadits yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin Subit bin Ahmad AI-Bagdadi yang dikenal dengan AI-Khatib Al- Bagdadi (w. 463 H). Susunan kitabnya diberi judul Tarikhu Bagdadi (تاريخ بغداد) yang terdiri dari empat jilid.

5.      Al-Jamius Sagir
الجامع الصغير
Kitab ini disusun oleh Imam Jalaludin Abdurrahman As-Suyuti (w.91h). Kitab kamus hadits tersebut memuat hadits-hadits yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadits yang disusun oleh As-suyuti juga, yakni kitab Jam 'ul Jawani.

جمع الجوامع
Hadits yang dimuat dalam kitab Jamius Sugir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafal matan hadits. Sebagian dari hadits-hadits itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada pula yang ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup.
Kitab hadits tersebut juga menerangkan nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits yang bersangkutan dan nama-nama Mukharijnya (periwayat hadits yang menghimpun hadits dalam kitabnya). Selain itu, hampir setiap hadits yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian yang dilakukan atau disetujui oleh As-suyuti.

6.      AI-Mujam al-mufahras li alfazil hadits nabawi
المعجم الفهرس لالفاظ الحديث النبوى
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim dari kalangan orientalis. Di antara anggota tim yang paling aktif dalam kegiatan proses penyusunan ialah Dr. Arnold John Wensinck (w. 939 M), seorang profesor bahasa-bahasa Semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden, negeri Belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadits berdasarkan petunjuk lafal matan hadits. Berbagai lafal yang disajikan tidak dibatasi hanya lafal-lafal yang berada di tengah dan bagian-bagian lain dari matan hadits. Dengan demikian, kitab Mu'jam mampu memberikan informasi kepada pencari matan dan sanad hadits, asal saja sebagian dari lafal matan yang dicarinya itu telah diketahuinya.
Kitab Mu'jam ini terdiri dari tujuh Juz dan dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits yang terdapat dalam sembilan kitab hadits, yakni: Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmuzi, Sunan Nasai, Sunan Ibnu Majjah, Sunan Daromi, Muwatta Malik, dan Musnad Ahmad.

F.     Metode Takhrij
Untuk mengetahu kejelasan hadits beserta sumber-sumbernya, ada beberapa metode Takhrij yang dapat dipergunakan, diantaranya:
1.      Alfadz
Metode Alfadz, adalah metode yang digunakan untuk mencari sebuah hadits dengan cara menentukan lafadz tertentu sebagai langkah penelusuran yang terdapat dalam matan, baik lafadz itu berupa isim atau fi’il. Para penyusun kitab-kitab takhrij yang menggunakan metode ini menitikberatkan pada lafadz-lafadz asing, karena semakin gharib lafadz, maka semakin mudah dalam pencarian hadits.
Contoh, jika kita mencari sebuah hadits yang tidak hafal semua matannya, dan hanya hafal penggalan lafadznya, maka yang harus kita cari dalam kamus adalah berdasarkan lafadznya.
"الصلاة"
Setelah pencarian terdapat banyak hadits yang menggunakan lafadz (الصلاة), maka kita harus memilih hadits yang kita butuhkan, dan nantinya akan diketahuilah bahwa bunyi lengkap matan hadits yang dicari (misalnya) adalah:
حدثنا عبيد الله بن موسى قال أخبرنا حنظلة بن أبى سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر رضى الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان).
Artinya: Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: Islam dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan.

Kelebihan metode Alfadz:
a.       Mempercepat dalam pencarian hadits.
b.      Kitab-kitab yang menggunakan metode ini membatasi hadits-haditsnya kedalam beberapa induk meliputi (juz, bab,hal).
c.       Memungkinkan pencarian hadits melalui lafadz-lafadz yang terdapat dalam matan hadits.
Kekurangan metode Alfadz:
a.       Keharusan kemempuan memiliki pengetahuan Bahasa Arab beserta ilmu-ilmunya.
b.      Metode ini tidak menyebutkan perawi dari kalangan sahabat.
c.       Terkadang suatu hadits tidak didapatkan dalam satu lafadz, sehingga harus mencarinya dengan lafadz yang lain.
Kitab yang menggunakan metode ini yakni Kitab al-Mu’jam al-Mufahras, dan lain-lain.

2.      Atraf
Metode Atraf, adalah metode yang menjadikan awal matan sebagai pedoman awal, jika telah diketahui awal matannya, maka hadits tersebut dapat dicari atau ditelusuri dalam kitab-kitab kamus hadits dengan dicarikan huruf awal yang sesuai diurutkan dengan abjad.
ليس الشديد بالصرعة
Untuk mengetahui lafadz lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang memuat penggalan matan yang dimaksud, maka diketahuilah bahwa bunyi lengkap matan hadits yang dicari adalah:
عن ابى هريرة انّ رصول الله صلى الله عليه وسلّم قال: ليس الشديد بالصرعة انّما الشديد الذى يملك نفسه عند الغضب
Artinya: "(Hadits) riwayat Abu Hurairah bahwa Rasullulah bersabda, "(Ukuran) orang yang kuat (perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang disebut sebagai orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya tatkala dia marah."

Contoh lain, tentang mencari hadits dengan lafadz. Misalkan ingin mencari sebuah lafadz (ورثة) yang haditsnya menjelaskan bahwa Ulama’ adalah pewaris Nabi, maka dimulai mencari dari (ورث). Dan nantinya akan banyak kita temui hadits yang menggunakan lafadz tersebut, kemudian kita tinggal memilih hadits mana yang sesuai, misalkan:
حدثنا محمود بن خداش البغدادى حدثنا محمد بن يزيد الواسطى حدثنا عاصم بن رجاء بن حيوة عن قيس بن كثير قال قدم رجل من المدينة على أبي الدرداء وهو بدمشق فقال ما أقدمك يا أخى فقال حديث بلغنى أنك تحدثه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أما جئت لحاجة قال لا قال أما قدمت لتجارة قال لا قال ما جئت إلا في طلب هذا الحديث قال فإنى سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من سلك طريقا يبتغى فيه علما سلك الله به طريقا إلى الجنة وإن الملائكة لتضع أجنحتها رضاء لطالب العلم وإن العالم ليستغفر له من في السموات ومن في الأرض حتى الحيتان في الماء وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر. (رواه أبو داود)
Artinya: Aku telah mendengar Rasulullah saw, bersabda:barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu,niscahya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju ke surga.sesungguhnya para Malaikat benar-benar meletakkan sayapnya karena rida kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang alim itu benar-benar dimintakan ampunan 0leh semua makhluk di langit dan dibumi hingga ikan-ikan yang ada di air.keutamaan orang yang alim atas yang ahli ibadah seperti keutamaan rembulan atas semua bintang-bintang.sesungguhnya ulama itu adalah pewaris nabi:sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham melainkan mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mengambil ilmu bagian yang berlimpah.

Kelebihan dan kekurangan metode ini
Sebenarnya dengan metode ini kita bisa dengan cepat dalam mencari hadits tanpa harus menguasai dengan sempurna Bahasa Arab, tetapi bila terdapat kelainan lafadz pada lafadz pertama akan berakibat sulit dalam mencari suatu hadits.
Kitab yang menggunakan metode ini yakni Kitab al-Jaami’ al-Shaghiir, Kitab Faidh al-Qadiir, Kitab al-Fath al-Kabiir, dan lain-lain.

3.      Rawi
Metode Rawi, adalah metode yang menjadikan perawi sebagai isyarat awal. Metode ini berlandaskan pada perawi pertama suatu hadits baik perawi tersebut berasal dari kalangan sahabat atau dari kalangan tabi’in. Para penyusun kitab-kitab yang menggunakan metode ini selalu mencantumkan hadits yang diriwayatkan oleh perawi pertama.
Kelebihan metode Rawi
a.       Memperpendek masa proses takhrij.
b.      Dapat menelaah persanad.
Kekuranganya yakni Metode ini sulit digunakan bagi orang yang belum mengetahui perawi pertama. Kitab yang menggunakan metode ini yakni Kitab al-Athraf dan kitab-kitab Musnad.

4.      Mawdhu’
Upaya mencari hadits terkadang tidak didasarkan pada lafadz matan (materi) hadits, tetapi didasarkan pada topik masalah. Pencarian matan hadits berdasarkan topik masalah sangat menolong pengkaji hadits yang ingin memahami petunjuk-petunjuk hadits dalam segala konteksnya.
Pencarian matan hadits berdasarkan topik masalah tertentu itu dapat ditempuh dengan cara membaca berbagai kitab himpunan kutipan hadits, namun berbagai kitab itu biasanya tidak menunjukkan teks hadits menurut para periwayatnya. Padahal untuk memahami topik tertentu tentang petunjuk hadits, diperlukan pengkajian terhadap teks-teks hadits menurut periwayatnya. Dengan bantuan kamus hadits tertentu, pengkajian teks dan konteks hadits menurut riwayat dari berbagai periwayat akan mudah dilakukan. Salah satu kamus hadits itu ialah:
مفتح كنوز السّـنّة
Kitab tersebut merupakan kamus hadits yang disusun berdasarkan topik masalah. Pengarang asli kamus hadits tersebut adalah Dr. A.J. Wensinck (Wafat 1939 M), seorang orientalis yang besar jasanya dalam dunia perkamusan hadits. Dr. A.J. Wensinck adalah juga penyusun utama kitab kamus hadits:
المعجم المفهرس لالفاظ الحديث النبوي
Bahasa asli dari kitab Miftah Kunuzis-Sunnah adalah bahasa Inggris dengan judul a Handbook of Early Muhammadan. Kamus hadits yang berbahasa Inggris tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Arab sebagaimana tercantum di atas oleh Muhamad Fuad Abdul Baqi. Muhamad Fuad tidak hanya menerjemahkan saja, tetapi juga mengoreksi berbagai data yang salah.[7]
Naskah yang berbahasa inggris diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1927 dan terjemahannya pada tahun 1934.
Dalam kamus hadits tersebut dikemukakan berbagai topik, baik yang berkenaan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan petunjuk Nabi maupun yang berkenaan dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan nama. Untuk setiap topik biasanya disertakan beberapa subtopik, dan untuk setiap subtopik dikemukakan data hadits dan kitab yang menjelaskannya.
Misalkan, kita ingin mencari hadits yang mewajibkan seorang Muslim untuk menjalankan ibadah puasa pada bulan Ramadhan. Maka lankah pertama dalam pencarian adalah, mencari topik bahasannya, yaitu tentang ibadah (العبادات), kemudian mencari dalam subtopiknya yaitu puasa (الصيام), setelah itu pilih hadits yang kita inginkan, contohnya:
حدثنا عبيد الله بن موسى قال أخبرنا حنظلة بن أبى سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر رضى الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم (بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان).
Artinya: Rasulullah Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: Islam dibangun diatas lima perkara; Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji dan puasa Ramadhan.

Contoh lain, tentang topik Ilmu (العلم) dalam subtopik Ulama’ adalah pewaris Nabi (العلماء ورثة الأنبياء).
حدثنا محمود بن خداش البغدادى حدثنا محمد بن يزيد الواسطى حدثنا عاصم بن رجاء بن حيوة عن قيس بن كثير قال قدم رجل من المدينة على أبي الدرداء وهو بدمشق فقال ما أقدمك يا أخى فقال حديث بلغنى أنك تحدثه عن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال أما جئت لحاجة قال لا قال أما قدمت لتجارة قال لا قال ما جئت إلا في طلب هذا الحديث قال فإنى سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من سلك طريقا يبتغى فيه علما سلك الله به طريقا إلى الجنة وإن الملائكة لتضع أجنحتها رضاء لطالب العلم وإن العالم ليستغفر له من في السموات ومن في الأرض حتى الحيتان في الماء وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر. (رواه أبو داود)
Artinya: Aku telah mendengar Rasulullah saw, bersabda:barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut ilmu,niscahya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju ke surga.sesungguhnya para Malaikat benar-benar meletakkan sayapnya karena rida kepada penuntut ilmu. Sesungguhnya orang alim itu benar-benar dimintakan ampunan 0leh semua makhluk di langit dan dibumi hingga ikan-ikan yang ada di air.keutamaan orang yang alim atas yang ahli ibadah seperti keutamaan rembulan atas semua bintang-bintang.sesungguhnya ulama itu adalah pewaris nabi:sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham melainkan mereka hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mengambil ilmu bagian yang berlimpah.

Kelebihan metode mawdhu’ diantanya:
a.       Dapat menemukan bayak hadits dalam satu tema.
b.      Mendidik ketajaman pemahaman hadits pada diri peneliti.
c.       Tidak memerluhkan pengetahuan di luar hadits.
Sementara kekurangan dengan menggunakan metode mawdhu’ yakni:
a.       Terkadang kandungan hadits sulit disimpulkan oleh peneliti, sehingga tidak dapat menentukan temanya.
b.      Terkadang pemahaman peneliti tidak sesuai dengan pemahaman penyusun kitab.
Kitab yang menggunakan metode ini yakni Kitab Kanz al-Ummal Fii Sunan al-Aqwal wa al-Af’al yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda yang bernama Dr. Arinjan Vensink juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14 kitab hadits yang terkenal, yaitu:
a.       Shahih Bukhari
b.       Shahih Muslim
c.        Sunan Abu Dawud
d.       Jami' At-Tirmidzi
e.        Sunan An-Nasa'i
f.        Sunan Ibnu Majah
g.        Muwaththa' Malik
h.       Musnad Ahmad
i.         Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi
j.         Sunan Ad-Darimi
k.       Musnad Zaid bin 'Ali
l.         Sirah Ibnu Hisyam
m.     Maghazi Al-Waqidi
n.       Thabaqat Ibnu Sa'ad



5.      Sifat
Metode Sifat, yakni dengan karakteristik hadits yang dicari, apakah hadits itu maudhu’, qudsy, dan yang lain.
Jika suatu hadits sudah dapat diketahui sifatnya, misalnya maudhu’, shahih, mursal, masyhur, mutawatir dan lain-lain sebaiknya ditakhrij melalui kitab-kitab yang telah menghimpun sifat-sifat tersebut. Misalnya hadits maudhu’ akan lebih mudah ditakhrij melalui buku-buku himpunan hadits maudhu’ seperti al-Mawdhu’at karya Ibnu al-Jauzi, jika mencari hadits mutawatir, maka takhrij melalui kitab al-Azhar al-Mutanatsirah ‘an al-Akhbar al-Muawatirah karya as-Suyuthi. Dalam kitab tersebut, seseorang akan mendapatkan informasi tentang kedudukan suatu hadits, kualitasnya, sifat-sifatnya terutama dilengkapi dengan kitab-kitab syarahnya.
Kelebihan metode ini diantaranya dapat mempermudah metode Takhrij, hal ini dimungkinkan karena sebagian besar hadits-hadits yang dimuat dalam suatu karya tulis berdasarkan sifat-sifat hadits sangat sedikit, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang lebih rumit.[8]
Dan kekurangan metode ini yakni cangkupanya yang terbatas karena sedikitnya hadits-hadits yag dimuat dalam metode ini.
Kitab yang menggunakan metode ini yakni kitab al-Qamashidul Hasanah karangan Sakhawi, kitab Kasful Khafa karangan al-‘Ijluni, dan lain-lain.

G.    Kedudukan Takhrij Hadits
Pentingnya kegiatan takhrij hadits bagi orang yang mempelajari ajaran Islam dikemukakan Mahmud al-Tahhan sebagai berikut:
“Mengetahui masalah takhrij, kaidah dan metodenya adalah sesuatu yang sangat penting bagi orang yang mempelajari ilmu-ilmu syar’i agar mampu melacak suatu hadits sampai pada sumber aslinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegunaan takhrij ini adalah sangat besar, terutama bagi orang yang mempelajari hadits dan ilmunya. Dengan takhrij, seseorang mampu mengetahui tempat hadits pada sumber aslinya, yang mula-mula ditulis oleh para imam ahli hadits. Kebutuhan takhrij adalah penting sekali karena orang yang akan mempelajari ilmu tidak akan dapat meriwayatkannya, kecuali setelah mengetahui ulama-ulama yang telah meriwayatkan hadits dalam kitabnya dengan dilengkapi sanadnya. Karena itu masalah takhrij ini sangat dibutuhkan setiap orang yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar’i dan yang sehubungan dengannya.”



SIMPULAN
Di dalam upaya untuk mempermudah pencarian sebuah hadits para Ulama’ hadits berupaya memberikan kemudahan kepada para pencari hadits dalam sumber-sumber aslinya dengan mengenalkan metode Takhrijul Hadits.
Takhrijul Hadits sendiri berarti memberikan informasi tempat sebuah hadits berada, yakni pada kitab-kitab sumber asli yang telah meriwayatkan hadits itu dengan sanadnya, kemudian menjelaskan hukum hadits.
Sementara dalam mentakhrij suatu hadits terdapat lima metode, yang meliputi Alfadz, Athraf, Mawdhu’, Sifat, dan Rawi.



BIBLIOGRAPHY

Agil Husin Munawwar, dkk. Metode Takhrij Hadits; diterjemahkan dari bahasa Arab karangan Abu Muhammad Abdul Mahdi bi Abdul Qadir bi Abdul Hadi. Semarang: Dina Utama, 1994.
Ibn Zakariya, Ibn Faris, dan Ibn Ahamad, Abu Husayn. Mu`jam al-Maqayis fi al-Lughah, Cet. I. Beirut: Dar al-Fikr, 1994 M.
Kholis, Nur. Takhrijul Haditst, Artikel yang pernah diseminarkan di Yogyakarta, 8 Agustus 2009.
Ma’shum, Muhammad  Zein, Ulumul Hadits & Musthalah hadits. Jombang: Al-Syarifah Al-Khodijah, 2006.
Mubarakfuriy, dan Abu aliy, hafizh, imam. Muqaddimah Tuhfat al-Ahwadziyli Syarh Jami` al-Tirmidzi, Jilid I. Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Octoberrinsyah, dkk. Al-Hadits. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005.


[1] Octoberrinsyah, dkk. Al-Hadits. (Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005) hal. 128
[2] Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah hadits. (Jombang : Al-Syarifah Al-Khodijah, 2006) hal. 283 & 284
[3] Lihat Al-Hadits, (Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005) hal. 132-133
[4] Ibn Faris Ibn Zakariya, Abu al-Husayn Ibn Ahmad, Mu`jam al-Maqayis fi al-Lughah, Cet. I, (Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H/1994 M) hal. 16
[5] Al-Mubarakfuriy, al-Imam al-Hafizh Abu al-Aliy Muhammad Ibn Abd al-Rahman Ibn Abd al-Rahim, Muqaddimah Tuhfat al-Ahwadziyli Syarh Jami` al-Tirmidzi, Jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, tt) hal. 279-287
[6] Abu Muhammad Abdul Mahdi bi Abdul Qadir bi Abdul Hadi. Metode Takhrij Hadits; diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Agil Husin Munawwar, dkk. (Semarang: Dina Utama, 1994) hal. 4-6
[7] Nur Kholis. Takhrijul Haditst, Artikel yang pernah diseminarkan di Yogyakarta, 8 Agustus 2009.
[8] Lihat Metode Takhrij Hadits; diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Agil Husin Munawwar, dkk. (Semarang: Dina Utama, 1994) hal. 4-6

Previous
Next Post »
Thanks for your comment