Oleh : Burhanuddin Sudrajat
PENDAHULUAN
Seiring dengan berjalanya waktu
perkembangan ilmu pengetahuan semakin pesat baik dalam ilmu-ilmu logika maupun
ilmu-ilmu agama. Tidak terkecuali hadits sendiri, sejak zaman Islam klasik,
pertengahan, maupun modern perkembangan ilmu yang mengkaji hadits semakin
terlihat, pada masa sekarang ini cenderung terdapat kritik atas hadits yang
berkembang luas di masyarakat dengan kedudukan hadits tersebut.
Keadaan seperti ini diperparah
dengan ketersulitan penelusuran hadits, hal ini bukan saja diakibatkan oleh
begitu banyaknya jumlah hadits yang diriwayatkan dari Nabi melalui para Sahabat
dan Tabi’in yang terdapat dalam kitab-kitab sumber, melaikan juga terutama
disebabkan oleh banyaknya kitab-kitab sumber yang tersedia, menyadari keadaan
seperti ini para Ulama’ hadits berusaha memberikan kemudahan kepada para
pencari hadits dalam sumber-sumber aslinya dengan menggunakan metode Takhrijul
Hadits.
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Takhrij
Secara etimologis, kata
takhrij adalah bentuk imbuhan dari kata khuruj. Dari kata ini
dapat dibentuk kata kharaja yang berarti keluar. Dan dari kata kharaja
dapat dibentuk kata ahraja (mengeluarkan), kharraja (mendidik,
melatih, memberikan dua warna atau lebih, dan lain-lain), dan istakhraja
(mengeluarkan).[1]
Sedang
menurut istilah Tahrij
memeliki beberapa pengertian diantaranya:
1. Menyampaikan
hadits kepada orang banyak dengan menyebutkan para perawinya dalam mata rantai sanad
yang telah menyampaikan hadits itu dengan menggunakan metode periwayatan yang
telah mereka tempuh.
2. Ahli
hadits yang menyampaikan beberapa hadits yang telah disampaikan oleh para
gurunya.
3. Menunjukkan
asal-usul hadits dan mengungkapkan sumber pengambilanya dalam beberapa kitab.
4. Mengemukakan
hadits berdasarkan sumbernya atau berbagai sumber dengan mengikutsertakan
metode periwayatan dan matarantai sanad masing-masing dengan dijelaskan
oleh para perawinya serta kuwalitas haditsnya.
5. Mengemukakan
letak asal hadits pada sumbernya yang asli secara lengkap dengan matarantai sanadnya
masing-masing dan dijelaskan kuwalitas hadits yang bersangkutan.
6.
Usaha mencari sanad hadits yang terdapat
dalam kitab hadits karya orang lain, yang tidak sama dengan sanad yang
terdapat dalam kitab tersebut. Usaha semacam ini dinamakan juga istikhraj. Misalnya
seseorang mengambil sebuah hadits dari kitab Jamius Sahih Muslim.
kemudian ia mencari sanad hadits tersebut yang berbeda dengan sanad
yang telah ditetapkan oleh lmam Muslim.
7.
Suatu keterangan bahwa hadits yang dinukilkan ke
dalam kitab susunannya itu terdapat dalam kitab lain yang telah disebutkan nama
penyusunnya. Misalnya, penyusun hadits mengakhiri penulisan haditsnya dengan
kata-kata: "Akhrajahul Bukhari", artinya bahwa hadits yang
dinukil itu terdapat kitab Jamius Sahih Bukhari. Bila ia mengakhirinya
dengan kata Akhrajahul Muslim berarti hadits tersebut terdapat dalam
kitab Sahih Muslim.
8.
Suatu usaha mencari derajat, sanad, dan rawi
hadits yang tidak diterangkan oleh penyusun atau pengarang suatu kitab
Misalnya:
a. Takhrij Ahaditsil
Kasysyaaf,
karyanya Jamaluddin al-Hanafi adalah suatu kitab yang mengusahakan dan
menerangkan derajat hadits yang terdapat dalam kitab Tafsir AI-Kasysyaaf yang
oleh pengarangya tidak diterangkan derajat haditsnya, apakah sahih, hasan,
atau lainnya.
b. Al Mugny an-Hamlil
Asfal, karya
Abdurrahim al-Iraqy, adalah kitab yang menjelaskan derajat-derajat hadits yang
terdapat dalam kitab Ihya Ulumuddin karya al-Ghazali.
Dengan berbagai arti
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa takhrij berkaitan dengan
kegiatan penelitian hadits, sedangkan makna takhrij dapat disimpulkan
bahwa takhrij berarti penelusuran atau pencarian hadits pada berbagai
kitab-kitab koleksi hadits sebagai sumber asli, dari hadits yang bersangkutan,
yang di dalam sumber tersebut dikemukakan secara lengkap matan dan
matarantai sanad yang bersangkutan.[2]
Atau dengan kata lain Takhrijul Hadits berarti memberikan
informasi tempat sebuah hadits berada, yakni pada kitab-kitab sumber asli yang
telah meriwayatkan hadits itu dengan sanadnya, kemudian menjelaskan
hukum dari sebuah hadits.
B.
Sejarah Perkembangan Takhrij
Prof. Hasbi Ash-Shidiqy mengatakan bahwa kegiatan Takhrij
hadits telah muncul sejak abad ke-8 H. Namun pembukuan ilmu ini sebagai
ilmu baru yang terkodifikasi baru pada akhir abad ke-14 H atau pada abad 20 M.[3]
Para
ahli dan peneliti keislaman generasi pertama umat Islam pada mulanya tidak
berpikir perlu membuat prinsip-prinsip dasar dan tata aturan mengenai takhrij
al-hadits (transfering and transforming of hadith). Argumentasi yang
mengalasi pendapat demikian, sebagaimana yang dikemukakan Mahmud al-Thahhan,
adalah faktor pengetahuan yang ekstensif dan intensif (ithila` wasi`)
yang dimiliki oleh para ahli tersebut terhadap sumber-sumber al-Sunnah.
Kemampuan dan pengetahuan yang demikian luas itu memudahkan mereka dalam
merujukkan setiap pendapat atau sikap keagamaan tertentu yang membutuhkan
alasan syar`i kepada kitab-kitab hadits yang ada ketika itu, bahkan
sampai pada tingkat yang paling partikular (juz’iy) dan detil.
Kondisi
sebagaimana tersebut di atas, berlangsung hingga beberapa kurun waktu. Tetapi seiring
perluasan wilayah teritorial umat Islam dengan segala asesoris persoalan yang
mengihiasinya, para ahli dan peneliti keislaman pada masa berikutnya merasakan
bahwa tingkat pengetahuan dan kemampuan mereka mengenai al-Sunnah demikan
tertelikung oleh rupa-rupa keterbatasan. Mencari sebuah hadits yang berasal
atau diduga dari Nabi saw – pada masa berikutnya – merupakan pekerjaan yang
tidak mudah, bahkan melelahkan!. Sementara itu, kebutuhan terhadap keputusan syari’ah
mengenai suatu persoalan begitu sangat mendesak, di samping terdapat banyak
sekali karya ilmiah yang menjadikan hadis sebagai asas argumentasinya –
seperti: tafsir, sejarah, tasawuf, kalam, dan fikih – tidak menjelaskan aspek
otentisitas, orisinalitas dan kualitas hadis yang dimaksud. Keadaan inilah yang
akhirnya mendorong sebagian ulama hadis mulai memikirkan sekaligus melakukan
aneka tindakan ilmiah yang dipandang perlu agar dapat segera lepas dari jerat
situasi tersebut.
Usaha
para ulama hadits pada akhirnya menghasilkan aneka rumusan tentang prinsip-prinsip dan tata
aturan takhrij, yang secara generatif melahirkan berbagai macam karya tulis
yang kelak dinamai “Kutub al-Takhrij”, kitab-kitab yang tidak hanya
berhasil mengembalikan matan pada transmisinya, tetapi menjelaskan aspek
orisinalitas dan kualitas redaksional, bahkan bila dianggap diperlukan
menerangkan pula kualitas transmisinya.
Kitab-kitab
Takhrij generasi pertama, seperti yang dikemukakan oleh Mahmud al-Thahhan[4],
adalah kitab-kitab al-Khatib al-Baghdadiy (w. 463 H), di antaranya – yang paling populer – yaitu: “Takhrij
al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah wa al-Ghara’ib”, al-Syarif Abu
al-Qasim al-Husayniy; “Takhrij al-Fawa’id al-Muntakhabah al-Shihah wa
al-Ghara’ib” buah karya Abu al-Qasim al-Mahrawaniy; dan karya Muhammad Ibn
Musa al-Hazimiy al-Syafi`iy “Takhrij Ahadits al-Muhadzdzab” (w. 584 H). Kitab “al-Muhadzdzab” sendiri adalah kitab fikih
berhaluan Syafi`iyyah yang ditulis oleh salah seorang ulama besar syafi`iyyah,
yakni Abu Ishaq al-Syayraziy. Setelah itu, penulisan kitab-kitab “takhrij”
semakin banyak dilakukan oleh para ulama yang jumlahnya mencapai puluhan, diantaranya:
1.
Takhrij
Ahaadits al-Muhadzdzab; karya Muhammad bin Musa al-Hazimi asy-Syafi'I
(wafat 548 H). Dan kitab Al-Muhadzdzab ini adalah kitab mengenai fiqih
madzhab Asy-Syafi'I karya Abu Ishaq asy-Syairazi.
2.
Takhrij
Ahaadits al-Mukhtashar al-Kabir li Ibni al-Hajib;
karya Muhammad bin Ahmad Abdul Hadi al-Maqdisi (wafat 744 H).
3.
Nashbur-Rayah
li Ahaadits al-Hidyah li al-Marghinani;
karya Abdullah bin Yusuf az-Zaila'i (wafat 762 H).
4.
Takhrij
Ahaadits al-Kasyaf li az-Zamakhsyari; karya al-Hafidh
az-Zaila'i juga. (Ibnu Hajar juga menulis takhrij untuk kitab ini dengan
judul al-Kafi asy-Syaafi fii Takhrij Ahaadits asy-Syaafi).
5.
Al-Badrul-Munir
fii Takhrijil-Ahaadits wal-Atsar al-Waqi'ah fisy-Syarhil-Kabir li Ar-Rafi'I;
karya Umar bin 'Ali bin Mulaqqin (wafat 804 H).
6.
Al-Mughni 'an Hamlil-Asfaar fil-Asfaar fii
Takhriji maa fil-Ihyaa' minal-Akhbar; karya Abdurrahman bin al-Husain al-'Iraqi
(wafat tahun 806 H).
7.
Takhrij al-Ahaadits allati Yusyiiru
ilaihat-Tirmidzi fii Kulli Baab; karya al-Hafidh al-'Iraqi juga.
8.
At-Talkhiisul-Habiir fii Takhriji Ahaaditsi
Syarh al-Wajiz al-Kabir li ar-Rafi'i; karya Ahmad bin Ali bin Hajar al-'Asqalani
(wafat 852 H).
9.
Ad-Dirayah fii Takhriji Ahaaditsil-Hidayah; karya al-Hafidh Ibnu
Hajar juga.
10. Tuhfatur-Rawi
fii Takhriji Ahaaditsil-Baidlawi; karya 'Abdurrauf Ali al-Manawi (wafat 1031
H).
Al-Mubarakfuriy[5],
selain menyebutkan beberapa karya lainnya dalam bidang takhrij yang ditulis
oleh para ulama-ulama di atas, juga mencatat beberapa nama lain yang melakukan
kerja takhrij ini, mereka antara lain ialah:
- Ali Ibn Utsman Ibn Ibrahim al-Maradiniy `Ala’u al-Din al-Turkamaniy (w. 705 H tanggal 10 Muharram), yang merupakan guru dari al-Zayla`iy. Al-Turkamaniy adalah imam dalam kajian fikih, usul fikih dan hadis yang memiliki banyak karya tulis, dua di antaranya “al-Muntakhab fi al-Hadits” dan “Takhrij Ahadits al-Hidayah”;
- Ali Ibn Hasan Ibn Shadqah al-Mishriy al-Yamaniy, karyanya “Idrak al-Haqiqah fi Takhrij Ahadits al-Thariqah” yang berhasil diselesaikannya pada bulan Ramadhan tahun 1050 H; dan
- Al-Syaykh Jala al-Din al-Suyuthiy, karyanya adalah kitab-kitab “Takhrij Ahadits Syarh `Aqa’id al-Nasafiy”, “Manahil al-Shafa fi Takhrij Ahadits al-Syafa”, dan “Nasyr al-`Abir fi Takhrij Ahadits al-Syarh al-Kabir”.
C.
Tujuan dan Manfaat Takhrij
1. Tujuan Takhrij
a.
Mencari tahu
siapa perawi hadits.
b.
Mengetahui
bagaimana hukum hadits.
c.
Apakah hadits
yang akan digunakan boleh dijadikan dalil atau tidak.
2. Manfaat Takhrij
Bayak
sekali manfaat Takhrijul hadits, diantara manfaat Takhrijul hadits
yaitu:
a.
Takhrij
memperkenalkan sumber-sumber Hadits atau kitab-kitab asal hadits.
b.
Menambah perbendaharaan
sanad hadits-hadits melalui kitab-kitab asal.
c.
Memperjelas
keadaan sanad.
d.
Memperjelas
hukum hadits dengan banyaknya riwayat dalam kitab-kitab asal.
e.
Dapat mengetahui
pendapat-pendapat Ulama’ sekitar hukum hadits.
f.
Dapat
memperjelas perawi hadits yang samar.
g.
Dapat
memperjelas perawi hadits yang tidak diketahui namanya melalui
perbandingan diantara sanad-sanad.
h.
Dapat
menghilagkan kemungkinan terjadi percampuran riwayat.
i.
Dapat membatasi
nama perawi yang sebenarnya, karena ada kemungkinan perawi-perawi
yang memiliki kesamaan gelar.
j.
Dapat
memperkenalkan periwayatan yang tidak terdapat dalam satu sanad.
k.
Memperjelas arti
kalimat asing yang terdapat dalam satu sanad, dan lain-lain.
Namun pada dasarnya manfaat takhrij
terdapat dua hal pokok meliputi:
a.
Mengumpulkan
berbagai sanad dari suatu hadits.
b.
Mengumpulkan
berbagai redaksi dari sebuah matan hadits.[6]
D.
Faktor
Penyebab Takhrij al-Hadits
Adapun faktor utama
yang menyebabkan kegiatan penelitian terhadap hadits (takhrij al-hadits)
dilakukan oleh seorang peneliti hadits adlah sebagai berikut:
1. Mengetahui
asal-usul riwayat hadits yang akan diteliti
Maksudnya adalah untuk mengetahui status
dan kualitas hadits dalam hubungannya dengan kegiatan penelitian, langkah awal
yang harus dilakukan oleh seorang peneliti adlah mengetahui asal-usul
periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab taanpa mengetahui asal-usulnya
sanad dan matan hadits yang bersangkutan mengalami kesulitan untuk diketahui
matarantai sanadnya sesuai dengan sumber pengambilannya, sehingga tanpa
diketahui secara benar tentang matarantai sanad dan matan, maka seorang
peneliti peengalami kesulitan dalam melakukan penelitian secara baik dan
cermat. Makanya dari faktor ini, kegiatan penelitian hadits (takhrij)
dilakukan.
2. Mengetahui
dan mencatat seluruh periwayatan hadits bagi hadits yang akan diteliti
Maksudnya
adalah mengingat redaksi hadits yang akan diteliti itu bervariasi antara satu
dengan yang lain, maka diperlukan kegiatan pencarian seorang peneliti terhadap
semua periwayatan hadits yang akan diteliti, sebab boleh jadi salah satu sanad
haadits tersebut berkualitas dha’if dan yang lainnya berkualitas shahih.
3. Mengetahui
ada tidaknya syahid dan mutabi’ pada mata rantai sanad
Mengingat salah satu sanad hadits yang
redaksinya bervariasi itu dimungkinkan ada perawi lain yang sanadnya mendukung
pada sanad hadits yang sedang diteliti, maka sanad hadits yang sedang diteliti
tersebut mungkin kualitasnya dapat dinaikkan tingkatannya oleh sanad perawi
yang mendukungnya.
Dari dukungan tersebut, jika terdapat
pada bagian perawi tingkat pertama (yaitu tingkat sahabat) maka dukungan ini
dikenal dengan syahid. Jika dukungan itu terdapat pada bagian perawi
tingkat kedua atau ketiga (seperti pada tingkatan tabi’I atau tabi’it tabi’in),
maka disebut sebagai mutabi’ .
Dengan demikian, kegiatan penelitian (takhrij)
terhadap hadits dapat dilaksanakan dengan baik jika seorang peneliti dapat
mengetahui semua asal-usul matarantai sanad dan matannya dari
sumber pengambilannya. Begitu juga jalur periwayatan mana yang ada syahid
dan mutabi’nya, sehingga kegiatan penelitian (takhrij) dapat
dengan mudah dilakukan secara baik dan benar dengan menggunakan metode
pentakhrijannya.
E.
Kitab-Kitab
Yang Diperlukan
Setelah
mengetahui betul faktor-faktor yang menyebabkan penelitian hadits (takhrij al-hadits)
di atas, maka langkah awal yang harus dilakukan seorang peneliti dalam
melakukan kegiatan penelitian hadits (takhrij al-hadits) adalah,
menyiapkan kitab-kitab pendukung yang diperlukan untuk melakukan (takhrij
al-hadits). Adapun kitab-kitab tersebut antara lain:
1. Hidayatul bari ila tartibi ahaditsil Bukhari
هداية البارى الى ترتيب احاديث البخارى
Penyusun kitab ini adalah Abdur Rahman
Ambar AI-Misri At-Tahtawi. Kitab ini disusun khusus untuk mencari hadits-hadits
yang termuat dalam Sahih AI-Bukhari. Lafal-lafal hadits disusun menurut
aturan urutan huruf abjad Arab. Namun hadits-hadits yang dikemukakan secara
berulang dalam Sahih Bukhari tidak dimuat secara berulang dalam kamus di
atas. Dengan demikian perbedaan lafal dalam matan hadits riwayat AI-Bukhari tidak
dapat diketahui lewat kamus tersebut.
2. Mu jam Al-Fazi wala siyyama al-garibu minha atau
fihris litartibi ahaditsi sahihi Muslim
معجم الالفاظ ولا سيما الغربي منها
فهرس لترتيب احاديث صحيح مسلم
Kitab tersebut merupakan salah satu juz,
yakni juz ke- V dari Kitab Sahih Muslim yang disunting oleh Muhammad
Abdul Baqi. Jus V ini merupakan kamus terhadap Jus ke-I -IV yang berisi:
a. Daftar urutan
judul kitab serta nomor hadits dan juz yang memuatnya.
b. Daftar nama
para sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits yang termuat dalam Sahih Muslim.
c. Daftar awal
matan hadits dalam bentuk sabda yang tersusun menurut abjad serta diterangkan
nomor-nomor hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, bila kebetulan hadits
tersebut juga diriwayatkan oleh Bukhari.
3. Miftahus Sahihain
مفتاح الصحيحين
Kitab ini disusun oleh Muhammad Syarif
bin Mustafa Al-Tauqiah. Kitab ini dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits
yang diriwayatkan oleh Muslim. Akan tetapi hadits-hadits yang dimuat dalam
kitab ini hanyalah hadits-hadits yang berupa sabda (qauliyah) saja. Hadits
tersebut disusun menurut abjad dari awal lafal hadits lafal matan hadits.
4. AI-Bugyatu fi tartibi ahadasi al-hilyah
البغية في ترتيب احاديث الحلية
Kitab ini disusun oleh Sayyid Abdul Aziz
bin Al-Sayyid Muhammad bin Sayyid Siddiq AI-Qammari. Kitab hadits tersebut
memuat dan menerangkan hadits-hadits yang tercantum dalam kitab yang disusun
Abu Nuaim AI-Asabuni (w. 430 H) yang berjudul: Hilyatul auliyai wababaqatul
asfiyai. Sejenis dengan kitab tersebut di atas adalah kitab Miftahut tartibi
li ahaditsi tarikhil khatib.
مفتاح الترتيب لاحاديث تاريخ الخطيب
yang disusun oleh Sayyid Ahmad bin
Sayyid Muhammad bin Sayyid As-Siddiq AI-Qammari yang memuat dan menerangkan hadits-hadits
yang tercantum dalam kitab sejarah yang disusun oleh Abu Bakar bin Ali bin
Subit bin Ahmad AI-Bagdadi yang dikenal dengan AI-Khatib Al- Bagdadi (w.
463 H). Susunan kitabnya diberi judul Tarikhu Bagdadi (تاريخ بغداد) yang
terdiri dari empat jilid.
5. Al-Jamius Sagir
الجامع الصغير
Kitab ini disusun oleh Imam Jalaludin
Abdurrahman As-Suyuti (w.91h). Kitab kamus hadits tersebut memuat hadits-hadits
yang terhimpun dalam kitab himpunan kutipan hadits yang disusun oleh As-suyuti
juga, yakni kitab Jam 'ul Jawani.
جمع الجوامع
Hadits yang dimuat dalam kitab Jamius
Sugir disusun berdasarkan urutan abjad dari awal lafal matan hadits. Sebagian
dari hadits-hadits itu ada yang ditulis secara lengkap dan ada pula yang
ditulis sebagian-sebagian saja, namun telah mengandung pengertian yang cukup.
Kitab hadits tersebut juga menerangkan
nama-nama sahabat Nabi yang meriwayatkan hadits yang bersangkutan dan nama-nama
Mukharijnya (periwayat hadits yang menghimpun hadits dalam kitabnya). Selain
itu, hampir setiap hadits yang dikutip dijelaskan kualitasnya menurut penilaian
yang dilakukan atau disetujui oleh As-suyuti.
6. AI-Mujam al-mufahras li alfazil hadits nabawi
المعجم الفهرس لالفاظ الحديث النبوى
Penyusun kitab ini adalah sebuah tim
dari kalangan orientalis. Di antara anggota tim yang paling aktif dalam
kegiatan proses penyusunan ialah Dr. Arnold John Wensinck (w. 939 M), seorang
profesor bahasa-bahasa Semit, termasuk bahasa Arab di Universitas Leiden,
negeri Belanda.
Kitab ini dimaksudkan untuk mencari hadits
berdasarkan petunjuk lafal matan hadits. Berbagai lafal yang disajikan tidak
dibatasi hanya lafal-lafal yang berada di tengah dan bagian-bagian lain dari
matan hadits. Dengan demikian, kitab Mu'jam mampu memberikan informasi
kepada pencari matan dan sanad hadits, asal saja sebagian dari lafal matan yang
dicarinya itu telah diketahuinya.
Kitab Mu'jam ini terdiri dari
tujuh Juz dan dapat digunakan untuk mencari hadits-hadits yang terdapat dalam
sembilan kitab hadits, yakni: Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Sunan Abu Dawud,
Sunan Turmuzi, Sunan Nasai, Sunan Ibnu Majjah, Sunan Daromi, Muwatta Malik, dan
Musnad Ahmad.
F.
Metode Takhrij
Untuk mengetahu
kejelasan hadits beserta sumber-sumbernya, ada beberapa metode Takhrij
yang dapat dipergunakan, diantaranya:
1. Alfadz
Metode Alfadz,
adalah metode yang digunakan untuk mencari sebuah hadits dengan cara menentukan
lafadz tertentu sebagai langkah penelusuran yang terdapat dalam matan,
baik lafadz itu berupa isim atau fi’il. Para penyusun
kitab-kitab takhrij yang menggunakan metode ini menitikberatkan pada lafadz-lafadz
asing, karena semakin gharib lafadz, maka semakin mudah dalam
pencarian hadits.
Contoh, jika kita
mencari sebuah hadits yang tidak hafal semua matannya, dan hanya hafal
penggalan lafadznya, maka yang harus kita cari dalam kamus adalah
berdasarkan lafadznya.
"الصلاة"
Setelah pencarian
terdapat banyak hadits yang menggunakan lafadz (الصلاة), maka kita harus memilih hadits yang kita butuhkan, dan
nantinya akan diketahuilah bahwa bunyi lengkap matan hadits yang dicari (misalnya)
adalah:
حدثنا عبيد الله بن موسى قال أخبرنا
حنظلة بن أبى سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر رضى الله عنهما قال: قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم (بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا
رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان).
Artinya: Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: Islam dibangun diatas lima perkara;
Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi
Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji
dan puasa Ramadhan.
Kelebihan
metode Alfadz:
a.
Mempercepat
dalam pencarian hadits.
b.
Kitab-kitab yang
menggunakan metode ini membatasi hadits-haditsnya kedalam beberapa induk
meliputi (juz, bab,hal).
c.
Memungkinkan
pencarian hadits melalui lafadz-lafadz yang terdapat dalam matan hadits.
Kekurangan metode Alfadz:
a.
Keharusan
kemempuan memiliki pengetahuan Bahasa Arab beserta ilmu-ilmunya.
b.
Metode ini tidak
menyebutkan perawi dari kalangan sahabat.
c.
Terkadang suatu hadits
tidak didapatkan dalam satu lafadz, sehingga harus mencarinya dengan lafadz
yang lain.
Kitab yang menggunakan
metode ini yakni Kitab al-Mu’jam al-Mufahras, dan lain-lain.
2. Atraf
Metode Atraf,
adalah metode yang menjadikan awal matan sebagai pedoman awal, jika
telah diketahui awal matannya, maka hadits tersebut dapat dicari atau
ditelusuri dalam kitab-kitab kamus hadits dengan dicarikan huruf awal yang
sesuai diurutkan dengan abjad.
ليس الشديد بالصرعة
Untuk mengetahui lafadz
lengkap dari penggalan matan tersebut, langkah yang harus dilakukan
adalah menelusuri penggalan matan itu pada urutan awal matan yang
memuat penggalan matan yang dimaksud, maka diketahuilah bahwa bunyi
lengkap matan hadits yang dicari adalah:
عن ابى هريرة انّ رصول الله صلى الله
عليه وسلّم قال: ليس الشديد بالصرعة انّما الشديد الذى يملك نفسه عند الغضب
Artinya: "(Hadits)
riwayat Abu Hurairah bahwa Rasullulah bersabda, "(Ukuran) orang yang kuat
(perkasa) itu bukanlah dari kekuatan orang itu dalam berkelahi, tetapi yang
disebut sebagai orang yang kuat adalah orang yang mampu menguasai dirinya
tatkala dia marah."
Contoh lain, tentang
mencari hadits dengan lafadz. Misalkan ingin mencari sebuah lafadz
(ورثة) yang haditsnya menjelaskan bahwa Ulama’ adalah pewaris Nabi,
maka dimulai mencari dari (ورث). Dan nantinya akan banyak kita temui hadits yang menggunakan lafadz
tersebut, kemudian kita tinggal memilih hadits mana yang sesuai, misalkan:
حدثنا محمود بن خداش البغدادى حدثنا محمد بن يزيد
الواسطى حدثنا عاصم بن رجاء بن حيوة عن قيس بن كثير قال قدم رجل من المدينة على
أبي الدرداء وهو بدمشق فقال ما أقدمك يا أخى فقال حديث بلغنى أنك تحدثه عن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال أما جئت لحاجة قال لا قال أما قدمت لتجارة قال لا قال
ما جئت إلا في طلب هذا الحديث قال فإنى سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من
سلك طريقا يبتغى فيه علما سلك الله به طريقا إلى الجنة وإن الملائكة لتضع أجنحتها
رضاء لطالب العلم وإن العالم ليستغفر له من في السموات ومن في الأرض حتى الحيتان
في الماء وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب إن العلماء ورثة
الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ
بحظ وافر. (رواه أبو داود)
Artinya: Aku telah mendengar Rasulullah
saw, bersabda:barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut
ilmu,niscahya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju ke surga.sesungguhnya
para Malaikat benar-benar meletakkan sayapnya karena rida kepada penuntut ilmu.
Sesungguhnya orang alim itu benar-benar dimintakan ampunan 0leh semua makhluk
di langit dan dibumi hingga ikan-ikan yang ada di air.keutamaan orang yang alim
atas yang ahli ibadah seperti keutamaan rembulan atas semua
bintang-bintang.sesungguhnya ulama itu adalah pewaris nabi:sesungguhnya para
nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham melainkan mereka hanya
mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mengambil ilmu bagian yang berlimpah.
Kelebihan dan kekurangan metode ini
Sebenarnya
dengan metode ini kita bisa dengan cepat dalam mencari hadits tanpa harus
menguasai dengan sempurna Bahasa Arab, tetapi bila terdapat kelainan lafadz
pada lafadz pertama akan berakibat sulit dalam mencari suatu hadits.
Kitab yang menggunakan metode ini yakni Kitab al-Jaami’ al-Shaghiir, Kitab Faidh
al-Qadiir, Kitab al-Fath al-Kabiir, dan lain-lain.
3. Rawi
Metode Rawi,
adalah metode yang menjadikan perawi sebagai isyarat awal. Metode ini berlandaskan pada perawi pertama
suatu hadits baik perawi tersebut berasal dari kalangan sahabat
atau dari kalangan tabi’in. Para penyusun kitab-kitab yang menggunakan
metode ini selalu mencantumkan hadits yang diriwayatkan oleh perawi
pertama.
Kelebihan metode Rawi
a.
Memperpendek masa proses takhrij.
b.
Dapat menelaah persanad.
Kekuranganya yakni Metode ini sulit
digunakan bagi orang yang belum mengetahui perawi pertama. Kitab yang menggunakan metode ini
yakni Kitab al-Athraf dan kitab-kitab Musnad.
4. Mawdhu’
Upaya mencari hadits
terkadang tidak didasarkan pada lafadz matan (materi) hadits,
tetapi didasarkan pada topik masalah. Pencarian matan hadits berdasarkan
topik masalah sangat menolong pengkaji hadits yang ingin memahami
petunjuk-petunjuk hadits dalam segala konteksnya.
Pencarian matan hadits
berdasarkan topik masalah tertentu itu dapat ditempuh dengan cara membaca
berbagai kitab himpunan kutipan hadits, namun berbagai kitab itu biasanya tidak
menunjukkan teks hadits menurut para periwayatnya. Padahal untuk memahami topik
tertentu tentang petunjuk hadits, diperlukan pengkajian terhadap teks-teks hadits
menurut periwayatnya. Dengan bantuan kamus hadits tertentu, pengkajian teks dan
konteks hadits menurut riwayat dari berbagai periwayat akan mudah dilakukan.
Salah satu kamus hadits itu ialah:
مفتح كنوز السّـنّة
Kitab tersebut
merupakan kamus hadits yang disusun berdasarkan topik masalah. Pengarang asli
kamus hadits tersebut adalah Dr. A.J. Wensinck (Wafat 1939 M), seorang
orientalis yang besar jasanya dalam dunia perkamusan hadits. Dr. A.J. Wensinck
adalah juga penyusun utama kitab kamus hadits:
المعجم المفهرس لالفاظ الحديث النبوي
Bahasa asli dari kitab Miftah
Kunuzis-Sunnah adalah bahasa Inggris dengan judul a Handbook of Early
Muhammadan. Kamus hadits yang berbahasa Inggris tersebut diterjemahkan ke
dalam bahasa Arab sebagaimana tercantum di atas oleh Muhamad Fuad Abdul Baqi.
Muhamad Fuad tidak hanya menerjemahkan saja, tetapi juga mengoreksi berbagai
data yang salah.[7]
Naskah yang berbahasa
inggris diterbitkan untuk pertama kalinya pada tahun 1927 dan terjemahannya
pada tahun 1934.
Dalam kamus hadits
tersebut dikemukakan berbagai topik, baik yang berkenaan dengan masalah-masalah
yang berkaitan dengan petunjuk Nabi maupun yang berkenaan dengan
masalah-masalah yang berkaitan dengan nama. Untuk setiap topik biasanya
disertakan beberapa subtopik, dan untuk setiap subtopik dikemukakan data hadits
dan kitab yang menjelaskannya.
Misalkan, kita ingin
mencari hadits yang mewajibkan seorang Muslim untuk menjalankan ibadah puasa
pada bulan Ramadhan. Maka lankah pertama dalam pencarian adalah, mencari topik
bahasannya, yaitu tentang ibadah (العبادات), kemudian mencari dalam subtopiknya yaitu puasa (الصيام), setelah itu pilih hadits yang kita inginkan, contohnya:
حدثنا عبيد الله بن موسى قال أخبرنا
حنظلة بن أبى سفيان عن عكرمة بن خالد عن ابن عمر رضى الله عنهما قال: قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم (بني الإسلام على خمس شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا
رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة والحج وصوم رمضان).
Artinya: Rasulullah
Shallallahu'alaihi wasallam bersabda: Islam dibangun diatas lima perkara;
Bersaksi bahwa tiada Ilah yang berhak disembah selain Allah dan bahwa nabi
Muhammad utusan Allah, menegakkan shalat, menunaikan zakat, melaksanakan haji
dan puasa Ramadhan.
Contoh lain, tentang
topik Ilmu (العلم) dalam subtopik Ulama’ adalah pewaris Nabi (العلماء
ورثة الأنبياء).
حدثنا محمود بن خداش البغدادى حدثنا محمد بن يزيد
الواسطى حدثنا عاصم بن رجاء بن حيوة عن قيس بن كثير قال قدم رجل من المدينة على
أبي الدرداء وهو بدمشق فقال ما أقدمك يا أخى فقال حديث بلغنى أنك تحدثه عن رسول
الله صلى الله عليه وسلم قال أما جئت لحاجة قال لا قال أما قدمت لتجارة قال لا قال
ما جئت إلا في طلب هذا الحديث قال فإنى سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول من
سلك طريقا يبتغى فيه علما سلك الله به طريقا إلى الجنة وإن الملائكة لتضع أجنحتها
رضاء لطالب العلم وإن العالم ليستغفر له من في السموات ومن في الأرض حتى الحيتان
في الماء وفضل العالم على العابد كفضل القمر على سائر الكواكب إن العلماء ورثة
الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ
بحظ وافر. (رواه أبو داود)
Artinya: Aku telah mendengar Rasulullah
saw, bersabda:barang siapa yang menempuh suatu jalan dalam rangka menuntut
ilmu,niscahya Allah akan memudahkan baginya jalan menuju ke surga.sesungguhnya
para Malaikat benar-benar meletakkan sayapnya karena rida kepada penuntut ilmu.
Sesungguhnya orang alim itu benar-benar dimintakan ampunan 0leh semua makhluk
di langit dan dibumi hingga ikan-ikan yang ada di air.keutamaan orang yang alim
atas yang ahli ibadah seperti keutamaan rembulan atas semua
bintang-bintang.sesungguhnya ulama itu adalah pewaris nabi:sesungguhnya para
nabi tidak mewariskan dinar dan tidak pula dirham melainkan mereka hanya
mewariskan ilmu. Maka barang siapa yang mengambil ilmu bagian yang berlimpah.
Kelebihan metode mawdhu’ diantanya:
a.
Dapat menemukan bayak hadits dalam satu tema.
b.
Mendidik ketajaman pemahaman hadits pada diri peneliti.
c.
Tidak memerluhkan pengetahuan di luar hadits.
Sementara
kekurangan dengan menggunakan metode mawdhu’ yakni:
a.
Terkadang kandungan hadits sulit disimpulkan oleh
peneliti, sehingga tidak dapat menentukan temanya.
b.
Terkadang pemahaman peneliti tidak sesuai dengan
pemahaman penyusun kitab.
Kitab yang menggunakan
metode ini yakni Kitab Kanz
al-Ummal Fii Sunan al-Aqwal wa al-Af’al
yang berisi daftar isi hadits yang disusun berdasarkan
judul-judul pembahasan. Kitab ini disusun oleh seorang orientalis berkebangsaan Belanda
yang bernama Dr. Arinjan Vensink juga. Kitab ini mencakup daftar isi untuk 14
kitab hadits yang terkenal, yaitu:
a.
Shahih Bukhari
b.
Shahih Muslim
c.
Sunan Abu Dawud
d.
Jami' At-Tirmidzi
e.
Sunan An-Nasa'i
f.
Sunan Ibnu Majah
g.
Muwaththa' Malik
h.
Musnad Ahmad
i.
Musnad Abu Dawud Ath-Thayalisi
j.
Sunan Ad-Darimi
k.
Musnad Zaid bin 'Ali
l.
Sirah Ibnu Hisyam
m.
Maghazi Al-Waqidi
n.
Thabaqat Ibnu Sa'ad
5. Sifat
Metode Sifat, yakni dengan karakteristik hadits yang
dicari, apakah hadits itu maudhu’, qudsy, dan yang lain.
Jika suatu hadits sudah
dapat diketahui sifatnya, misalnya maudhu’, shahih, mursal,
masyhur, mutawatir dan lain-lain sebaiknya ditakhrij melalui
kitab-kitab yang telah menghimpun sifat-sifat tersebut. Misalnya hadits maudhu’ akan lebih mudah
ditakhrij melalui buku-buku himpunan hadits maudhu’ seperti al-Mawdhu’at
karya Ibnu al-Jauzi, jika mencari hadits mutawatir, maka takhrij melalui
kitab al-Azhar al-Mutanatsirah ‘an al-Akhbar al-Muawatirah karya as-Suyuthi.
Dalam kitab tersebut, seseorang akan mendapatkan informasi tentang kedudukan
suatu hadits, kualitasnya, sifat-sifatnya terutama dilengkapi dengan kitab-kitab
syarahnya.
Kelebihan metode ini diantaranya dapat
mempermudah metode Takhrij, hal ini dimungkinkan karena sebagian besar hadits-hadits
yang dimuat dalam suatu karya tulis berdasarkan sifat-sifat hadits sangat
sedikit, sehingga tidak memerlukan pemikiran yang lebih rumit.[8]
Dan kekurangan metode ini yakni
cangkupanya yang terbatas karena sedikitnya hadits-hadits yag dimuat dalam
metode ini.
Kitab yang menggunakan metode ini yakni kitab al-Qamashidul
Hasanah karangan Sakhawi, kitab Kasful Khafa karangan al-‘Ijluni,
dan lain-lain.
G.
Kedudukan
Takhrij Hadits
Pentingnya kegiatan
takhrij hadits bagi orang yang mempelajari ajaran Islam dikemukakan Mahmud
al-Tahhan sebagai berikut:
“Mengetahui masalah
takhrij, kaidah dan metodenya adalah sesuatu yang sangat penting bagi orang
yang mempelajari ilmu-ilmu syar’i agar mampu melacak suatu hadits sampai pada
sumber aslinya. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegunaan takhrij ini adalah sangat
besar, terutama bagi orang yang mempelajari hadits dan ilmunya. Dengan takhrij,
seseorang mampu mengetahui tempat hadits pada sumber aslinya, yang mula-mula
ditulis oleh para imam ahli hadits. Kebutuhan takhrij adalah penting sekali
karena orang yang akan mempelajari ilmu tidak akan dapat meriwayatkannya,
kecuali setelah mengetahui ulama-ulama yang telah meriwayatkan hadits dalam
kitabnya dengan dilengkapi sanadnya. Karena itu masalah takhrij ini sangat
dibutuhkan setiap orang yang membahas atau menekuni ilmu-ilmu syar’i dan yang
sehubungan dengannya.”
SIMPULAN
Di dalam upaya
untuk mempermudah pencarian sebuah hadits para Ulama’ hadits berupaya
memberikan kemudahan kepada para
pencari hadits dalam sumber-sumber aslinya dengan mengenalkan
metode Takhrijul Hadits.
Takhrijul Hadits sendiri
berarti memberikan informasi tempat sebuah hadits
berada, yakni pada kitab-kitab sumber asli yang telah meriwayatkan hadits itu
dengan sanadnya, kemudian menjelaskan hukum hadits.
Sementara dalam mentakhrij suatu hadits terdapat
lima metode, yang meliputi Alfadz, Athraf, Mawdhu’, Sifat, dan Rawi.
BIBLIOGRAPHY
Agil Husin Munawwar,
dkk. Metode Takhrij Hadits; diterjemahkan dari bahasa Arab karangan Abu
Muhammad Abdul Mahdi bi Abdul Qadir bi Abdul Hadi. Semarang: Dina Utama, 1994.
Ibn
Zakariya, Ibn Faris, dan Ibn Ahamad, Abu Husayn. Mu`jam
al-Maqayis fi al-Lughah, Cet. I.
Beirut: Dar al-Fikr, 1994 M.
Kholis, Nur. Takhrijul
Haditst, Artikel yang pernah diseminarkan di Yogyakarta, 8 Agustus 2009.
Ma’shum, Muhammad Zein, Ulumul Hadits & Musthalah hadits.
Jombang: Al-Syarifah Al-Khodijah, 2006.
Mubarakfuriy,
dan Abu aliy, hafizh, imam. Muqaddimah Tuhfat al-Ahwadziyli Syarh Jami` al-Tirmidzi,
Jilid I.
Beirut: Dar al-Fikr, tt.

[1]
Octoberrinsyah, dkk. Al-Hadits. (Yogyakarta : Pokja Akademik UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta, 2005) hal. 128
[2]
Muhammad Ma’shum Zein, Ulumul Hadits & Musthalah hadits. (Jombang :
Al-Syarifah Al-Khodijah, 2006) hal. 283 & 284
[3]
Lihat Al-Hadits, (Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2005)
hal. 132-133
[4]
Ibn Faris Ibn Zakariya, Abu
al-Husayn Ibn Ahmad, Mu`jam al-Maqayis fi al-Lughah, Cet. I, (Beirut: Dar
al-Fikr, 1415 H/1994 M) hal. 16
[5] Al-Mubarakfuriy, al-Imam al-Hafizh
Abu al-Aliy Muhammad Ibn Abd al-Rahman Ibn Abd al-Rahim, Muqaddimah Tuhfat
al-Ahwadziyli Syarh Jami` al-Tirmidzi, Jilid I (Beirut: Dar al-Fikr, tt)
hal. 279-287
[6]
Abu Muhammad Abdul Mahdi bi Abdul Qadir bi Abdul Hadi. Metode Takhrij Hadits;
diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Agil Husin Munawwar, dkk. (Semarang: Dina
Utama, 1994) hal. 4-6
[7]
Nur Kholis. Takhrijul Haditst, Artikel yang pernah diseminarkan di
Yogyakarta, 8 Agustus 2009.
[8]
Lihat Metode Takhrij Hadits; diterjemahkan dari bahasa Arab oleh Agil
Husin Munawwar, dkk. (Semarang: Dina Utama, 1994) hal. 4-6
Out Of Topic Show Konversi KodeHide Konversi Kode Show EmoticonHide Emoticon